Oleh: W Eka Wahyudi* Tahun 1950-an merupakan era pembentukan kelompok intelegensia di kalangan Islam tradisionalis. Fenomena ini mer...
Oleh: W Eka Wahyudi*
Tahun 1950-an merupakan
era pembentukan kelompok intelegensia di
kalangan Islam tradisionalis. Fenomena ini merupakan imbas dari kelompok
reformis-modernis yang telah menjadi bagian dari elit-politik penguasa pada
saat itu. Salah satu indikasinya adalah dilegitimasinya Pelajar Islasm
Indonesia atau PII dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai organisasi
satu-satunya bagi pelajar dan mahasiswa muslim pasca keputusan Kongres al-Islam
pada tahun 1949 (Yudi Latif, 2013: 391 ). Hal tersebut pada gilirannya
menggeser peranan kalangan tradisionalis dari dinamikan organisasi nasional.
Realitas ini kemudian
menimbulkan gejolak bagi para mahasiswa yang mempunyai kultur Islam
tradisionalis pondok pesantren. Karena, para pemuda dari kalangan pesantren
sulit mendapatkan tempat dan cenderung tidak diakomodir aspirasinya di dalam
organisasi. Disinyalir, hal ini juga merupakan dampak dari mencuatnya friksi
yang terjadi antara NU dan Masyumi pada tahun 1950-1960 an. “perseteruan” ini
belakangan mengkooptasi kalangan pelajar dan mahasiswanya.
Sehingga, para mahasiswa
yang berlatar belakang dari kalangan Islam tradisional sering mengkonsolidir potensinya
di kos-kosan daerah Bumijo, Yogjakarta (kawasan sebelah barat perempatan Tugu)
guna merumuskan dengan matang gerakan kaum muda NU pada selanjutnya. Desakan
akan kebutuhan terhadap wadah pembinaan pelajar NU inipun, disambut dengan
momentum diselenggarakannnya Konferensi LP. Ma’arif di Semarang pada bulan
Februari 1954. Sehingga, gagasan progresif kaum muda NU tersebut dijadikan
sebagai salah satu agenda pembahasan dalam pelaksanaan konferensi. Secara ringkas, akhirnya pada Konferensi LP
Ma’arif kala itu, berhasil mengesahkan berdirinya organisasi Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU) yang saat itu bertepatan pada 24 Februari 1954 atau 20
Jumadil Akhir 1373 H. Walhasil, tanggal inilah yang dinobatkan sebagai hari
lahirnya organisasi pelajar NU.
Pada tanggal itulah
merupakan periode kelahiran kelompok intelegensia kalangan islam tradisionalis
yang pada masa depan mampu memberikan khazanah pada dinamika keorganisasian di
Indonesia. Gebrakan lahirnya para cendikia di kalangan NU ini menyusul semakin
pesatnya para mahasiswa yang mempunyai latar belakang Islam tradisional masuk
ke sejumlah universitas pada tahun 1950-an. Di antaranya: Tolchah Mansoer
(UGM), Ismail Makky dan Munsif Nachrowi (IAIN Yogjakarta), Mahbub Djunaidi (UI)
dan beberapa kelompok kaum muda terdidik lainnya seperti Mustahal Ahmad, Sofyan
Kholil dan Abdul Ghani Farida.
Peningkatan jumlah
mahasiswa tradisionalis ini, terutama juga disebabkan pasca pendirian perguruan
tinggi agama Islam. Misalnya, di luar IAIN pada saat itu, berhasil didirikan
perguruan tinggi Nahdlatul Ulama di Solo pada tahun 1958, walaupun hanya satu
fakultas, yakni syariah.
Selanjutnya, pasca deklarasi pendirian IPNU
melalui Muktamar LP Ma’arif, tepatnya dua bulan kemudian pada tanggal 30 April
s/d 1 Mei 1954, IPNU menyelenggaran
Konferensi “Segi Lima”. Kenapa konferensi ini disebut segi lima? Karena pada saat
itu dihadiri oleh kalangan assabiqunal awwalun IPNU yang terdiri dari lima
daerah yakni; Jombang, Yogjakarta, Solo, Semarang dan Kediri.
Konferensi ini kemudian menghasilkan kesepakan
yang menandai kerja kelompok intelegensia Islam tradisionalis, yang antara
lain; 1) menjadikan Ahlusunnah wal jamaah sebagai asas organisasi, 2)
tujuan organisasi yakni turut andil dalam mengemban risalah islamiyah, 3)
mendorong kualitas pendidikan agar lebih baik dan merata, serta 4)
mengkonsolidir kalangan pelajar.
Munculnya, kelompok
cendikia “jenis baru” ini pada gilirannya menandakan perkembangan perspektif
oleh kaum muda tradisionalis terhadap isu-isu rasionalisme, teknologi,
pendidikan modern dan kondisi sosial . Sehingga pada kurun waktu tersebut NU
telah memiliki lapisan intelegensianya tersendiri.
Namun, corak intelegensia
yang dimiliki oleh kaum muda ini berbeda dengan Muhammadiyah. Jika kalangan Muhamadiyah
cenderung terilhami oleh gerakan pembaharu Muhammd Abduh yang modernis, namun
kalangan muda NU tetap mempertahankan sikap konservatifnya terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan tradisi. Sehingga, jenis tipologi intelegensia kaum muda
NU yang dalam hal ini direpresentasikan oleh IPNU lebih cocok jika
dikategorikan sebagai “konservatif-modernis”. Yaitu tipe pemikiran yang sudah
terbuka dengan pandangan-pandangan modern, namun tetap memelihara sekaligus
menjaga kearifan dan keluhuran tradisi. Sebuah karakter pemikiran yang relevan
diterapkan di Indonesia.
Selamat Harlah IPNU ke 63, salam belajar, berjuang dan bertaqwa.
*Direktur Lembaga
Komunikasi Perguruan Tinggi Pimpinan Pusat IPNU
COMMENTS