Mbah Kiai J amal B atokan Kediri adalah putra dari Kiai F adil Batokan yang merupakan m enantu Mbah S oleh B anjar M lati . Dengan demiki...
Mbah Kiai Jamal
Batokan Kediri adalah
putra dari Kiai Fadil
Batokan yang merupakan menantu Mbah
Soleh Banjar Mlati. Dengan demikian, Kiai
Jamal termasuk keponakan
Mbah Kiai Abdul
Karim Lirboyo Kediri. Nama lengkapnya adalah KH M Djamaluddin Fadhil, dan masyarakat lebih akrab dengan panggilan Mbah Kiai Jamal Batokan.
Dalam pengakuan sekaligus
kesaksian masyarakat juga sejumlah santri, Mbah
Kiai Jamal dikenal sebagai sosok sederhana. Sifat rendah hati atau tawadhuknya sangat tercermin
dari perilaku keseharian. Salah satunya, yang bersangkutan menolak
untuk menjadi imam shalat maktubah,
dan juga enggan memberikan mauidzah baik pada pertemuan resmi maupun sekedar memberikan
petuah secara pribadi.
"Pertanggungjawaban mereka yang menjadi imam itu
berat,” katanya suatu ketika.
Keseharian Kiai Jamal lebih banyak diisi dengan mengaji kitab. Sedangkan untuk menutupi kebutuhan hidup, aktifitas
ekonominya adalah sebagai petani tembakau. Selain itu
kiai penggemar Rokok Kansas dan Commodore ini sangat
sabar, dan tentu saja tidak gampang marah.
Suatu ketika, jam
menunjukkan pukul 9 pagi. Kala itu adalah waktunya untuk memberikan pengajian
kepada santri. Namun di tengah perjalanan, Kiai Jamal justru memergoki
sejumlah santri tengah asyik bermain karambol. Apa yang dilakukan? Toh Kiai Jamal tidak marah.
Untuk pendidikan, Kiai Jamal lama nyantri di Pesantren Tremas Pacitan yang kala itu diasuh Kiai Dimyati dan juga pernah mondok di Bendo Pare asuhan Kiai Khozin.
Salah satu dawuhnya terkait dakwah dengan lembut adalah "Selama kita masih tidak
dilarang shalat,
bersikap lunak dan lemah lembutlah terhadap
siapa saja."
Apabila ditanya tentang
suksesi kepemimpinan, maka beliau lebih memilih tidak memberikan jawaban, dan
malah disarankan bertanya kepada orang maupun kiai lain. Baginya, kalau terkait
politik apalagi kepemimpinan daerah, maka hal tersebut bukan keahliannya. Kiai
Jamal justru mengingatkan bahwa
kalau suatu perkara diberikan kepada mereka yang bukan ahlinya atau tidak
memiliki kompetensi, maka yang terjadi adalah kehancuran. “Idza
wusidal amru ila ghairi
ahlihi fantadziris sa'ah,” katanya memberikan peringatan.
Pada kesempatan berbeda,
Kiai Jamal mengingatkan jangn pernah memberikan
tugas atau jabatan kepada seseorang yang tidak memahami tentang urusan, tugas serta amanah yang diberikan. Ini memberikan pesan bahwa segala sesuatu harus
dikerjakan dan dilaksanakan atas dasar keahlian. The right man in the right
place.
Beliau wafat bulan Ramadhan tahun 1985 di usia 67, selisih
semingguan dengan KH Mahrus Ali. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Kiai Jamal sempat berujar akan diajak
"pulang" oleh Kiai Mahrus
yang mrupakan kawan
karibnya itu. Alfatihah. (A Karomi)
COMMENTS