Oleh: Wasid Mansyur, (PW LTN NU Jatim) Di tengah suasana Idul fitri 1438 H, yang diiringi nuansa tradisi mudik dan unjung-unjung at...
Oleh: Wasid Mansyur, (PW LTN NU Jatim)
Di tengah suasana Idul fitri 1438 H, yang diiringi nuansa tradisi mudik dan unjung-unjung atau berkunjung ke sanak kerabat, teman serta para kiai/ guru. Penulis, menemukan salah satu karya Hadlratusy Syaikh Kiai Hasyim Asy'ari, selanjutnya disebut mbah Hasyim, yang berjudul al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqaatha'ah al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan [penjelasan tentang larangan memutus silaturrahim, memutus kekerabatan dan persaudaraan].
Tanpa pikir panjang kitab dibaca dengan niatan tabarrukan dengan mbah Hasyim Asy'ari, salah satu kiai yang cukup besar jasanya bagi Islam Nusantara ala Aswaja (baca: NU) dan berdirinya bangsa ini. Kealimannya cukup dikenal, bahkan kezuhudannya tidak disangsikan. Tidak heran, bila dari beliau lahir tokoh tokoh penting di negeri ini, baik untuk perjuangan Islam maupun berkontribusi untuk perwujudan NKRI.
Menariknya kitab al-Tibyan diulas singkat dalam suasana Syawwal-an; Pertama, kitab ini selesai ditulis oleh Mbah Hasyim pada hari Senin, bulan Syawwal tanggal 20, tahun 1360 H, yang diperkirakan tepat tahun 1939 M. Karenanya, ulasan ini sekaligus niat Syawalan dengan mbah Hasyim; niat sambungkan hati sambil belajar atas warisan keilmuan beliau agar hidup ini selalu mengalami perubahan sesuai dengan semangat Syawwal, pasca perang nafsu di bulan Ramadhan.
Bila dilihat dari tahunnya, maka dapat dikatakan kitab ini tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan politik yang dihadapi mbah Hasyim Asy'ari dan umat Islam pada umumnya. Artinya, hadirnya kitab al-Tibyan adalah sebagai jawaban dan keinginan mbah Hasyim Asy'ari merespon kondisi sosial politik tahun 1939 an, di mana antar umat Islam masih mudah konflik yang disinyalir terlalu lama terjebak pada hal-hal furu'iyyah [lebih-lebih dikaitkan dengan paham Wahhabi]. Sementara dalam kondisi ini yang dibutuhkan - menurut amatan mbah Hasyim Asy'ari- sebagaimana dipahami adalah persatuan kuat semua elemen anak bangsa, khususnya antar umat Islam. Persatuan dalam rangka agar bersama-sama menyatukan tekad untuk melawan penjajah hingga tekad ini menemukan momentumnya pada 6 tahun kemudian, melalui Resolusi Jihad mengawal terus kemerdekaan RI tahun 1945.
Oleh karenanya, dalam kondisi kekinian ini, membaca pesan-pesan substantif dalam kitab al-Tibyan menjadi sangat penting. Apalagi, dalam kondisi umat banyak terjangkit penyakit sosial "sumbu pendek", yang ditandai dengan mudahnya mengumbar amarah dan tindakan keras kepada yang lain atas nama agama. Akibatnya, antar umat muncul saling curiga, saling hasut dan mengumbar kebencian secara bebas, khususnya melalui Medsos.
Rawat Persatuan
Pesan-pesan substantif yang termaktub dalam kitab al-Tibyan, sekali lagi, soal perlunya menjaga persatuan dan larangan bertindak dan berprilaku yang menjadi sebab perpecahan. Mbah Hasyim mengatakan: permusuhan dan perpecahan disebabkan oleh persoalan kecil adalah bagian dari tipu daya setan dan penyebab terjadinya saling sombong antar sesama di satu sisi serta bentuk upaya mengikuti hawa nafsu di sisi yang berbeda.[hlm, 16']
Dengan begitu, agar tidak mudah terjadi; pertama, merawat silaturrahim adalah keniscayaan dalam rangka menghindar dari perpecahan. Silaturrahim dimaknai sebagai upaya menebarkan kerahmatan dan saling menyapa sehingga tidak hanya terjadi kepada kerabat terdekat, tapi juga kepada kerabat lain dan saudara-saudara antar sesama, termasuk tetangga.[hlm, 9]
Kedua, hindari "jota'an" atau tidak tegur sapa sebab ini salah satu penyebab perpecahan yang dilarang oleh Islam. Kecuali jota'an yang bermanfaat untuk agama.[hlm, 12] Karenanya, Mbah Hasyim dengan tegas mengatakan: sungguh aku melihat dengan mataku, bahwa jota'an yang terjadi antara kita -Sesama umat Islam- pada era ini (tahun 1939an), sama sekali tidak ada nilai kebaikannya, baik urusan agama maupun dunia. Bahkan lebih banyak kerusakannya bagi agama dan dunia, jika berpikir secara cerdas. Jota'an atau tidak tegur sapa antar sesama adalah bagian dari dosa sebab menimbulkan kerusakan agama dan dunia, termasuk menimbulkan hasut dan saling marah.
Ketiga, hindari perbedaan sebagai perpecahan. Ini keniscayaan sebagaimana dicontohkan oleh para pendahulu-pendahulu Islam. Perbedaan antar mereka tidak menyebabkan mereka saling tengkar, bahkan semakin melahirkan sikap saling hormat bukan saja ketika hidup, tapi sampai salah satu di antara mereka ada yang meninggal. Contoh konkrit digambarkan mbah Hasyim sebagai berikut:
"Suatu ketika imam Syafi'i berziarah ke makam imam Abu Hanifah selama 7 hari, sambil menginap di makam. Setiap kali khatam al-Quran, imam Syafi'i selalu menghadiahkan pahalanya ke imam Abu Hanifah. Bahkan, dalam kondisi tertentu pula, ketika sholat shubuh di kubah imam Abu Hanifah, imam Syafi'i tidak pernah Qunut, padahal baginya Qunut hukumnya sunnah." Selanjutnya, setelah pulang, imam Syafi'i ditanya salah satu santrinya, mengapa gerangan tidak Qunut?. Sang Guru, menjawab: "sengaja aku tidak Qunut untuk menghormati pendapat imam Abu Hanifah yang tidak mensunnahkan adanya Qunut dalam setiap sholat subuh".
Dari sini, maka penting kita beragama dengan sebaik-baiknya. Dan mbah Hasyim mengingatkan agar kedalaman kita dalam beragama dan beribadah, jangan menjadi sebab kita merasa terbaik sehingga memunculkan rasa sombong di hadapan mereka yang berbeda pandangan. Pasalnya, cara ini bagian dari beragama yang mengikuti hawa nafsu. Dan mengikutinya akan menjadi sebab kita tersesat jauh dari jalan Allah yang sebenarnya,[hlm, 16].
Akhirnya, syawalan bersama Mbah Hasyim, dengan membaca karyanya, bisa dimaknai bahwa tradisi mudik dan ujung-unjung yang dilakukan pada setiap perayaan Idul Fitri, yang sangat mungkin hanya ada di bumi Nusantara, adalah bagian dari ibadah tahunan sebab di dalamnya terdapat semangat merawat kedekatan dengan kerabat dan handataulan semua, termasuk para guru/kiai yang berjasa pada kita. Kedekatan ini yang kemudian menjadi jalan lintas agar tidak mudah putus hubungan dengan siapapun.
Alfatihah, untuk Hadlrotus Syeikh Mbah Hasyim Asy'ari, sang Maha Guru Kita Semua. Semoga, berkah menyertai suasana Mudik di kampung halaman.
_____________
Kitab yang dibaca versi cetakan, maktabah al-turath al-islami Tebuireng Jombang.
Wasid Mansyur (PW LTN NU Jatim)
Penulis buku Tasawwuf Nusantara; Kiai Ihsan Jampes
COMMENTS