Oleh: Ahmad Karomi Kira-kira tahun 1987-1988an, saya kala itu SD kelas 3 dibawah naungan Lembaga Maarif di Surabaya. Sejak SD itulah, a...
Oleh: Ahmad Karomi
Kira-kira tahun 1987-1988an, saya kala itu SD kelas 3 dibawah naungan Lembaga Maarif di Surabaya. Sejak SD itulah, abah saya mengajak sowan Kiai-kiai agar menumbuhkan kecintaan kepada Kiai NU, serta meminta berkah doa dari beliau, seperti sowan Abah Thoyib, Gus Ali Tulangan, Kiai Mashuri Abdullah Pasuruan, Kiai Ghozali Nganjuk, Kiai Rifai Romli Peterongan, Kiai Hamid Baidowi Lasem.
Salah satu dawuh abah yang sering diulang-ulang adalah: "saiki akeh Kiai sedo, tapi angel muncul gantine, malahan saiki sing akeh muncul dokterandese" (sekarang banyak Kiai wafat, tapi sulit muncul penggantinya, malahan yang muncul lebih banyak adalah dokterandes/Drs-nya). Tak pelak, dalam keluarga saya ada semacam tradisi sowan Kiai-kiai; baik struktural NU maupun kultural.
Suatu saat, saya mendapati Rokok dua slop tergeletak didalam rumah. Saya bertanya kepada abah "Bah, niki rokoke sinten koq katah? (Bah, ini rokoknya siapa koq banyak)", Abah hanya tersenyum, "iki dike'i Gus Ali (ini dikasih Gus Ali)", jawab abah. "Lho, panjenengan mboten ngerokok diparingi rokok niki yok nopo?(lho, anda tidak merokok koq diberi rokok ini maksudnya bagaimana?)" Saya masih penasaran. "Iki ngunu rokok sowanane wong-wong nang Gus Ali, saking akehe dike'no aku (ini adalah rokok sowanan yang dikasihkan Gus Ali, karena terlalu banyak, Gus Ali memberikan kepadaku)" terang abah. "Menurutmu diapakno rokok-rokok iki? (Menurutmu, rokok-rokok ini diapain?)", abah ganti menodongkan pertanyaan untuk saya. "Didol mawon"(dijual saja), saya jawab dengan ringkas.
" Mbok dol nang ndi? (Kamu jual kemana), kembali abah bertanya.
"Tiyang cangkruk, tiyang mbecak" (orang cangkruk, orang becak). ujar saya.
"Nek awakmu isok ngedol, duite dodolan rokok pek-en kabeh" (kalo kamu bisa menjualnya, uang hasil penjualan rokok jadi milikmu semua).
Keesokan harinya, saya berangkat sekolah dengan menenteng tas yang saya isi rokok. Sambil melangkahkan kaki sesekali berdendang riang, saya mendatangi pos abang becak. Saya langsung mengatakan " Lik, gak pingin tuku rokok ta? (Om, tidak ingin beli rokok?), Abang becak terkesiap keheranan melihat bocah menawarkan rokok. "Koen iki kate sekolah opo dodolan rokok? (Kau ini akan sekolah atau jualan rokok?". Saya pun menjawab:" Yo, sekolah lik, cuma iki rokoke Kiai lho".( Yo sekolah, om, cuma ini rokoke kyai lho)". " Gak sampean tuku ta? Iki rokok berkah tak dol murah. (Tidak anda beli ta? Ini rokok berkah kujual murah)".
Akhirnya abang becak ramai-ramai membeli rokok kepada saya, entah apa yang terdapat dalam pikirannya sehingga membeli. Setelah ludes dibeli, saya pun laporan pada Abah saya, bahwa jualan rokok cepat laris. Abah hanya berkata: "koen wes kendel " (kau sudah berani, nak). Tingkah laku saya menjual rokok ini didengar Gus Ali, yang sekarang sebagai Wakil Syuriah PWNU Jatim, beliau pun tertawa.
Walhasil, Rokok sowanan yang saya jual seharga 1000an itu benar-benar mberkahi, dan menjadi pundi-pundi tabungan yang saya belikan majalah Donal Bebek, dan keperluan lain yang menjadi trend anak usia 8-9 tahunan.
__________________________
Ahmad Karomi (Sekretaris PW LTN NU Jatim)
COMMENTS