Oleh: Ayunk Notonegoro KH. Abdul Manan bin KH. Moh. Ilyas atau akrab disapa Mbah Manan adalah salah seorang ulama kharismatik di Bany...
Oleh: Ayunk Notonegoro
KH. Abdul Manan bin KH. Moh. Ilyas atau akrab disapa Mbah Manan adalah salah seorang ulama kharismatik di Banyuwangi. Banyak para kiai ataupun ustad-ustad di Banyuwangi dan daerah sekitarnya yang menyandarkan sanad keilmuwannya pada sosok pendiri Pesantren Minhajut Thullab, Sumberberas, Muncar ini.
Pria kelahiran Grampang, Kediri pada 1870 ini, semenjak belia telah menjadi seorang penuntut ilmu yang gigih. Berbagai pesantren di Nusantara telah dijelajahinya. Mulai Pesantren Keling (Kediri), Pesantren Gerompol (Kediri), Pesantren Cempoko (Blitar), Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pesantren Gayam (Jombang), Pesantren Tegalsari (Ponorogo), hingga ke Pesantren Kademangan, Bangkalan asuhan KH. Cholil.
Beliau juga tercatat pernah hudluran (ngaji khusus pada bulan Ramadlan) beberapa pesantren, seperti Pesantren Bendo, Lirboyo, Jampes yang kesemuanya di Kediri. Dan juga di Pesantren Langitan di Tuban.
Pengembaraan intelektual Mbah Manan juga disempurnakan dengan menuntut ilmu di Makkatul Mukarramah. Di pusat studi keislaman ini, Mbah Manan menghabiskan waktu sembilan tahun untuk menuntut ilmu.
Pasca dari Mekkah, tak lantas membuat dahaga ilmu Mbah Manan terpuaskan. Ia kembali menuntut ilmu. Ia kembali mengembara di Pesantren Jalen, Banyuwangi. Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul Basyar ini, menjadi titik penting dalam perjalanan hidup Mbah Manan. Di tempat Kiai Cholil Bangkalan muda pernah belajar inilah, Mbah Manan kelak diambil menantu oleh Kiai Basyar. Hingga akhirnya berhasil mendirikan pesantren sendiri pada 1939.
Meski memiliki intelectual experience yang menjamin kapabilitas keilmuwannya, namun bagi Mbah Manan, hal tersebut belumlah paripurna. Perjalanan keilmuwan hanyalah menjamin kecerdasan dan keluasan pengetahuan, tapi belum menjamin keberkahan. Untuk menjamin keberkahan ilmu, bagi kalangan santri, harus diparipurnakan dengan riyadlah.
Dalam catatan stensil tentang biografi Mbah Manan diceritakan, ia telah terbiasa riyadlah sejak masih muda. Seperti halnya berpuasa. Tidak hanya puasa pada umumnya seperti puasa Daud, puasa Senin dan Kamis, dan lainnya. Tapi, juga puasa ngerowot dan mutih.
Puasa mutih adalah puasa yang hanya memperbolehkan berbuka dan sahur dengan nasi putih saja. Tanpa lauk pauk maupun sayur. Sedangkan puasa ngerowot sendiri hanya mengkonsumsi sayuran saja.
Bahkan, saat di Mekkah, riyadlah yang dilakukan oleh Mbah Manan semakin 'berat'. Beliau hanya berbuka dengan sebutir kurma dan seteguk air zam-zam. Begitu pula saat sahur.
Kebiasaan berpuasa itu, dilakukan hampir sepanjang tahun. Puasa dahr, begitu istilahnya dikalangan santri. Hanya hari raya dan hari tasyrik saja, Mbah Manan tidak berpuasa.
Tak hanya saat menuntut ilmu saja, kebiasaan tersebut dilakukan oleh Mbah Manan. Bahkan, ketika berkeluarga pun tetap riyadlah. Mertua dari KH. Askandar itu, seringkali berpuasa dan hanya makan beras ketan saja.
Usia sepuh tak menyurutkan kebiasaan Mbah Manan melakukan laku prihatin tersebut. Saat-saat menjelang ajal pada 15 Syawal 1399 H (1979), pun bapak dari 21 anak tersebut tetap melakukan riyadlah. Tak heran, jika anak-anaknya dan juga para santrinya banyak yang menjadi orang alim dan tokoh masyarakat. Hal tersebut, tentu tak lepas, dari keberkahan ilmu Mbah Manan yang senantiasa meriyadlahinya.
Ilaa hadrati Mbah Manan bin Kiai Ilyas lahul fatihah.
___________________
Ayunk Notonegoro (PCNU Banyuwangi)
COMMENTS