Oleh: W Eka Wahyudi* Di Indonesia, maulid Nabi merupakan momen k...
Oleh: W Eka Wahyudi*
Di Indonesia, maulid Nabi merupakan momen krusial untuk mengenang sekaligus meneladani kisah hidup dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Napak tilas sejarah kekasih Allah inipun lazim dibaca oleh masyarakat dengan media kitab seperti ad-Diba’, Simtu ad-Durar dan Al-Barzanji. Sungguhpun banyak kitab yang menguraikan jejak historis Ibnu Abdulllah ini. Akan tetapi di Indonesia, ketiga kitab ini mempunyai kelasnya tersendiri di hati masyarakat. kitab-kitab tersebut berkisah mulai dari kelahiran, masa kecil, perjuangan hingga sampai kematiaan manusia teragung sepanjang zaman ini.
Maulid dalam Sketsa Sejarah
Tak banyak yang tahu, bahwa perintis diadakannya maulid Nabi ini pertama kali dipelopori Raja Mudhafar atau ada juga yang mengenalnya dengan nama Abu Sa’id al-Kokburi, seorang gubernur agung, ahli ibadah di wilayah Ibril, pada pemerintahan Sultan Salah al-Din al-Ayubi (1250-1260 M). Peringatan maulid Nabi era awal inipun disambut antusias kalangan elit politik dikarenakan eksistensinya digunakan sebagai injeksi psikologis di tengah berkecamuknya peperangan dengan tentara salib (crusaders) dari Eropa. Hal ini sangat masuk akal, karena suasana perang ketika itu telah menimbulkan tidak hanya guncangan politik yang luar biasa, tapi juga kegalauan batin yang amat sangat. Ancaman kematian, kekalahan, dan kehilangan sesuatu yang dicintainya seolah tergambar di tiap bayangan pedang yang setiap saat siap menebas kaum muslimin. Sehingga, para tentara muslimin membutuhkan simbol-simbol keagamanaan yang mampu meredam kegundahan para tentara Islam tersebut.
Di masa itupun, sebagai bentuk perlawanan ideologis, banyak menggunakan instrumen-instrumen psikologis sebagai bentengnya. Antara lain melalui fenomena unik, yakni orang-orang Islam mulai menggunankan bentuk genetive (idhafah) dalam membuat nama dirinya, dimana kata keduanya selalu berakhiran din (agama), seperti Sayfudin, Najamudin, Taqyudin, Burhanudin, Salahudin, dan sebagainya. Penamaan semacam ini merupakan bentuk “protes psikologis” bagi masyarakat muslim. Sekaligus sebagai bentuk pembelaan kepada agama yang eksistensinya tengah terancam kala itu.
Dari sketsa sejarah seperti yang disebut di atas bisa diketengahkan, jika momen peringatan Maulid Nabi merupakan kegiatan yang lebih bernuansa psikologis (peneguhan hati, mengaca diri, kecintaan kepada Nabi sekaligus instrospeksi pribadi) daripada muatan teologis (misalnya penyembahan kepada Sang Nabi), jelas anggapan yang terakhir ini salah besar.
Psikologi Politik Bangsa
Saat ini, sikap kedewasaan berpolitik bangsa Indonesia sedang diuji. Baik yang terlibat dalam politik praktis secara langsung, maupun masyarakat luas yang mempunyai hak politik secara umum. Parade saling hujat, caci maki dengan beragam modus operandi tengah menunjukkan ketidaksehatan mental dan psikologis kalangan awam. Yang paling menguras pusat perhatian akhir-akhir ini adalah fenomena pilkada di Propinsi DKI Jakarta. Pasalnya, pemilihan kepala daerah di jantung Indonesia ini banyak diblow up media. Sehingga, seakan-akan Indonesia ini hanya Jakarta saja.
Mereka berani memborbardir lawan-lawannya dengan berbagai macam kalimat-kalimat sarkastik hanya karena ingin mundukung sosok yang dianggapnya patut dijadikan sebagai figur pimpinan di ibu kota. Ironisnya, mereka yang terseret dalam kubangan perseteruan justeru tidak memiliki hak suara di DKI Jakarta dan bahkan tidak saling kenal. Di sinilah terlihat bahwa bangsa kita tengah mengalami sekarat psikologis dalam memandang politik sebagai hal yang sebenarnya harus disikapi secara wajar dan manusiawi.
Fenomena tersebut, seyogianya harus disikapi secara lazim dan tidak berlebihan, terutama bagi yang berkepentingan di dalamnya. Berlebihan di sini dapat dimaknai sebagai ajang ambisius dan penuh kepentingan baik bagi para calon kepala daerah maupun tim suksesnya. Sikap seperti ini memang wajar adanya, mengingat jabatan-jabatan mentereng yang diperebutkan sangat menjanjikan guna meningkatkan kelas sosial dan adu pengaruh di tengah masyarakat. Sehingga, untuk memperolehnya tak jarang menghalalkan segala cara, bahkan pada tataran yang sulit dicerna oleh akal sehat.
“Maulid” sebagai Alternatif
Seakan terkesan rancu jika menawarkan acara maulid sebagai antibiotik dalam memandang kekisruhan politik kita. Namun jika keberadaan maulid dikontekstualisasikan pada ranah politik-kebangsaan, maka akan beda lagi ceritanya. Bagi calon pemimpin dan pendukung yang muslim, bisa saja menggunakan Maulid Nabi sebagai cermin perjuangan dan pengabdian kepada umat sebagai bekal dan modal awal untuk berjuang di tengah masyarakat. Ikhtiar ini akan berdampak pada timbulnya kesadaran politik yang lebih bijak, karena bahwa sejatinya menjadi pemimpin sebuah daerah harus siap menjadi “babu”-nya masyarakat. Karena, sebenarnya jabatan kepala daerah merupakan petugas rakyat yang harus diusahakan dengan mati-matian untuk kepentingan rakyat.
Sehingga, orang yang faham betul bahwa menjadi kepala daerah hanya merupakan sarana pengabdian, tidak akan mudah tersulut oleh api pertikaian yang tak berkesudahan. Pemahaman ini yang merupakan implikasi dari pembacaan sakramen bernama “ritual maulid” akan menimbulkan sebuah perspektif bahwa perjuangan dan pengabdian kepada bangsa merupakan kewajiban yang harus selalu dijunjung tinggi dengan berlandaskan pada nilai-nilai etik.
Lain halnya dengan calon kepala daerah non muslim, bisa membaca “maulid” (perjalanan tokoh) para pendiri bangsa dan agamanya masing-masing. Sehingga, dengan adanya gerakan “Maulid Nasional”, akan menyadarkan kita bahwa pengabdian kepada bangsa melalui politik, bukanlah jalan satu-satunya sehingga harus diperjuangkan dengan mengorbankan nilai-nilai persaudaraan. Karena, para politikus jarang yang menyadari dan siap bahwa ketika sudah menjadi pimpinan di sebuah daerah, maka segala uang, mobil dan kekayaannya tak lagi milik pribadi, tapi beralih fungsi menjadi milik rakyat.
Sudahkan calon pemimpin kita menjadikan maulid sebagai bacaan wajibnya?
*Pengurus Wilayah Lembaga Ta'lif wan Nasyr NU Jawa Timur
Di Indonesia, maulid Nabi merupakan momen krusial untuk mengenang sekaligus meneladani kisah hidup dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Napak tilas sejarah kekasih Allah inipun lazim dibaca oleh masyarakat dengan media kitab seperti ad-Diba’, Simtu ad-Durar dan Al-Barzanji. Sungguhpun banyak kitab yang menguraikan jejak historis Ibnu Abdulllah ini. Akan tetapi di Indonesia, ketiga kitab ini mempunyai kelasnya tersendiri di hati masyarakat. kitab-kitab tersebut berkisah mulai dari kelahiran, masa kecil, perjuangan hingga sampai kematiaan manusia teragung sepanjang zaman ini.
Maulid dalam Sketsa Sejarah
Tak banyak yang tahu, bahwa perintis diadakannya maulid Nabi ini pertama kali dipelopori Raja Mudhafar atau ada juga yang mengenalnya dengan nama Abu Sa’id al-Kokburi, seorang gubernur agung, ahli ibadah di wilayah Ibril, pada pemerintahan Sultan Salah al-Din al-Ayubi (1250-1260 M). Peringatan maulid Nabi era awal inipun disambut antusias kalangan elit politik dikarenakan eksistensinya digunakan sebagai injeksi psikologis di tengah berkecamuknya peperangan dengan tentara salib (crusaders) dari Eropa. Hal ini sangat masuk akal, karena suasana perang ketika itu telah menimbulkan tidak hanya guncangan politik yang luar biasa, tapi juga kegalauan batin yang amat sangat. Ancaman kematian, kekalahan, dan kehilangan sesuatu yang dicintainya seolah tergambar di tiap bayangan pedang yang setiap saat siap menebas kaum muslimin. Sehingga, para tentara muslimin membutuhkan simbol-simbol keagamanaan yang mampu meredam kegundahan para tentara Islam tersebut.
Di masa itupun, sebagai bentuk perlawanan ideologis, banyak menggunakan instrumen-instrumen psikologis sebagai bentengnya. Antara lain melalui fenomena unik, yakni orang-orang Islam mulai menggunankan bentuk genetive (idhafah) dalam membuat nama dirinya, dimana kata keduanya selalu berakhiran din (agama), seperti Sayfudin, Najamudin, Taqyudin, Burhanudin, Salahudin, dan sebagainya. Penamaan semacam ini merupakan bentuk “protes psikologis” bagi masyarakat muslim. Sekaligus sebagai bentuk pembelaan kepada agama yang eksistensinya tengah terancam kala itu.
Dari sketsa sejarah seperti yang disebut di atas bisa diketengahkan, jika momen peringatan Maulid Nabi merupakan kegiatan yang lebih bernuansa psikologis (peneguhan hati, mengaca diri, kecintaan kepada Nabi sekaligus instrospeksi pribadi) daripada muatan teologis (misalnya penyembahan kepada Sang Nabi), jelas anggapan yang terakhir ini salah besar.
Psikologi Politik Bangsa
Saat ini, sikap kedewasaan berpolitik bangsa Indonesia sedang diuji. Baik yang terlibat dalam politik praktis secara langsung, maupun masyarakat luas yang mempunyai hak politik secara umum. Parade saling hujat, caci maki dengan beragam modus operandi tengah menunjukkan ketidaksehatan mental dan psikologis kalangan awam. Yang paling menguras pusat perhatian akhir-akhir ini adalah fenomena pilkada di Propinsi DKI Jakarta. Pasalnya, pemilihan kepala daerah di jantung Indonesia ini banyak diblow up media. Sehingga, seakan-akan Indonesia ini hanya Jakarta saja.
Mereka berani memborbardir lawan-lawannya dengan berbagai macam kalimat-kalimat sarkastik hanya karena ingin mundukung sosok yang dianggapnya patut dijadikan sebagai figur pimpinan di ibu kota. Ironisnya, mereka yang terseret dalam kubangan perseteruan justeru tidak memiliki hak suara di DKI Jakarta dan bahkan tidak saling kenal. Di sinilah terlihat bahwa bangsa kita tengah mengalami sekarat psikologis dalam memandang politik sebagai hal yang sebenarnya harus disikapi secara wajar dan manusiawi.
Fenomena tersebut, seyogianya harus disikapi secara lazim dan tidak berlebihan, terutama bagi yang berkepentingan di dalamnya. Berlebihan di sini dapat dimaknai sebagai ajang ambisius dan penuh kepentingan baik bagi para calon kepala daerah maupun tim suksesnya. Sikap seperti ini memang wajar adanya, mengingat jabatan-jabatan mentereng yang diperebutkan sangat menjanjikan guna meningkatkan kelas sosial dan adu pengaruh di tengah masyarakat. Sehingga, untuk memperolehnya tak jarang menghalalkan segala cara, bahkan pada tataran yang sulit dicerna oleh akal sehat.
“Maulid” sebagai Alternatif
Seakan terkesan rancu jika menawarkan acara maulid sebagai antibiotik dalam memandang kekisruhan politik kita. Namun jika keberadaan maulid dikontekstualisasikan pada ranah politik-kebangsaan, maka akan beda lagi ceritanya. Bagi calon pemimpin dan pendukung yang muslim, bisa saja menggunakan Maulid Nabi sebagai cermin perjuangan dan pengabdian kepada umat sebagai bekal dan modal awal untuk berjuang di tengah masyarakat. Ikhtiar ini akan berdampak pada timbulnya kesadaran politik yang lebih bijak, karena bahwa sejatinya menjadi pemimpin sebuah daerah harus siap menjadi “babu”-nya masyarakat. Karena, sebenarnya jabatan kepala daerah merupakan petugas rakyat yang harus diusahakan dengan mati-matian untuk kepentingan rakyat.
Sehingga, orang yang faham betul bahwa menjadi kepala daerah hanya merupakan sarana pengabdian, tidak akan mudah tersulut oleh api pertikaian yang tak berkesudahan. Pemahaman ini yang merupakan implikasi dari pembacaan sakramen bernama “ritual maulid” akan menimbulkan sebuah perspektif bahwa perjuangan dan pengabdian kepada bangsa merupakan kewajiban yang harus selalu dijunjung tinggi dengan berlandaskan pada nilai-nilai etik.
Lain halnya dengan calon kepala daerah non muslim, bisa membaca “maulid” (perjalanan tokoh) para pendiri bangsa dan agamanya masing-masing. Sehingga, dengan adanya gerakan “Maulid Nasional”, akan menyadarkan kita bahwa pengabdian kepada bangsa melalui politik, bukanlah jalan satu-satunya sehingga harus diperjuangkan dengan mengorbankan nilai-nilai persaudaraan. Karena, para politikus jarang yang menyadari dan siap bahwa ketika sudah menjadi pimpinan di sebuah daerah, maka segala uang, mobil dan kekayaannya tak lagi milik pribadi, tapi beralih fungsi menjadi milik rakyat.
Sudahkan calon pemimpin kita menjadikan maulid sebagai bacaan wajibnya?
*Pengurus Wilayah Lembaga Ta'lif wan Nasyr NU Jawa Timur
COMMENTS