Oleh: M. Najih Arromadhoni Dalam diskursus teologis umat Islam kontemporer, ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan...
Oleh: M. Najih Arromadhoni
Dalam diskursus teologis umat Islam kontemporer, ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan satu aliran tertentu yang karena eksklusivitas dan klaim kebenaran tunggalnya di-cap biang keresahan dan perpecahan, yaitu Salafi dan Wahabi.
Seorang ulama Mesir, Syeikh Ali Jum’ah, merupakan salah seorang yang concern mengkaji aliran ini. Dalam beberapa karyanya, beliau merespon sikap kaku pada persoalan-persoalan tidak prinsipil yang ditonjolkan oleh aliran ini. Fenomena beragama secara kaku, keras, cenderung merasa benar sendiri, dan tidak lapang menyikapi perbedaan ini faktanya tidak hanya terjadi dan meresahkan kaum muslimin di Mesir, tapi di banyak negara lain, termasuk Indonesia.
Kosakata Salafiyyah menurut bahasa memiliki arti yang nisbi. Setiap zaman adalah salaf (lampau) bagi zaman yang datang setelahnya, dan khalaf bagi zaman yang datang sebelumnya. Dalam sejarah awal Islam, kata tersebut merujuk pada tiga generasi pertama dalam umat Islam, sebagaimana disimpulkan dari sebuah hadis.
Istilah Salafiyyah ini kemudian digunakan dan disalahartikan oleh kelompok tertentu yang menamakan dirinya Salafi (seringkali dinamakan pula dengan Wahabi). Mereka mengklaim sebagai pihak pewaris ajaran dan tradisi kaum salaf sebagai generasi terbaik umat Islam. Padahal jika diteliti, konsep salaf yang mereka maksud adalah sebatas persoalan parsial dan khilafiyah, seperti hukum ziarah kubur, memelihara jenggot dan isbal (memakai baju di bawah matakaki). Ajaran Salaf sendiri tidak baku. Ironisnya, mereka menganggap umat Islam di luar mereka sebagai pelaku bid’ah hanya karena persoalan-persoalan furu’iyah tersebut.
Antara Istilah Salafi dan Wahabi
Istilah Salafiyah menurut Syeikh Ali Jum’ah mulanya muncul di Mesir pada masa penjajahan Inggris. Ini digunakan sebagai jargon reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh atas kondisi mewabahnya penyebaran bid’ah dan takhayul di luar tasawuf yang benar di Mesir pada saat itu. Dengan jargon salafi ini mereka menyeru untuk membuang ‘karat-karat’ bid’ah dan khurafat yang menodai kemurnian Islam, dengan cara meneladani generasi salaf dalam memahami agama.
Digunakannya istilah Salafiyah adalah untuk menumbuhkan kebencian terhadap praktek keagamaan umat Islam pada saat itu, yang dianggap kelam, untuk dibandingkan dengan gambaran idealitas kaum salaf.
Berbarengan dengan adanya upaya tersebut di Mesir, gerakan Wahabi yang diciptakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (sebagai makar Inggris memecah belah umat Islam) menyebar di Najed dan beberapa wilayah di Jazirah Arab. Antara gerakan Wahabi ini dan Salafiyah di Mesir memiliki misi yang sama dalam hal memberangus apa yang menurut versi mereka adalah bid’ah dan khurafat. Maka, kata Salafi dan Salafiyah diklaim pula oleh tokoh-tokoh Wahabi. Bahkan, kemudian nama Wahabi disamarkan dan diusunglah nama yang lebih populis ini, yakni Salafi, guna membangun kesan bahwa gerakan ini bukan “bid’ah” yang diciptakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, melainkan berakar dan merupakan praktek keberagamaan yang diwarisi dari kaum Salaf.
Hakikat Makna Ittiba’ Salaf
Terminologi Salafi sebagaimana diklaim oleh gerakan Wahabi merupakan arti yang telah terbajak dan terdistorsi, karena hakikat makna ittiba’ (mengikuti) kaum salaf adalah sesuatu yang substantif dan kontekstual, serta manhaji. Kaum Salaf sendiri tidak pernah menganjurkan menelan bulat-bulat praktek keagamaan mereka, karena pada koridor tertentu, agama adalah sesuatu yang dinamis dan terbuka dengan adanya ikhtilaf.
Salafi yang sejati, sebagaimana ditegaskan oleh Syeikh Ali Jum’ah, adalah berpegang pada manhaj kaum Salaf Ahlussunnah wa al-Jama’ah dalam berinteraksi dengan teks Alquran dan hadis. Dengan demikian, pertimbangan salafi adalah pada sesuatu yang metodologis, bukan kurun tertentu. Seseorang yang mengikuti manhaj salaf bisa disebut Salafi, meski hidup pada abad-abad terakhir dunia. Sebaliknya, seseorang yang tidak berpegang pada prinsip tersebut tidak dapat disebut Salafi, meski hidup di awal kelahiran Islam.
Yang amat disayangkan oleh banyak pihak adalah karena istilah Salafi telah menjadi jargon polarisasi umat Islam, padahal kaum Salaf tidak pernah menjadikan istilah tersebut sebagai identitas yang memisahkan mereka dengan umat Islam setelahnya. Dengan demikian istilah Salafi yang digunakan oleh gerakan Wahabi merupakan pembajakan atas makna Salafi yang hakiki, dan kaum Salaf berlepas diri dari klaim mereka. Wallahu waliyyu al-taufiq
__________________________
Muhammad Najih Arromadloni, PW LTN NU Jawa Timur
COMMENTS