Oleh: Ahmad Karomi Sore itu, tepatnya akhirussanah 1997 di teras Pondok Queen bergerumbul santri-santri sowan seorang Kyai yang oleh KH...
Oleh: Ahmad Karomi
Sore itu, tepatnya akhirussanah 1997 di teras Pondok Queen bergerumbul santri-santri sowan seorang Kyai yang oleh KH. Nurul Huda Djazuli dijuluki "Dulur ngganteng", beliau adalah Kyai Munif Djazuli atau lebih akrab disebut Gus Munif. Sudah menjadi agenda wajib bagi santri yang khatam untuk sowan Masyayikh Ploso, diantaranya sowan kepada beliau.
Kyai Munif, memberikan tausiyah bagi teman-teman santri yang telah rampung mengarungi samudra ilmu di Ploso. Salah satu dari sekian dawuh beliau yang masih di ingat adalah "Santri kudu iso nguasai bahasa lan sinau bahasa; bahasa masyarakat, bahasa pejabat, bahasa pergaulan, bahasa hati, sebab wong sing iso nguasai bahasa, iso ditompo (diterima) dimanapun berada" (santri harus menguasai bahasa dan belajar bahasa; bahasa masyarakat, bahasa pejabat, bahasa pergaulan, bahasa hati, sebab seseorang bisa mudah diterima bila menguasai bahasa).
Dawuh beliau ini mengindikasikan akan pentingnya belajar tanpa kenal lelah. Sesuai prinsip Mbah Kyai Ahmad Djazuli "afdlolutturuq ilallah thoriqotutta'lim watta'allum. (Sebaik-baiknya jalan menuju Allah adalah mengajar dan belajar). Perhatian beliau akan pendidikan sangatlah tinggi. Beliau mengarahkan santri untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan terpandang. Meskipun Pesantren Ploso bercorak pondok pesantren kitab kuning, atau istilahnya Madin, namun melahirkan sejumlah tokoh berpengaruh di Negeri ini. Sungguh ironis, bilamana pesantren/madin sebagai pilar bangsa harus digerus oleh aturan yang dikenal Full Day School.
Pernah, di bulan Ramadhan Kyai Munif kedatangan tamu special, yakni Gus Dur. Kedua tokoh ini berbagi tugas, Kyai Munif bagian ngaji, Gus Dur yang menerangkan. Sungguh kejadian ini sangatlah langka dan terjadi sekali seumur hidup.
Salah satu kisah, Kyai Munif ngaos (mengaji) kitab minahussaniyyah, sebuah kitab tasawwuf, sebelum beliau ngaji, beliau nimbali (memanggil) para dewan mufattis (Guru senior) untuk ikut menyimak terlebih dahulu, diantara mufattis itu adalah alm. Kyai Ahsan bushair. Padahal Kyai munif menguasai kitab tasawwuf itu, namun beliau tetaplah membumi, mengajak diskusi dengan mengundang para mufattis untuk menyimak serta mengoreksi bacaannya. Sungguh hebat akhlaqul karimah yang ditunjukkan oleh Kyai Munif sebagai sosok Kyai yang gemar berdiskusi, bahkan di "simak" oleh guru senior pondok.
Dalam laku spiritual, beliau pernah dawuh "nek onok wong ngaku sufi, nggembel, ora adus, ora makaryo, kene tak cekele" (kalau ada orang mengaku sufi, berlaku gembel, tidak bekerja, tidak mandi, akan saya tangkap). Bagi beliau, rapi, bersih, bekerja halal, menafkahi keluarga adalah cermin bening hati. Bahkan ada alumni yang ketika ditanyai beliau tentang pekerjaan, alumni itu menjawab jual gorengan. Oleh Kyai Munif pun di doakan agar jualan gorengan itu penuh barokah. Beliau menyarankan bagi santri yang sudah pulang (boyong) ke rumah, untuk menjalin silaturrahmi dengan sesama santri, sebab salah satu keistimewaan silaturrahmi adalah hidup berkah dan mudah mendapat rezeki.
Walhasil, teladan dari Kyai Munif Djazuli tentang belajar tanpa kenal usia, akhlaqul karimah, menghargai orang lain, sopan, rapi, bersih, bertanggung jawab dan tholabul halal (kerja halal), silaturrahmi adalah tetesan ilmu hikmah yang seyogyanya diikuti segenap santri, khususnya Santri Ploso. Bukankah Al-Adab Fauqal ilmi?! (Etika diatas ilmu?!)
Khususon KH. Munif Djazuli, alfatihah
_________________________
Ahmad Karomi, Alumni Alfalah Ploso Kediri
COMMENTS