Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya) Mr. Ali Sastroamijoyo, salah seorang penggerak bangsa ...
Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya)
Mr. Ali Sastroamijoyo, salah seorang penggerak bangsa di awal kemerdekaan RI, pernah menyampaikan sebuah cerita kepada KH. Saifuddin Zuhri saat menghadiri Konferensi Non Blok di Beograd, 1961. Dia bernostalgia awal mula interaksinya dengan KH. A. Wahab Hasbullah, Rais Aam Syuriah PBNU saat itu.
Menurutnya--dan ini jarang diketahui bahkan oleh nahdliyyin sendiri—Kiai Wahab di era 1930-an pernah malang melintang sebagai advokat swasta alias pengacara amatir non-profesional. “Pokrol Bambu” adalah sebutan bagi mereka yang menguasai seluk beluk hukum Belanda, tak punya latarbelakang pendidikan hukum resmi, namun diperbolehkan berperkara di pengadilan.
Di berbagai sidang pengadilan Hindia Belanda, seringkali Mr. Ali Sastroamijoyo dan Kiai Wahab berlaku sebagai kolega, sesekali mereka berhadapan langsung sebagai “lawan”, bahkan hingga tingkat Raad van Justice alias Pengadilan Tinggi.
Pengalaman sebagai pembela “wong cilik” dalam berbagai sidang di pengadilan Hindia Belanda membuat Kiai Wahab lebih cakap dalam urusan lobi pembebasan KH. M. Hasyim Asyari dari penjara Jepang. Bahkan, lobi dilakukan secara langsung ke Jakarta.
Dalam masa genting di bawah kekuasaan Jepang, manuver politik Kiai Wahab benar-benar jempolan. Manakala para kiai ditangkap Jepang–termasuk Kiai Hasyim Asy’ari–, Kiai Wahab dengan tanggungjawab penuh menjalankan roda organisasi.
Di saat hampir bersamaan dengan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari di penjara Surabaya, Kiai Wahab meluncur ke Banyumas. Di kota ini, beberapa ulama ditangkap Jepang. Alasannya: menggerakkan rakyat menentang Dai Nippon. Kiai Sunan Muhdzir Banyumas ditangkap terlebih dulu. Kemudian KH. Hasbullah, KH. Masykuri, KH. Ibnu Hajar dan KH. Tamlikho. Ketiganya adalah ulama berpengaruh di Wonosobo. Dengan taktis, Kiai Wahab segera mempelajari seluk beluk hukum militer Jepang yang berlaku di tanah jajahan.
Dalam pengadilan Jepang, Kiai Wahab bersama Kiai Mukhtar, Konsul NU Banyumas, melakukan pembelaan terhadap Kiai Sunan Muhdzir, yang telah divonis hukuman mati. Meski tidak berhasil “menyelamatkan” Kiai Sunan Muhdzir, namun Kiai Wahab, Kiai Mukhtar, dan Kiai Saifuddin Zuhri berhasil melakukan pembelaan secara maraton terhadap kiai-kiai lain yang menjadi pengikut Kiai Sunan Muhdzir, sehingga tak sampai dihukum mati.
Kiai Wahab bersama Kiai Mukhtar kemudian juga menjadi pembela di pengadilan Wonosobo yang mengadili perkara Kiai Hasbullah, Rais Syuriah NU Wonosobo, bersama Kiai Masykuri, Kiai Ibnu Hajar dan Kiai Tamlikho. Usaha Kiai Wahab memang tidak berhasil membebaskan para kiai ini dari dakwaan hakim, hanya meringankan masa hukuman saja sebab sejak awal pihak Jepang sudah berniat memenjarakan para kiai ini dengan durasi waktu berbeda. Demikian di antara kisah yang termuat di dalam otobiografi KH. Saifuddin Zuhri, “Berangkat dari Pesantren”.
Usaha Kiai Wahab menjadi advokat ini sungguh menakjubkan. Bukan hanya terkait dengan tanggungjawabnya sebagai salah satu pemimpin tertinggi NU di eranya untuk “ngemong” anggotanya, melainkan pula terkait dengan latarbelakang pendidikannya. Kiai Wahab “hanya” alumni pesantren dan pernah belajar di Hijaz. Namun pergaulannya yang lintas batas, ditunjang dengan basis ilmu ladunni (otodidak) yang dimiliki, dan kemampuan retorika yang mempesona membuatnya menjadi pribadi unggul yang disegani. Era 1930-an adalah era ketatnya pengawasan PID (intelijen Belanda) dalam memantau kaum pergerakan. Namun, di era ini justru Kiai Wahab sudah malang melintang menjadi advokat prodeo. Meski sangat sulit melacak perkara apa saja yang ia tangani, namun berdasarkan penuturan Mr Ali Sastroamijoyo, sarjana hukum lulusan Belanda, bisa kita lihat kekaguman Mr Ali terhadap Kiai Wahab Hasbullah. Juga, kekaguman KH. Saifuddin Zuhri, menteri agama era Orde Lama, yang melihat ketangguhan dan kecerdasan Kiai Wahab saat melakukan lobi terhadap hakim dan jaksa pengadilan Jepang dalam perkara kiai NU di Banyumas dan Wonosobo.
Melalui sekelumit kisah di atas, Kiai Wahab bukan hanya pakar ushul fiqh dan fiqh siyasah saja, melainkan paham seluk beluk hukum Belanda dan Jepang. Mustahil Kiai Wahab menjadi pembela hukum di era Hindia Belanda dan Jepang jika beliau tidak menguasai hukum kedua negara agresor tersebut.
Wallahu A’lam Bisshawab
__________________________
Rijal Mumazziq Z (PC LTN Kota Surabaya)
COMMENTS