Oleh: Ahmad Karomi Melampiaskan uneg-uneg atau perasaan yang melanda jiwa kerap tidak mendapatkan pencerahan yang diharapkan. Malah ...
Melampiaskan uneg-uneg atau perasaan yang melanda jiwa kerap tidak mendapatkan pencerahan yang diharapkan. Malah menimbulkan kegalauan baru, sehingga sumpek itu semakin bercokol tanpa bisa ditolerir. Mengobati kelabilan jiwa yang resah dengan resep "Tombo Ati iku limo" memang sangatlah tepat. Akan tetapi banyak dari kalangan kita yang masih jauh dari kata "sungguh-sungguh" untuk melaksanakannya.
Penempaan nafsu sebenarnya tidaklah melulu dikekang, dibabat habis tak bersisa. Akan tetapi bagaimana nafsu itu tumbuh dibawah kendali manusia sebagai khalifah (pemimpin) dirinya sendiri. Seingat saya, Hati ibarat raja yang mengendalikan seluruh anggota tubuh tanpa terkecuali. Mengapa hati? Sebab hati memiliki sebuah mekanisme yang unik dan sulit ditebak. Oleh karena itu, kita dianjurkan berdoa "ya muqallibal qulub tsabbit qalbi ala dinik" (wahai dzat yang memutar balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agamaMu).
Konsistensi (istiqomah) adalah lawan terberat nafsu, sedangkan nafsu memiliki kecondongan pada sesuatu yang ammarah bissu' (mengajak keburukan), juga bisa lawwamah (kadang baik, buruk), dan muthmainnah (kebaikan). Nafsu bisa diartikan "pembisik" raja. Dimana sang pembisik bisa dengan mudah mempengaruhi "hati" raja.
Semisal, sebuah keinginan yang tercapai, bilamana "pembisik" hati suka dengan hal yang baik, maka muncullah rasa syukur. Jikalau tidak tercapai, maka terucaplah kata "sabar". Bisa kita tebak bila "pembisik hati" itu memiliki kecenderungan buruk, maka tingkah laku dan ucapannya adalah sesuai kecenderungannya.
Berbicara tentang kekeruhan hati, maka penyeimbangnya adalah kebeningan hati. Acapkali para ulama doeloe dihadapkan dengan bosan, jenuh, sumpek, galau dan lain sebagainya. Apa obatnya? Ternyata (selain yang disebut tombo ati iku limo) adalah berkarya. Contohnya, Kyai Makki yang tidak memiliki kertas tulis, beliau menggurat pena di pinggir kitab " ingsun nulis ono pinggir kene krono faqir kertas lan cupete ati" (saya menulis di halaman pinggir kitab karena tidak memiliki kertas dan sumpek hati). Kitab yang beliau tulis adalah "umdatut tholib fi tahaqquqi shoumil hasib".
Dari curahan hati yang diekspresikan dalam bentuk tulisan ini, bisa disimpulkan bahwa beliau memiliki nafsu muthmainnah. Dimana kebosanan, kegundahan mengendap pelan -tapi pasti- dan mengotori udara ketenangan dan kekhusyukan beliau, tatkala ngaji di kampung syamiyah makkah mukarramah 1321 H. Akan tetapi semua godaan itu oleh Kyai Makki bisa dipatahkan dengan kreatifitas karya tulis.
Kegigihan beliau menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dengan menaklukkan nafsu su'u' (buruk), memotivasi diri sendiri untuk tetap di jalur kebaikan adalah sebuah teladan bagi kita -yang katanya lebih maju- untuk tetap belajar berjuang mengendalikan nafsu, berkarya, berusaha menebar kebaikan. Bukankah jihad terberat adalah berhadapan dengan nafsu?!
Walhasil, masihkah pantas bila "syetan" sebagai kambing hitam kebejatan kita sendiri?! Dimana chip nafsu yang tertanam pada manusia masih bisa dilatih, diajak, dibiasakan menjadi nafsu yang mengajak berbuat kebaikan meskipun terkadang masih berlumurkan pemaksaan.
Wallahu A'lam bishhawab
(Kereta, Blitar-Surabaya, 17,7,2017)
____________________
Ahmad Karomi (PW LTN NU Jatim, Dosen Stai-BA, Pengajar Madin Blitar)
COMMENTS