Oleh: Achmad Murtafi Haris Dalam dekade terakhir ini, kata Khilafah sering kita dengar dan muncul pada spanduk-spanduk yang tergant...
Dalam dekade
terakhir ini, kata Khilafah sering kita dengar dan muncul pada
spanduk-spanduk yang tergantung di pinggir atau perempatan jalan. Apa
sebenarnya khilafah itu sehingga salah satu kelompok Islam menjadikannya
sebagai slogan perjuangan. Dan sejauh mana slogan itu relevan dengan kondisi kekinian
dan tempat di mana kita berada. Khilafah adalah sebuah sistem politik
yang mempersatukan semua negara Islam di bawah satu penguasa yang dipilih oleh
representasi umat Islam sedunia. Melihat
dari definisi ini, yang menjadi pertanyaan adalah adakah mungkin hal itu
terwujud saat ini?
Dunia pada
saat Islam turun, atau saat Rasulullah masih hidup, berada dalam hegemoni dua
imperium Romawi dan Persia. Romawi terbagi menjadi dua yaitu Romawi Barat
yang berpusat di Roma dan Romawi Timur
atau yang sering disebut dengan Bizantium yang berpusat di Konstantinopel atau
yang sekarang disebut dengan Istanbul. Karena kedekatannya dengan jazirah
Arab di mana secara geografis jazirah ini
terletak di Romawi dan Persia, maka Rasulullah telah memiliki impian untuk
suatu saat bisa menaklukkan mereka.
Hal itu pun
di kemudian diwujudkan oleh generasi pasca wafatnya Rasulullah di mana Khalifah
Umar bin Khattab telah membuka pintu Jerussalem (637M) dan merebutnya dari
kekuasaan Bizantium. Ekspansi pun diteruskan ke Barat dan menguasai Mesir
(639M) negeri tempat peninggalan peradaban tertua di dunia berada. Upaya Islam
terus dilakukan untuk menguasai beberapa wilayah sekitarnya di Afrika Utara
yang berujung dengan penaklukkan Spanyol (718M). Penaklukan Bizantium secara
total terjadi pada 1453M oleh Turki Ottoman sedangkan penaklukan Persia telah
terjadi di awal Islam pada 636M oleh Sa’ad bin Abi Waqqas pada masa Khalifah
Umar bin Khattab.
Bisa
difahami di sini, dari fakta penaklukan demi penaklukan atas wilayah kedua
imperium Romawi dan Persia, bahwa ekspansi kekuasaan adalah suatu hal yang
jamak pada saat itu. Era tersebut (era di mana Rasulullah hidup) adalah era di
mana penguasa politik selalu berorientasi pada ekspansi teritori. Ekspansi
kekuasaan adalah output dari kekuatan
militer yang telah dibangun dengan susah payah yang akan dimanfaatkan untuk
pertahanan dan perluasan wilayah. Dengan trend seperti itu dan dengan preseden
penaklukan demi penaklukan, maka khalifah Islam memiliki kekuasaan yang sangat
luas dan menjadi pemimpin politik bagi seluruh umat Islam di mana pun. Warga
setempat baik yang kemudian memeluk Islam atau yang bertahan dengan agamanya,
semuanya menerima kenyataan bahwa mereka ada di bawah kekuasaan seorang khalifah yang satu. Hal serupa juga terjadi
pada penguasa lainnya yang mampu memperluas kekuasaan hingga berkembang dari sebuah negara menjadi imperium. Baik
Romawi maupun Persia melewati fase yang sama yaitu penaklukan demi penaklukan
untuk menjadikan dirinya menjadi imperium yang besar.
Perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa imperium Islam yang besar itu kemudian terpecah
karena ketidakmampuan penguasa tunggal (khalifah) mempertahankan kekuasaannya. Apa pun penyebabnya itu, apakah ketidakadilan,
mismanajemen, ambisi individu dan sebagainya yang pasti adalah bahwa sang
khalifah tidak lagi berkuasa atas semua teritori yang dahulu dikuasainya. Hal
ini terus berlanjut di mana negara yang besar terpecah menjadi negara-negara
kecil dan sebaliknya negara yang kecil itu karena kekuatannya berubah menjadi
besar karena keberhasilannya menaklukkan yang lain.
Sejarah
kemudian berubah pada abad ke-16 kekuasaan Islam di Spanyol runtuh. Eropa pun
kemudian mengambil alih sebagian besar wilayah di bawah kekuasaannya. Dari
Afrika Utara hingga Asia Tenggara wilayah Islam dibagi rata oleh penguasa Eropa
untuk dijadikan koloni-koloni mereka. Masa kolonialisme ini berjalan hingga
tiga setengah abad dan pada akhirnya pada pertengahan abad kedua puluh, satu
demi satu negara-negara tersebut meraih kemerdekaannya. Dan lahirlah negara
bangsa di kalangan warga asli (inlander) yang didasarkan pada kesadaran bersama
untuk mendirikan negara sendiri menjadi penguasa sendiri dan mengusir penguasa
asing yang telah memeras kekayaan alam
dan manusia.
Kesadaran
untuk membentuk negara inilah yang kemudian menjadikan mereka menjadi satu
bangsa meski memiliki latar belakang suku, bahasa, ras dan agama yang berbeda.
Dalam konteks negara yang lahir kembali pasca penjajahan berakhir, maka
kesadaran mereka untuk bersatu seringkali didasarkan pada penderitaan yang sama
di bawah penjajahan asing. Inilah yang menjadikan negara-negara tersebut mayoritas memiliki teritori seluas teritori
yang dikuasai oleh penjajah. Di samping patut dimengerti bahwa pemerintahan asing atas suatu negara
selama berabad-abad telah membentuk membentuk pola fikir bernegara.
Pemerintahan asing yang telah berjalan lama telah menciptakan stabilitas
birokrasi yang oleh penguasa baru anak negeri seringkali dipertahankan. Dari
sini, kita menjadi maklum kalau hukum peninggalan Belanda masih berlaku di
Indonesia karena hukum itu telah lama berlaku di Indonesia dan memberikan
kepastian hukum yang merupakan unsur fundamental
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mereka yang
berjuang merebut kemerdekaan Indonesia melawan penjajah adalah semua anak
negeri dari banyak latar belakang yang
berbeda. Latar belakang agama, suku, ras dan bahasa semuanya bersatu untuk
mengusir penjajah. Tidak hanya sampai di situ, di tiap latar belakang itu pun
memiliki banyak kelompok di dalamnya. Seperti umat Islam yang merupakan
mayoritas warga terdapat di dalamnya kelompok-kelompok baik yang kanan mau pun
yang kiri, seperti Masyumi dan Syarikat Islam Merah yang dikomandani oleh Tan
Malaka. Juga kelompok Islam modern dan
Pesantren; mereka semua menggunakan jargon Islam tapi dengan perbedaan ideologi
masing-masing. Bahkan di antara umat Islam terdapat kelompok yang mayoritas
yang tidak ingin menggunakan Islam sebagai ideologi. Mereka mendasarkan pada
kesadaran berbangsa yang melahirkan negara bangsa yaitu nasionalisme. Ini semua
–belum lagi ditambah perbedaan latar belakang dan variannya masing-masing --,
adalah pendiri negara Indonesia yang bersatu untuk menghadapi musuh yang satu
yaitu penjajah.
Dari paparan
ini, jelas bahwa bentuk suatu negara adalah didasarkan pada siapa yang
mendirikan negara itu. Jikalau negara itu merupakan bagian dari negara lain,
seperti negara-negara yang ditaklukkan oleh penguasa muslim atau penguasa siapa
pun, maka negara tersebut tunduk dan mengikuti penguasa yang telah
menaklukkannya. Kalau penakluknya adalah muslim, maka negara itu menjadi koloni
penguasa muslim. Jika penakluknya adalah Belanda, maka negara itu menjadi
koloni Belanda seperti halnya Indonesia. Jika penakluknya adalah Prancis, maka
negara itu menjadi koloni Prancis seperti Aljazair dan Tunisia. Atau menjadi
koloni Italia sepert Libia sebelum merdeka.
Tapi jika
pendirinya adalah warga bumi putera yang ingin terbebas dari penguasa asing,
maka bentuk negara itu adalah sesuai apa yang dihasilkan dari keputusan bersama
para pendiri (founding fathers).
Dari sini, maka jawaban dari pertanyaan
apakah memilih khilafah atau negara bangsa sebagai bentuk negara yang
dianut oleh Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal berdirinya
sebuah negara. Dalam hal ini jelas karena Indonesia didirikan berdasarkan
kepentingan bersama untuk membebaskan diri dari penjajahan apakah itu Belanda
atau Jepang, maka titik tolak itulah yang menyatukan warga menjadi satu bangsa
sehingga negara yang terbentuk adalah negara bangsa.
Achmad Murtafi Haris
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya
COMMENTS