Oleh: Ahmad Karomi Jargon ini, tidak asing di mata telinga masyarakat indonesia. Pada saat terjadi penjajahan kompeni, menyuarakan &quo...
Oleh: Ahmad Karomi
Jargon ini, tidak asing di mata telinga masyarakat indonesia. Pada saat terjadi penjajahan kompeni, menyuarakan "kata sakti merdeka ataoe mati" haruslah mempunyai nyali yang besar. Mengapa penjajah gentar dengan "rapalan" ini?!
Kerap terdengar kutipan maqolah (ucapan) "isy kariman au mut syahidan" (Hiduplah dalam keadaan Mulia atau matilah dalam keadaan Syahid). Maqolah ini yang oleh sebagian kalangan hanya mengartikan akan pentingnya sebuah pilihan namun abai dengan proses dan nilai pesan dari maqolah tersebut.
Merdeka atau Mati adalah pilihan untuk hidup merdeka nan mulia ataukah mati berkalang tanah secara syahid. Wajar, adagium heroik dipublish agar memacu adrenalin patriot bangsa dalam membela tanah air tercinta.
Kembali pada ungkapan "isy kariman au mut syahidan" yang di viralkan kala itu, sebagai solusi motivasi kepada anak negeri untuk membela mati-matian (bukan pingin mati) sekuat tenaga. Sebab sangat irrasional bilamana membela negara hanya bercita-cita untuk mati syahid. Bagaimana bisa negeri ini merdeka bila semua berpikir untuk mati?!
Memaknai "mati" pada redaksi diatas dalam kacamata berbangsa dan negara adalah kesiapan mental bila tercabut nyawa demi mempertahankan kedaulatan bangsa. Istilah pesantren "intihaul ghoyah" atawa pungkasan paling akhir. Sederhananya membela negara mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Logikanya begini, bagaimana negara ini bisa berdikari mandiri sedangkan komponen bangsa hanya bertujuan berebut ingin mati?! Padahal untuk melepaskan belenggu penjajahan haruslah dengan kunci pembuka "semangat untuk hidup". Bukan "semangat untuk mati". Ungkapan mudahnya adalah "Berjuanglah untuk hidup mulia atau Siapkan-lah untuk mati syahid". Mengapa interpretasinya seperti itu?! Sebab berjuang untuk "hidup" sudah termasuk mulia dan menyiapkan diri "meninggalkan kilau dunia" termasuk mati syahid.
Berbeda, jikalau redaksi "isy kariman au mut syahidan" diartikan dengan "Hidup mulia atau mati syahid", secara letterleijk akan memunculkan retorika "hidup harus mulia, bila tidak mulia, tidak pantas hidup." Padahal hidup mulia tolok ukurnya adalah berjuang mengatasi nafsu diri sendiri. Mulia itu bukan hedonis, dan bertahta pangkat harta. Pantaskah berteriak Merdeka (hidup mulia), sedangkan kemiskinan, dekadensi moral, kesenjangan, dan pengangguran merajalela?!
Sejatinya, generasi muda (kadang tua) tergolong mudah dicekoki oleh produsen iklan serta pergaulan bebas dan sangat rentan masuk terperangkap dalam rantai penjajahan Kapitalis. Dia tidak lagi merdeka, karena gerak geriknya dikontrol oleh iklan yang (parahnya) tidak memiliki good attitude (sikap baik) sama sekali. Belum lagi salah pergaulan yang mengakibatkan terjerumus obat terlarang. Sudahkah hidup mulia (merdeka) itu terlaksana?! Ataukah memang gaya "hidup enggan mati tak mau" inikah yang dikehendaki?!
__________________
Ahmad Karomi.
PW LTNNU Jatim
Jargon ini, tidak asing di mata telinga masyarakat indonesia. Pada saat terjadi penjajahan kompeni, menyuarakan "kata sakti merdeka ataoe mati" haruslah mempunyai nyali yang besar. Mengapa penjajah gentar dengan "rapalan" ini?!
Kerap terdengar kutipan maqolah (ucapan) "isy kariman au mut syahidan" (Hiduplah dalam keadaan Mulia atau matilah dalam keadaan Syahid). Maqolah ini yang oleh sebagian kalangan hanya mengartikan akan pentingnya sebuah pilihan namun abai dengan proses dan nilai pesan dari maqolah tersebut.
Merdeka atau Mati adalah pilihan untuk hidup merdeka nan mulia ataukah mati berkalang tanah secara syahid. Wajar, adagium heroik dipublish agar memacu adrenalin patriot bangsa dalam membela tanah air tercinta.
Kembali pada ungkapan "isy kariman au mut syahidan" yang di viralkan kala itu, sebagai solusi motivasi kepada anak negeri untuk membela mati-matian (bukan pingin mati) sekuat tenaga. Sebab sangat irrasional bilamana membela negara hanya bercita-cita untuk mati syahid. Bagaimana bisa negeri ini merdeka bila semua berpikir untuk mati?!
Memaknai "mati" pada redaksi diatas dalam kacamata berbangsa dan negara adalah kesiapan mental bila tercabut nyawa demi mempertahankan kedaulatan bangsa. Istilah pesantren "intihaul ghoyah" atawa pungkasan paling akhir. Sederhananya membela negara mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Logikanya begini, bagaimana negara ini bisa berdikari mandiri sedangkan komponen bangsa hanya bertujuan berebut ingin mati?! Padahal untuk melepaskan belenggu penjajahan haruslah dengan kunci pembuka "semangat untuk hidup". Bukan "semangat untuk mati". Ungkapan mudahnya adalah "Berjuanglah untuk hidup mulia atau Siapkan-lah untuk mati syahid". Mengapa interpretasinya seperti itu?! Sebab berjuang untuk "hidup" sudah termasuk mulia dan menyiapkan diri "meninggalkan kilau dunia" termasuk mati syahid.
Berbeda, jikalau redaksi "isy kariman au mut syahidan" diartikan dengan "Hidup mulia atau mati syahid", secara letterleijk akan memunculkan retorika "hidup harus mulia, bila tidak mulia, tidak pantas hidup." Padahal hidup mulia tolok ukurnya adalah berjuang mengatasi nafsu diri sendiri. Mulia itu bukan hedonis, dan bertahta pangkat harta. Pantaskah berteriak Merdeka (hidup mulia), sedangkan kemiskinan, dekadensi moral, kesenjangan, dan pengangguran merajalela?!
Sejatinya, generasi muda (kadang tua) tergolong mudah dicekoki oleh produsen iklan serta pergaulan bebas dan sangat rentan masuk terperangkap dalam rantai penjajahan Kapitalis. Dia tidak lagi merdeka, karena gerak geriknya dikontrol oleh iklan yang (parahnya) tidak memiliki good attitude (sikap baik) sama sekali. Belum lagi salah pergaulan yang mengakibatkan terjerumus obat terlarang. Sudahkah hidup mulia (merdeka) itu terlaksana?! Ataukah memang gaya "hidup enggan mati tak mau" inikah yang dikehendaki?!
__________________
Ahmad Karomi.
PW LTNNU Jatim
COMMENTS