Oleh: Rijal Mumazziq Z (Dosen STAI Al-Falah Assunniyyah Kencong Jember) Dalam tulisan sebelumnya, saya membahas sekilas Mir-at At-Thu...
Oleh: Rijal Mumazziq Z (Dosen STAI Al-Falah Assunniyyah Kencong Jember)
Dalam tulisan sebelumnya, saya membahas sekilas Mir-at At-Thullab, kitab yurisprudensi pertama yang ditulis oleh ulama Nusantara. Kali ini, saya akan membahas kitab tafsir pertama yang ditulis oleh ulama Nusantara. Penulisnya sama, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili.
-----
Ulama besar ini menempati posisi istimewa dalam jagat intelektual-spiritual Nusantara. Ia menjadi seorang mufti yang menuliskan karya di bidang fiqh, juga merupakan mufassir yang pertama kali menghasilkan karya dalam bahasa Melayu, sekaligus juga merupakan seorang mursyid beberapa tarekat yang memiliki murid lintas negara.
Tarjuman al-Mustafid adalah tafsir al-Qur’an karya Syaikh Abdurrauf As-Sinkili yang hingga saat ini ditengarai sebagai karya perdana yang ditulis oleh ulama lokal Nusantara di bidang tafsir. Ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, As-Sinkili berusaha menjembatani antara peradaban Arab dengan dunia intelektual muslim Melayu-Nusantara. Sebab pada saat itu bahasa Melayu menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara, dalam bidang komunikasi antar etnis, surat menyurat, administrasi, bidang keilmuan, dan lain sebagainya.
Menurut Azyumardi Azra, sebelum As-Sinkili, hanya ada sepenggal tafsir atas surat 18 (Surat al-Kahfi) yang diperkirakan ditulis pada zaman Hamzah Fansuri atau Syamsuddin As-Sumatrani, mengikuti tradisi Tafsir al-Khazin. “Tetapi gaya terjemahan dan penafsirannya berbeda dengan Hamzah Fansuri atau As-Sumatrani yang lazimnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip dalam karya-karya mereka secara mistis.” tulis Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (hlm. 246).
Meskipun As-Sinkili tidak memberikan angka tahun penyelesaian karya tersebut, tidak ada keraguan dia menulisnya semasa kariernya yang panjang di kesultanan Aceh. Azra menolak anggapan A. Hasjmi yang memperkirakan apabila karya ini ditulis saat perjalanan ke India. Bagi Azra, tak ada catatan apabila As-Sinkili pernah menjejakkan kaki di India. Lagi pula, nyaris mustahil sebuah karya tafsir yang serius bisa diselesaikan di perjalanan. “Karya ini diselesaikan pada tahun 1675 M.” tambah Moch. Nur Ichwan, dalam “Literatur Tafsir Qur’an Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa, Pergeseran, dan Kematian”, dalam Visi Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1, No. 1 Januari 2002, (hlm. 5).
Sebagai tafsir paling awal, tidak mengherankan apabila karya ini beredar luas di wilayah Melayu Indonesia. Bahkan edisi cetaknya dapat dijumpai di komunitas Melayu muslim Afrika Selatan. Sebagai bukti reputasi internasional As-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid diterbitkan di berbagai negara: Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay. Bahkan, di Timur Tengah karya ini mendapatkan apresiasi dari penerbit Sulaiman al-Maraghi, Kairo, yang menerbitkannya pada tahun 1930-an. Penerbit al-Amiriyyah, Makkah, juga mencetak ulang berkali-kali karya berbahasa Melayu ini. Tak ketinggalan, Mathba’ah al-Utsmaniyyah, Istanbul, pernah menerbitkan karya ini pada tahun 1884 dan cetak ulang pada 1904. Kenyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid diterbitkan di berbagai negara menunjukkan apabila kualitas intelektualnya diakui secara internasional.
Saya memperoleh kitab ini dua tahun silam. Itupun harus dikirim dari Kairo melalui sahabat yang sedang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang saya miliki merupakan cetakan tahun 1951 yang diterbitkan oleh Musthafa al-Babi al-Halabi, salah satu penerbit paling prestisius di Mesir pada zamannya. Terdiri dari 2 juz dikemas dalam satu jilid, kitab ini berukuran 24 x 34 cm dan terdiri dari 612 halaman.
Di cover dalam kitab cetakan Mesir ini, saya menjumpai keterangan apabila kitab ini merupakan terjemah bebas dari tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya Imam al-Baidlawi. Tentu ini pendapat dari mushahhih kitab ini, yaitu Syaikh Idris al-Marbawi, seorang ulama Melayu yang lama tinggal di Mesir dan juga dikenal sebagai penulis produktif dan penyusun Kamus “al-Marbawi” Arab-Melayu.
Bagaimana dengan pandangan orientalis? Dengan nada sinis, orientalis seperti Snouck Hurgronje menengarai apabila Tarjuman al-Mustafid ini merupakan terjemahan dari Tafsir al-Baidlawi. Murid Hurgronje, Rinkes, menambahkan apabila karya ini merupakan terjemahan dari sebagian Tafsir Jalalain. Sedangkan sarjana Belanda lainnya, Voorhoeve, menyatakan bahwa tafsir karya As-Sinkili ini merupakan karya yang diolah berdasarkan literatur-literatur klasik berbahasa Arab.
Sedangkan Peter Riddell, sebagaimana dikutip Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (hlm. 158), secara meyakinkan membuktikan apabila Tarjuman al-Mustafid ini merupakan terjemahan Tafsir Jalalain, karya tafsir yang ditulis oleh dua Jalaluddin: al-Mahalli (1389-1459 M) dan As-Suyuthi (1445-1505 M). Hanya pada bagian-bagian tertentu saja, As-Sinkili memanfaatkan Tafsir al-Baidlawi dan Tafsir al-Khazin. Aspek lainnya, “Tafsir Baidlawi merupakan karya tafsir yang ekstensif dan rumit, sedangkan Tarjuman al-Mustafid sebagaimana Tafsir Jalalain, modelnya singkat, jelas, dan elementer.” tulis Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi (hlm. 42).
Identifikasi ini penting, bukan hanya untuk mengungkapkan jalur penyebaran ilmu-ilmu Islam dari pusat-pusatnya, tetapi juga untuk menunjukkan kepada kita pendekatan yang digunakan oleh As-Sinkili dalam menyebarkan ilmu yang telah dia terima dari guru-gurunya dalam jaringan ulama internasional kepada para pembacanya di wilayah Melayu-Indonesia.
Hal ini dapat dipahami, sebab sebagian besar ulama Nusantara, termasuk As-Sinkili, memiliki matarantai keilmuan yang bersambung dengan Al-Mahalli dan As-Suyuthi. Ini juga menjadi alasan apabila hingga saat ini Tafsir Jalalain menjadi salah satu tafsir paling populer bagi kalangan muslim di wilayah Nusantara. Selain lebih ringkas, padat, dan jelas, penjelasan mengenai asbabun nuzul juga membantu pemahaman lebih sempurna atas penafsiran yang dikemukakan.
Dalam menerjemahkan Tafsir Jalalain ke dalam bahasa Melayu, As-Sinkili menjadikannya sederhana dan mudah dipahami orang Melayu pada umumnya. Lazimnya, dia menerjemahkan Tafsir Jalalain kata per kata, dan menahan dirinya untuk tidak memberikan tambahan-tambahan dari dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, dia menghapus penjelasan-penjelasan tata bahasa Arab dan penafsiran-penafsiran panjang yang mungkin dapat mengalihkan perhatian pembacanya. Jadi jelaslah, Tarjuman al-Mustafid dapat dipahami dengan mudah oleh para pembacanya, dan karenanya menjadi petunjuk praktis bagi kehidupan mereka.
“Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafid merupakan satu-satunya terjemahan lengkap al-Qur’an di tanah Melayu; baru dalam tiga puluh tahun terakhir muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu-Indonesia. Namun perkembangan terakhir ini tidak lantas berarti bahwa Tarjuman al-Mustafid kehilangan daya tariknya. Karya ini memainkan peranan penting dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam.” tulis Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (hlm. 250).
Terlepas dari perdebatan seputar isi Tarjuman al-Mustafid, apakah murni terjemahan dari Tafsir Jalalain, Tafsir Baidlawi, atau dikombinasikan dengan Tafsir al-Khazin, namun harus diakui apabila dengan karyanya ini As-Sinkili telah meletakkan dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara terjemahan dengan tafsir, dan karenanya telah memberikan inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk menelaah lebih lanjut atas karya tafsir berbahasa Arab.
Dalam perkembangannya, rintisan yang dimulai oleh As-Sinkili ini mengalami fase kevakuman selama kurang lebih dua abad. Dalam kurun dua ratus tahun tersebut, nyaris tidak dijumpai karya orisinil ulama Nusantara di bidang tafsir. Hingga fase kekosongan karya di bidang ini ini diisi oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dengan karyanya, Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Setelah guru para ulama Nusantar di Hijaz ini wafat pada 1899, di tanah air lahir pula karya KH. Soleh Darat, Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur'an.
Kitab karya Kiai Soleh ini berukuran folio, dicetak pertama kali di Singapura pada tahun 1894. Terdiri dari dua jilid, kitab ini menjadi referensi pribumi Jawa yang bermukin di tanah Melayu. Bahkan kaum muslim di Pattani, Thailand Selatan juga memakai kitab ini. Ditulis dengan aksara Arab Pegon, kitab tersebut dihadiahkan kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Rembang. Kiai Soleh Darat wafat pada tanggal 28 Ramadan 1321 H, atau bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1903. Penulis produktif ini dimakamkan di komplek Pemakaman Umum Bergota Semarang.
Setelah zaman Kiai Soleh berlalu, kajian tafsir di Nusantara semakin semarak. Syekh Mahmud Yunus melahirkan Tafsir al-Qur’anul Adzim pada tahun 1922 yang ditulis menggunakan aksara Jawi (Pegon). Lalu, Ahmad Hassan, pendiri Persatuan Islam, juga menulis Tafsir al-Furqon yang ditulis selama beberapa tahun sampai 1940. Pada beberapa dasawarsa berikutnya, dan hingga kini, kajian seputar al-Qur’an semakin dinamis dan beberapa karya seputar tadabbur ayat al-Qur’an dan tafsirnya juga semakin semarak, bahkan ada juga yang tetap mempertahankan ulasannya menggunakan bahasa lokal.
Apa yang telah dirintis oleh As-Sinkili empat abad silam telah membuka cakrawala tafsir al-Qur’an di Nusantara. Meski tulisan kali ini terlalu singkat membedah Tarjuman al-Mustafid dan kaitannya dengan khazanah tafsir Nusantara (Indonesia), namun mengutip periodesasi tafsir Indonesia yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, ada beberapa fase perkembangan tafsir Indonesia yang menarik dicermati.
Generasi pertama, kira-kira permulaan abad ke-20 hingga awal 1960-an, yang ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua merupakan penyempurnaan atas generasi pertama, yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Cirinya, biasanya memiliki catatan, catatan kaki, terjemahan per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana.
Adapun tafsir generasi ketiga mulai muncul pada 1970-an yang telah berwujud penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang disertai terjemahannya. Ini merupakan periodesasi tafsir di Indonesia yang dibuat oleh Howard M. Federspiel dalam “Kajian al-Qur’an di Indonesia” (1996).
Wallahu A’lam Bisshawab
__________________
Rijal Mumazziq Z ( Dosen STAI Al-Falah, Kencong Jember, Ketua PC LTN NU Kota Surabaya)
COMMENTS