Oleh: Nadirsyah Hosen* Buya Hamka diminta menyalati jenazah Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno i...
Oleh: Nadirsyah Hosen*
Buya Hamka diminta
menyalati jenazah Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan
Bung Karno itu Munafik dan Allah telah melarang Rasul menyalati jezanah orang
Munafik (QS al-Taubah:84). Buya Hamka menjawab kalem, “Rasulullah diberitahu sesiapa
yang Munafik itu oleh Allah, lha saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung
Karno ini benar Munafik atau bukan.” Maka Buya Hamka pun menyalati jenazah
Presiden pertama dan Proklamator Bangsa Indonesia.
Itulah sikap ulama
yang shalih. Beliau sadar bahwa memberi label terhadap orang lain merupakan hak
prerogatif Allah. Ciri-ciri Munafik yang disebutkan dalam al-Qur’an seharusnya
membuat kita mawas diri, bukan malah digunakan untuk menyerang sesama Muslim,
apalagi hanya karena perbedaan pilihan politik.
Larangan buat Rasul
menyalati jenazah orang Munafik itu karena doa Rasul maqbul jadi tidak
selayaknya Rasul turut mendoakan kaum Munafik. Akan tetapi para sahabat yang
lain tetap menyalatkan orang yang diduga Munafik karena para sahabat tidak tahu
dengan pasti mereka itu benar-benar Munafik atau tidak. Rasul hanya
menceritakan bocoran dari langit sesiapa yang Munafik itu kepada sahabat yang
bernama Huzaifah. Huzaifah tidak pernah mau membocorkannya meski didesak Umar
bin Khattab. Walhasil Umar tidak ikut menyalati jenazah bila dia lihat
diam-diam Huzaifah tidak ikut menyalatinya, tetapi Umar sebagai khalifah tidak
pernah melarang sahabat lain untuk ikut menyalati jenazah tersebut. Belajarlah
kita dari sikap Umar, Huzaifah dan Buya Hamka.
Masalah kepemimpinan
umat itu buat Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA) bukan perkara aqidah. Lihat
saja rukun iman dan rukun Islam kita tidak menyinggung soal kepemimpinan. Ini
perkara siyasah, bukan aqidah. Jadi, ASWAJA tidak akan mudah mengkafirkan atau
memunafikkan orang lain hanya gara-gara persoalan politik. Kalau ada yang
sampai tega mengkafirkan sesama Muslim hanya karena persoalan politik dapat
dipastikan dia bukan bagian dari ASWAJA.
Kitab Aqidah
Thahawiyah yang menjadi pegangan ulama salaf mengingatkan kita semua:
. لا ننزل أحد منهم جنة ولا نارا، ولا نشهد عليهم بكفر ولا شرك
ولا بنفاق ما لم يظهر منهم شيء
من ذلك، ونذر سرائرهم إلى الله تعالى
من ذلك، ونذر سرائرهم إلى الله تعالى
“Kami tidak memastikan
salah seorang dari mereka masuk surga atau neraka. Kami tidak pula menyatakan
mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama tidak tampak lahiriah
mereka seperti itu. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala.”
Begitulah
berhati-hatinya para ulama salaf menilai status keimanan orang lain. Apa yang
tampak secara lahiriah bahwa mereka itu salat, menikah secara Islam, berpuasa
Ramadan, maka cukup mereka dihukumi secara lahiriah sebagai Muslim, dimana
berlaku hak dan kewajiban sebagai sesama Muslim, seperti berta’ziyah,
menyalatkan dan menguburkan mereka. Masalah hati mereka, apakah ibadah mereka
benar-benar karena Allah ta’ala itu hanya Allah yang tahu. Itulah sebabnya Buya
Hamka tidak ragu memimpin salat jenazah Bung Karno.
Imam al-Ghazali juga
telah mengingatkan kita semua dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah:
ولا
تقطع بشهادتك على أحد من أهل القبلة بشرك أو كفر أو نفاق؛ فإن المطلع على السرائر
هو الله تعالى، فلا تدخل بين العباد وبين الله تعالى، واعلم أنك يوم القيامة لا
يقال لك: لِم لمَ تلعن فلانا، ولم سكت عنه؟ بل لو لم تعلن ابليس طول عمرك، ولم
تشغل لسانك بذكره لم تسأل عنه ولم تطالب به يوم القيامة. وإذا لعنت أحدا من خلق
الله تعالى طولبت به،
“Janganlah engkau
memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam).
Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah
SWT. Jangan pula engkau ikut campur dalam urusan hamba-hamba Allah dengan
Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat kelak engkau tidak akan ditanya:
‘mengapa engkau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa engkau diam saja tentang
dia?’ Bahkan seandainya pun kau tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu,
dan tidak menyebutnya sekalipun, engkau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan
dituntut oleh Allah nanti di hari kiamat. Tetapi jika kau pernah mengutuk
seseorang makhluk Allah, kelak kau akan dituntut (pertanggungjawabannya oleh Allah
SWT).”
Belakangan ini di
medsos seringkali banyak yang berkomentar “anda muslim?” untuk meragukan dan
mempertanyakan keislaman orang lain hanya karena berbeda pendapat. Atau menjadi
viral saat ini ajakan untuk tidak menyalatkan jenazah mereka yang memilih
pemimpin non-Muslim karena dianggap Munafik. Penjelasan saya di atas telah
menunjukkan bahwa sikap meragukan keislaman orang lain dan mudah memvonis orang
lain Munafik adalah sikap yang tidak pantas dilakukan sesama Muslim. Para
sahabat Nabi dan ulama salaf akan berhati-hati dalam soal ini.
Mari kita jaga ukhuwah
keislaman, ukhuwah kebangsaan, dan ukhuwah kemanusiaan.
*Penulis adalah Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New
Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
COMMENTS