Almaghfurlah bersama Kiai Ahmad Baso dan Prof Martin van Bruinessen di Pondok Al-Aziziyah Denanyar Jombang saat bedah buku dalam rang...
Almaghfurlah bersama Kiai Ahmad Baso dan Prof Martin van Bruinessen di Pondok Al-Aziziyah Denanyar Jombang saat bedah buku dalam rangka Muktamar ke-33 NU tahun 2015. Foto: Yudi Arianto
Oleh: Afif Amrullah*
Jika sedang tidak bisa tidur di
malam hari, saya sesekali nyarkub di pesarean almaghfurlah Kiai Bisri Syansuri.
Saat itulah saya kerap menyaksikan sebuah ruangan kecil di seberang Warung Cak
Mat yang lampunya tak kunjung padam.
Meski cahaya di salah satu ruangan Asrama
Al-Aziziyah itu tak terlalu terang, dari luar saya masih bisa melihat
penampakan seorang pria sedang duduk bercengkerama dengan tumpukan kitab. Dan
ternyata demikian juga dengan kesaksian para santri yang lain.
Jika ada tamu istimewa yang datang ke Pondok Denanyar, biasanya kegiatan ngaji di asrama diliburkan. Para santri kemudian dihadirkan di masjid induk untuk menyambut dan mendengarkan ceramahnya. Kadang ada syaikh dari Al-Azhar Kairo, guru besar dari Sudan, ulama maupun habaib dari Yaman, para menteri dari Jakarta dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Siapapun tokohnya, biasanya
kiai yang mendampingi dan memberikan pengantar tak pernah ganti. Kiai dengan
wajah teduh itu selalu memakai setelan sarung, baju putih polos lengan panjang
dan kopyah putih. Sesekali sorban putih berkombinasi warna coklat atau hijau
terjuntai di pundak kanannya. Sementara penerjemahnya adalah santri yang mengikuti
program khusus di MAN Denanyar yang beliau bina.
Jika kita bertanya siapakah tokoh muslim atau ulama di Nusantara ini yang produktif menulis? Maka salah satu Kiai Denanyar ini layak menjadi role model kiai penulis dan ahli dokumentasi.
Ratusan karya lahir dari
ketekunan dan keluasan ilmunya. Ada yang berbahasa Arab, berbahasa Indonesia,
terjemah, hingga berbahasa Jawa. Bahkan karya-karyanya menjadi rujukan wajib
para pengamat maupun peneliti luar negeri yang mendalami Islam Indonesia,
khususnya tentang NU, pondok pesantren dan Ahlussunnah Waljamaah.
Jika sedang menghadiri forum bahtsul masail NU di tingkat provinsi dan nasional, saya sering melihat salah seorang Kiai Denanyar duduk di jajaran mushahih (pentashih). Beliau duduk dengan tenang sambil mencermati jalannya sidang untuk menjawab pertanyaan dari perspektif hukum Islam tersebut. Sesekali beliau mengambil peran saat musyawirin sudah bersepakat atau saat bersitegang dalam irama debat. Tentu tidak sembarang orang bisa duduk di barisan belakang moderator itu.
Siapakah pria yang istiqamah
muthala'ah kitab di tengah kesunyian malam itu?
Siapakah kiai yang menjadi magnet para tokoh
nasional dan internasional sehingga mereka singgah ke Denanyar?
Siapakah kiai yang namanya akan
"abadi" dengan karya, khidmah dan pemikirannya itu?
Tidak lain adalah KH Aziz
Masyhuri. Alfaatihah
*Alumni Pondok Pesantren
Mamba’ul Ma’arif, Denanyar Jombang dan pernah berkhidmat sebagai Redaktur
Pelaksana di Majalah AULA, PWNU Jatim.
COMMENTS