NU, Kyai, dan Pesantren Oleh: KH. Hasyim Muzadi Jauh sebelum NU berdiri pada tahun 1926, pesantren sebagai lembaga pendidikan se...
NU, Kyai, dan Pesantren
Oleh: KH. Hasyim Muzadi
Oleh: KH. Hasyim Muzadi
Jauh sebelum NU berdiri pada tahun 1926, pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus merupakan lembaga sosial yang menghimpun kaum muslim pedesaan dengan para kyai sebagai figur sentralnya, sedikit banyak memberikan bukti kepada sejarah bahwa sosialisasi nila-nilai agama di kalangan masyarakat secara relatif terorganisir telah berjalan cukup mengesankan. Meski “hanya” berbekal pengetahuan baku tentang seluk beluk agama yang diajarkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu berupa tranmisi keilmuan yang selalu merujuk pada tema-tema dalam kitab-kitab kuning (teks-teks klasik yang dijadikan yurisprudensi Islam), kehadiran pesantren
di masa lampau dengan semua aktivitasnya seolah menyodorkan kesimpulan bahwa masuknya Islam ke tanah air tidak serta merta terkungkung dalam wajah yang sama sekali asing dan sukar diterima, betapapun konflik budaya pada tingkat tertentu memang tidak mungkin dihindari. Tetapi paling tidak, ketika berada di tengah-tengah kesadaran agama masyarakat yang bercorak animistik serta mulai menghadapi tekanan-tekanan ideologis dari kekuatan luar, yakni kaum misionaris yang dibawa oleh negara penjajah, kehadiran pesantren pada zaman itu sedikit demi sedikit berhasil merebut simpati sebagian rakyat.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren berupaya memasukkan ajaran-ajaran ulama salaf, yang nota bene para yuris Islam abad pertengahan, ke dalam tata nilai masyarakat lokal di
samping juga menekankan pentingnya pengamalan ajaran tersebut dalam praktek kehidupan sehari-hari maupun dalam bentuk acara-acara ritual khusus. Mulai dari ajaran tentang ibadah murni semacam sholat sampai pengetahuan mengenai hukum pidana, perdata, dan tata negara, tak ada satupun yang luput dari concern pendidikan pesantren. Melalui madrasah yang biasanya di bangun di dalamnya sebagai institusi formal, para santri dididik agar menguasai tidak saja pengetahuan yang dibutuhkan untuk
menjadi modal penyelesaian persoalan-persoalan aktual keagamaan, melainkan juga tata pergaulan atau etika yang wajib dimiliki bagi seorang muslim.
Sedangkan sebagai lembaga sosial, pesantren sendiri bisa dikatakan senantiasa terlibat aktif dalam dinamika permasalahan masyarakat sekitarnya yang terus berproses menuju perbaikan dan penyempurnaan. Sulit dipungkiri bahwa tokoh pesantren atau kyai yang merupakan seorang guru sekaligus pengkhotbah, dalam kehidupannya sehari-hari hampir tidak pernah sepi dari permintaan sebagian anggota masyarakat yang sedang menghadapi problem atau kemelut untuk memberikan nasehat-nasehat maupun jalan keluar. Bahkan pesantren secara kelembagaan kerap menjalin kerja sama dengan penduduk di sekelilingnya untuk menjalankan usaha-usaha bernilai yang dapat meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi banyak orang.
Di masa-masa awal perkembangannya, pesantren pada satu segi dapat dibedakan menjadi dua, yakni pesantren “formal” yang menyediakan sarana fisik permanen dengan pengelolaan proses pendidikan yang sistematis. Kedua adalah pesantren “non formal” yang tidak dilengkapi dengan berbagai sarana fisik yang memadai. Bisa jadi pusat kegiatan pendidikan yang diselenggarakannya bertempat di masji, surau, atau rumah pribadi sang kyai yang secara berkala didatangi Para santri (murid) dalam rangka menimba ilmu agama.
Tetapi yang perlu digarisbawahi, pesantren-pesantren yang digambarkan di atas tentu saja lebih memperlihatkan watak tradisionalnya meski apa yang telah dilakukan dan dihasilkan terkadang jauh lebih bermakna dibanding kemampuan sebuah proses modernisasi yang ditopang oleh kecanggihan teknologi. Begitu pula paradigma agama yang dibawanya. Keteguhan Sikap untuk memegang erat tradisi salaf tampak cukup menonjol dengan kitab kuningnya yang menjadi rujukan utama kaum santri, hingga
semua pola kesadaran, sikap, dan perilaku yang terlihatpun tidak mungkin keluar dari apa yang diajarkan dalam kitab tersebut.
Selain itu, para kyai yang merupakan motor penggeraknya, diakui atau tidak, adalah sosok yang sangat otonom dan independen. Mereka biasanya berasal dari lapisan elit desa yang
memiliki tanah cukup luas serta masih punya hubungan darah atau kekerabatan dengan keluarga pengasuh pesantren yang lebih tua usianya. Bahkan secara politik pun tidak berafiliasi pada sebuah kelompok tertentu kecuali sebatas kesesuaian langkah yang mungkin terjadi atas dasar kebetulan semata dan bersifat temporal. Dengan kata lain, hampir tidak ada kyai yang mampu diintervensi kekuatan di luar dirinya karena alasan ketergantungan secara ekonomi dan politik.
Namun demikian, hubungan yang berjalan di antara mereka sendiri sebenarnya menyimpan sebuah gerak langkah yang seirama. Hal ini terjadi karena mereka pada dasarnya diikat oleh wawasan keagamaan dan kemasyarakatan yang sama. Apa yang mereka pahami tentang keberagamaan secara garis besar bermuara pada paham yang sekarang dikenal dengan sebutan ahlu sunnah wal jamaah (aswaja). Pada gilirannya, kesatuan wawasan ini melahirkan visi perjuangan sosial kemasyarakatan
yang tidak jauh berbeda antara satu kyai dengan kyai lainnya.
Di tingkat budaya, paradigma agama yang berwatak tradisional dan berhaluan aswaja tersebut akhimya berdialektika dengan nilai-nilai masyarakat lainnya yang kemudian menghasilkan sintesis berupa budaya lokal yang berisi ruh Islam. Jika kita perhatikan khazanah budaya masyarakat Indonesia yang terus bertahan hingga kini, sangat banyak nilai Islam yang ikut mewarnai di dalamnya tanpa menghilangkan sama sekali unsur
lokalitasnya ataupun nuansa keindonesiaannya. Siapapun yang pernah melihat Pagelaran wayang pasti meyakini bahwa pesan yang ingin disampaikan justru berujung pada semangat ketauhidan. Begitu pula tradisi penghormatan kepada leluhur atau
orang yang telah meninggal serta perayaan yang diselenggarakan demi memperingati suatu moment bermuatan mistik. Jika sebelumnya acara-acara itu memperlihatkan prosesi yang cenderung mensakralkan sesuatu di luar Tuhan sehingga dianggap
Syirik dalam kaca mata agama, maka selanjutnya semua ritus tadi dikonversi menjadi kegiatan yang benar-benar bermuatan ibadah sesuai tuntunan Islam.
Karena Penghadiran agama yang selalu memperhatikan dan melibatkan berbagai budaya di luarnya tersebut, proses dialektika yang terus berlangsung lama kelamaan berhasil menancapkan akar pengaruhnya ke dalam kesadaran masyarakat, yang selanjutnya semakin eksis kerena mempunyai kecocokan secara empirik. Orang akan merasa tetap bisa leluasa melaksanakan beraneka ragam tradisi atau kepercayaan yang sudah hidup jauh sebelumya betapapun ia telah memilih Islam sebagai agama. Dan yang lebih penting lagi, sang kyai dengan mudah dapat memerankan dirinya sebagai broker budaya yang menjembatani dunia pemikiran dan realitas kehidupan umatnya dengan nilai
agama yang sampaikan.
Tetapi pada fase sejarah berikutnya, eksistensi Islam yang membudaya dalam aneka ragam bentuk ritus dan tradisi sebagaimana dijelaskan di atas mengalami keterdesakan sewaktu gerakan purifikasi mulai dilancarkan dengan gencar oleh kelompok islam modernis yang sebagian eksponennya telah menyerap ilmu pengetahuan umum jauh melebihi apa yang dimiliki oleh kelompok tradisional. Di bawah panji pemurnian agama inilah mereka berseru secara lantang kepada masyarakat muslim supaya membersihkan Islam dari segala sesuatu yang tidak mempunyai otentisitas akar keislaman. Sejak saat itu sering terdengar kata-kata bid'ah dan sejenisnya apabila terdapat umat Islam yang mempertahankan praktek budaya keberagamaan sinkretis, yaitu memasukkan nilai Islam ke dalam wadah atau sesuatu yang bukan khas Islam.
Akibatnya mudah ditebak kalau gerakan purifikasi ini memancing reaksi dari kaum tradisionalis, yakni para kyai pesantren, yang khawatir terhadap kelestarian paradigma agama yang dianutnya. Mencabut akar Islam dari tanah budaya masyarakat dipandang bakal meninggalkan lahan tandus yang membahayakan sisi religiusitas seseorang yang tidak lagi bersentuhan dengan agama sedikitpun yang mudah sekali menyeretnya ke arah sekularisme, sementara di sisi lain agama malah kehilangan relevansi kesejarahannya karena mengabaikan realitas empirik yang dipenuhi dengan berbagai lokalitas nilai yang sebetulnya tidak bertentangan dengan agama itu sendiri.
Tak pelak "serangan" kaum modernis membuat para kyai merasa perlu untuk mengorganisir diri dalam rangka menyusun agenda kerja bersama, yang diharapkan mampu menandingi kekuatan pengaruh gerakan purifikasi yang dalam benak mereka tampak seperti gerakan Islam puritan yang hanya membenarkan diri sendiri tanpa memperdulikan kebenaran penafsiran keagamaan kelompok di luarnya. Lalu dibuatlah jamaah yang sama sekali belum terstruktur secara rapi, yang kemudian bergeser menjadi sebuah jam'iyah (organisasi) dengan seperangkat aturan operasional, yaitu organisasi sosial keagamaan berlambanga bintang sembilan yang selanjutnya terkenal dengan nama Nahdlatul Ulama (NU).
Jadi, dalam sejarahnya, NU memang berdiri sebagai bentuk reaksi dari luar (gerakan Purifikasi). Dan berdirinya organisasi ini tidak lepas dari peran para kyai dengan komunitas pesantrennya yang merupakan penyanggah utama kelompok Islam tradisionalis. Maka sangat beralasan bila gerakan awal yang dicanangkan adalah bentuk gerakan kultural murni demi menyelamatkan otoritas penafsiran agama yang diyakini.
Mengingat basis sosial yang dimiliki cukup mengakar serta jangkauan pengaruhnya mencakup wilayah yang sangat luas, kehadiran NU langsung memperoleh sambutan hangat dari semua penjuru dan sontak menjadi besar dengan seketika, bahkan dalam waktu singkat beberapa organisasi di luarJawa menyatakan diri bergabung. (Bersambung)
Sumber: Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa
Penerbit: Logos Wacana Ilmu. Ciputat.
Cetakan 1: 1991.(@mi)
COMMENTS