Keterangan foto: Ketika Gus Dur hadiri #HaulSunanAmpel Tanah pekuburan Troloyo berada tak jauh dari tanah pekuburan Trowulan, dekat B...
Keterangan foto: Ketika Gus Dur hadiri #HaulSunanAmpel
Tanah
pekuburan Troloyo berada tak jauh dari tanah pekuburan Trowulan, dekat Brangkal
(Mojokerto). Pekuburan tanah Trowulan menyimpan kuburan Brawijaya V,
permaisurinya, Kencana Wungu, dan istri selirnya, Putri Cempa. Ternyata,
menurut cerita tutur, Prabu Brawijaya V itu adalah seorang muslim karena istri
selirnya, yang berkebangsaan China dan berasal dari Cambodia itu, adalah
seorang Muslim pula. Dia adalah ibu dari Raden Fatah (Tan Eng Hoat),
yang belakangan mendirikan Kesultanan Demak bersama dengan Maulana Ishak Al-Tabarqi.
Sebaliknya,
tanah pekuburan Troloyo, yang hanya satu kilometer jauhnya, juga menyimpan
kuburan Syeikh Abdul Qohar (Maling Cluring), Kiai Usman Ngudung, Tan Kim
Han (menantu Putri Cempa) yang juga beragama Islam dan memiliki nama Arab Abdul
Qodir Jaelani, dan masih banyak lagi pejuang-pejuang muslim lainnya. Mereka
gugur di tempat itu ketika menahan serbuan seorang Adipati Majapahit di Kediri, Kusuma Wardani, yang juga anak
Brawijaya V. Adipati yang beragama Hindu-Budha ini adalah orang yang tidak rela jika istana Majapahit dikuasai
orang Islam, karenanya ia berusaha merebut
takhta dari tangan Brawijaya V dengan kekerasan. Adipati inilah yang
kemudian dikenal dengan nama Prabu Brawijaya VI, raja terakhir Majapahit.
Sedangkan Prabu Brawijaya V meninggalkan istana dan bertapa di Gunung Lawu- dan
sekarang terkenal dengan nama Sunan Lawu.
Data sejarah
yang dikemukakan cerita tutur ini kemudian diperkuat dengan data sejarah lain,
yaitu prasasti yang ditemukan Dr. Habib dari IKIP Malang. Menurut prasasti ini,
pada tahun sangkala sirna ilang kertaningbumi (tahun 1400 Saka, menurut
Empu Prapanca), telah diberikan gelar Romo Bayan Ampel oleh Brawijaya V atas
meninggalnya seseorang dari Desa Ampel di Surabaya. Ini berarti gelar yang
diberikan kepada Sunan Ampel (salah satu wali Sembilan) oleh seorang muslim
pula. Inilah yang mendukung spekulasi penulis bahwa beliau masuk agama
Islam,minimal pada akhir hayatnya.
Cerita tutur
diatas,yang dilengkapi dengan data prasasti tentang Romo Bayan Ampel itu,
menunjuk dengan jelas pergulatan orang-orang beragama dalam istana Majapahit
pada masa akhir kerajaan tersebut. Yang belum jelas bagi penulis, siapakah adik
Sunan Ampel, yang dikatakan menjadi besan Brawijaya V. Pergulatan ini
berlangsung sengit, diakhiri dengan peristiwa Troloyo dan disusul dengan
penyerbuan Majapahit oleh pasukan rakyat para wali Sembilan (walisongo) yang
dipimpin oleh Sayyid Abdurrahman dari Ngroto (dulu Demak dan sekarang Grobogan/
Purwodadi), terkenal dengan sebutan Ki Ageng Ganjur (sejenis alat pemukul di
bawah gong dalam urutan perangkat gamelan wayang). Rupanya, ganjur (genjur)
ini digunakan penglima tersebut sebagai alat komunikasi dengan 350 ribu pasukan
rakyatnya, karena waktu itu belum ada HT. Karena Ki Ageng Ganjur adalah
pembangun jembatan bambu di daerahnya, dapatlah diduga ia diangkat menjadi
panglima karena penguasaan tekniknya. Penyerbuan Kusuma Wardani atas Majapahit
di Troloyo itu telah mengakibatkan hancurnya –untuk sementara waktu- kekuatan
militer kaum muslimin. Tetapi,itu harus dibangun mahal oleh sejarah bangsa
kita, karena pasukan para wali Sembilan yang dipimpin Ki Ageng Ganjur itu lalu
menghancurkan secara total Kraton Majapahit, sebagai gantinya didirikanlah
Kesultanan Demak, dengan keturunan Majapahit , yaitu Raden Fatah yang menjadi
Sultan pertamanya. Inilah hasil pergulatan militer yang penuh dengan kekerasan,
seperti halnya yang pernah dilancarkan Kusuma Wardani.
Perbedaan
strategi dari masa Sunan Ampel yang dijalankan melalui jalan damai itu akhirnya
diteruskan dengan pergulatan menggunakan kekerasan di zaman Sunan Kalijaga.
Bahwa Sunan Kalijaga –kalau perlu bersedia menggunakan kekerasan- dapat dilihat
dalam kasus Syaikh Siti Jenar. Syaikh kita ini telah mengajarkan wihdat
al-wujud wihdat asy-syuhud (manunggaling kawulo lan gusti) kepada
orang awam, yang belum melaksanakan hukum-hukum syari’at, seperti shalat. Jadi
bukan berarti didasarkan atas penolakan Sunan Kalijaga terhadap aliran Tasawwuf tersebut, sebagaimana diduga Dr. Alwi Shihab,
dalam disertasi doktornya di muka Universitas ‘Ain Syams di Kairo.
Dari
penuturan di atas, jelaslah membaca sejarah masa lampau kita tidakah mudah. Di
samping data sejarah tertulis, harus juga digunakan data yang diambil dari
cerita-cerita tutur. Ini berarti kemampuan menggunakan bahasa lokal, di samping
kemampuan menggali cerita-cerita tutur yang ada. Itu pun belum menjamin
autentisitas data tersebut hingga spekulasi kesejarahan harus dilakukan.
Dengan
demikian faktor kredibilitas dan kejujuran sehari-hari sejarawan yang
bersangkutan sangatlah menentukan. Sejarawan yang jujur dalam memberikan
presentasi tertulis tentulah memiliki kredibilitas yang tinggi. Sedangkan
sejarawan yang tidak demikian, sebaiknya tidak melakukan spekulasi apa pun.
Dalam hal ini, sejarawan yang secara resmi menjadi anggota partai politik,
apalagi pengurusnya, sebaiknya tidak melakukan spekulasi apa pun, karena
bagaimanapun juga, kredibilitas semua
partai politik di negeri ini belumlah tinggi, dan bahkan sering tidak
dipercaya orang.
Jelaslah,
dari kaum Majapahit di atas, kerja membuat
rekonstruksi sejarah memang bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Ia
terkait dengan kecakapan dalam menggunakan data secara tertulis ataupun kemampuan
menimbang cerita-cerita tutur. Di samping itu,
ia memerlukan kesadaran etis yang tinggi dan kejujuran mutlak dari sang
sejarawan. Sejarah jualah yang akan menentukan apakah kerja yang dilakukan
mempunyai nilai atau tidak, dan bukan kekuasaan. (@mi)
Surabaya, 5
Februari 2002
______________________
Sumber buku:
Membaca Sejarah Nusantara, Oleh: Gus Dur
COMMENTS