Oleh: Ahmad Karomi Tahun 2000 adalah tahun millenium yang konon merupakan tahun tonggak sejarah. Di tahun itu Gus Dur menjabat sebaga...
Oleh: Ahmad Karomi
Tahun 2000 adalah tahun millenium yang konon merupakan tahun tonggak sejarah. Di tahun itu Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI dimana terselip kebahagiaan tersendiri bagi kalangan Santri. Prestasi Gus Dur mengangkat wajah dunia pesantren ke kancah internasional ini mau tidak mau (ora keno ora) memaksa kaum sarungan untuk melengkapi diri dengan berbagai macam keilmuan sehingga menjadi sosok multidisipliner keislaman serta multitalent.
Di tengah gegap gempita "kemenangan" itu, ketika tahun baru 2000 yang bertepatan dengan Puasa Ramadhan, Saya berada di pondok ploso ngaji pasanan dengan tekad sampai lebaran. Seingat saya kitab yang dibacakan adalah qulyubi wa amiroh atau lebih akrab disebut Mahalli tentang fiqh.
Pengajian tersebut tuntas di tanggal "likuran" ramadhan, yang akhirnya banyak teman-teman pondok pulang ke kampung halamannya masing-masing. Bagaimana dengan saya yang bertekad sampai lebaran?!
Selepas kegiatan ngaji sudah khatam, saya sibukkan diri "mancing iwak" di kali brantas. Mengapa? Pertama, diilhami maqolah bijak bestari bahwa memancing itu melatih kesabaran serta fokus, Kedua, karena memang Kali brantas menjadi salah satu jujugan favorit pemancing handal (sebelum maraknya penambangan pasir) banyak penduduk yang mancing mendapatkan ikan besar. Tanpa berpikir berulang kali, saya pun mancing dengan umpan seadanya; kadang roti, cacing, bahkan upo (nasi). Maklum, saya hanya pemancing amatir yang bertujuan killing time (menghabiskan waktu) saja.
Bisa dikata, hampir satu bulan saya memancing hanya mendapatkan dua ikan, satunya mati dan satunya hidup tapi kecil seujung jari. Ketika saya menenteng hasil pancingan mini itu, penduduk sekitar Brantas tersenyum dan menggoda "angsal ulam pinten, Gus?" (dapat ikan berapa, mas?) , saya pun menjawab: "angsal setunggal tapi alit" (dapat satu tapi kecil). Dengan rasa Pede saya tenteng ikan kecil itu dan buru-buru saya masukkan ke kolam kobokan santri di Alfalah dua. Selanjutnya, saya tidak mengurus kelangsungan hidup ikan keting mini tersebut.
Setahun sudah saya tidak balik ke pondok, karena saya proses akan boyong namun masih beberapa kali ke ploso. Dengan rambut gondrong tanpa pernah keramas, saya ke ploso bertemu salah satu teman mancing yang kebetulan masih di pondok.
"Mi, iwakmu sik urip" (mi, ikanmu masih hidup) kata teman.
"Iwak ndi?" (Ikan yang mana?) Saya bingung karena lupa.
"Sing cilik oleh teko brantas" (yang kecil dapat dari brantas). terangnya.
"Oo, mosok? Ndi sih?" (Oo, masak? Mana sih?. Saya pun penasaran.
"Coba deloken di kolam kobokan, iwake wes gede" (coba lihat di kolam kobokan ikannya sudah besar). Ujarnya.
Saya pun ke kolam kobokan dan terlihat ikan keting seukuran lengan bersliweran diantara kaki-kaki santri. "Wih, koq isok urip sakmene gedene sopo sing makani? (Wih, koq bisa hidup sebesar ini siapa yang kasih makan?) Saya pun bertanya keheranan. "Kadang tak pakani, tapi kadang nek gak onok sing makani, palingo yo mangan uget-uget dan kotoran" (kadang kuberi makanan, tapi kadang tidak ada yang kasih makan, mungkin saja makan jentik dan kotoran/bolot). Jawab teman saya. Saya hanya kagum, ternyata sesuatu yang berawal dari hal yang kecil, ternyata bisa menjadi sesuatu yang besar.
Dua tahun berlalu, saya berkunjung ke pondok Ploso, rindu akan suasana tempat saya "bibinau"(belajar). Saya berjumpa teman yang "makani" iwak keting, tiba-tiba dia menyalami dan berkata:"Mi, sepurane iwake wes gak onok" (mi, maaf ikannya sudah tidak ada). "Ah, yo wajar nek ga onok wes mati tuo biasae" (Ah, itu sudah wajar, karena tidak ada, sebab mati tua). "Nggak, mi. Iwake ga onok digae mayoran arek-arek, pas durung oleh kiriman duit" (tidak, mi. Ikannya tidak ada sebab dibuat makan bareng teman-teman pas belum dapat kiriman wesel). "Gedene sakpiro koq iso digawe mayoran?"(besarnya seberapa koq bisa dipakai makan rame-rame?) "Sak pupu" (sepaha) orang dewasa.
"Hahahaha, yo iku rejekimu" (hahahaha, itu rejekimu).
Walhasil, Kisah pasanan saya ini sangat berarti sebab meninggalkan dua pesan bagi saya pribadi bahwa: "Pertama, bukan berapa yang kau dapat, akan tetapi apa yang telah kau beri. Kedua, jangan anggap sepele segala sesuatu yang awalnya terlihat tidak berdaya/kecil. Sebab suatu saat ia akan memberikan manfaat/memberkahi siapa saja yang tekun/ istiqomah merawatnya. Bukankah Al-istiqomah Khairun min Alfi Karomah?!"
Blitar, 7- Juni- 2017.
______________________
Ahmad Karomi (Pemancing Amatir)
COMMENTS