Oleh: Ahmad Karomi Jarum jam menujukkan pukul tujuh malam. Tampak dua sosok manusia berjalan di sebelah selatan pondok, berjalan agak t...
Oleh: Ahmad Karomi
Jarum jam menujukkan pukul tujuh
malam. Tampak dua sosok manusia berjalan di sebelah selatan pondok, berjalan
agak terhuyung-huyung disebabkan terdesak oleh berjubel pendatang dan tamu
undangan yang hormat haul almarhum Mbah KH Djazuli tahun 1991. Banyak yang
tidak menyadari siapa dua sosok yang melintas dan berpapasan pada acara yang penuh lautan manusia itu.
Seorang santri cilik berusia 12
tahun yang secara kebetulan berpapasan, menyaksikan peristiwa itu penuh tanda tanya.
Siapakah dua sosok yang melintas ini? Mengapa kedua tangannya ditaruh di pundak
temannya? Tiba-tiba ada suara yang berbisik-bisik berkata: "Gus Miek,
rawuh." Santri cilik ini pun terkesiap, ternyata yang berpapasan dengannya
adalah Gus Miek, tokoh idolanya. Seketika itu juga santri cilik ini putar balik
mengejar, namun tak berhasil melewati kerumunan manusia yang juga berebut
sungkem kepada kyai nyentrik ini.
Prosesi haul berlangsung meriah,
sebab dihadiri oleh Gus Miek yang kala itu merupakan kyai khos dan dinanti
keberkahannya. Ketika acara haul telah usai, Gus Miek berada di ndalem bersama
Gus Tajud (putra pertama beliau), yang mengiringi kawalan sejak berada di selatan
pondok tadi.
Dawuh Gus Miek yang masih segar
diingat saat haul oleh santri cilik itu adalah: "quu anfusakum wa ahlikum naaro" (jauhkan dirimu dan
keluargamu dari api neraka). Bagi Gus Miek, keluarga adalah pintu pertama
menapaki sukses dunia akhirat. Mendidik anak dengan nilai-nilai luhur serta
dasar aqidah sesuai tuntunan Rasulullah menjadi syarat mutlak terbentuknya masyarakat
madani. Sebab, jika diri sendiri dan keluarga sudah kokoh pondasi aqidahnya,
maka sebarkan kebaikan itu kepada masyarakat sekitar. Sehingga terjadilah
saling terikat atau istilah amtsilatu
tashrifiyyah "musyarokah baina itsnain fa aktsaro" (persekutuan
saling timbal balik antara dua orang maupun lebih). Bahasa terkini semacam
simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dan mempengaruhi. Terbukti perhatian
Gus Miek terhadap pentingnya menjaga diri dan keluarga tertuang dalam syairan
dzikrul ghofilin "Amin Ya Allah, Duh
Gusti kang melasi, Panjenengan Moho Lumo aris lan mitulungi. Duh Gusti kulo
nyuwun, sehat manah lan rogo. Lan waras badan kulo, putro lan keluargo."
Serbuan para samiin dan tamu
undangan merangsek maju berebut tangan lembut Gus Miek. Santri cilik yang tadi
gagal mengejar, ikut pula berburu sungkem, sehingga larut bersama para "penggemar"
Gus Miek. Namun apa dikata, santri kecil ini gagal lagi. Ia dihadang pagar
betis keamanan pondok, dan tubuh kurusnya terhimpit oleh daging-daging gempal
keamanan pondok. Dia terlempar keluar, dan tampaklah wajah kecewa pada dirinya.
Dia hanya bisa memandang dari kejauhan wajah kyai idolanya yang terlihat capek
tapi tetap tersenyum melayani puluhan tangan yang berebut sungkem.
Dengan langkah gontai, santri
cilik ini pulang ke kamar pondok, untuk melepas penat dan kecewa. Baginya,
harapan untuk sungkem itu takkan pernah terwujud. Ia pesimis bisa berjumpa Gus
Miek lagi. Santri kecil ini pun tertidur, beralaskan sajadah pinjaman milik
temannya.
Suara tarhim subuh berkumandang,
Si santri cilik bangun dengan wajah berseri-seri. Teman-teman sekamar heran
akan keceriaannya usai tidur itu, sehingga salah satu teman bertanya: "Kowe, tangi turu ngguya-ngguyu girang
onok opo?" (Kamu, bangun tidur senyam-senyum ada apa?) Santri cilik
itu menjawab dengan polos: "Alhamdulillah
aku mimpi ketemu Gus Miek, terus aku sungkem, dirangkul, diuruki moco wirid,
tangane empuk lan anget." (Alhamdulillah, saya bermimpi bertemu Gus
Miek, lalu sungkem, dirangkul, diajari wiridan). Teman-teman sekamar tertawa
terbahak-bahak. Lalu teman lain yang berkumis berkata: "Ngimpi ngunu ae girang men" (mimpi begitu aja girang
banget). Sambil meledek, bahwa mimpi hanya kembang tidur. Santri cilik itu
tidak peduli apa kata teman sekamar. Baginya, mimpi itu memiliki pesan dan
kesan yang dalam.
Awal Tahun 1993, surat kabar
menulis tentang Gus Miek yang sedang sakit. Kyai ini dawuh: "Sakit itu
adalah bentuk cinta Allah kepada kita, sakit itu wujud lain dari nikmat."
Bulan Juni, setelah Isya,
tiba-tiba ada berita duka KH Hamim Djazuli alias Gus Miek kapundut. Seluruh
santri diwajibkan membaca surat al-ikhlas. Santri cilik yang ngefans Gus Miek
tadi langsung bergabung dengan santri lain berdzikir bersama untuk Gus Miek.
Keesokan paginya lautan manusia berdatangan; ada budayawan, artis, pejabat,
ulama, kejawen, berduyun-duyun melepas kepergian Gus Miek.
Sebagai wakil keluarga, Kyai Dah
(KH. Nurul Huda Djazuli) dawuh bahwa Gus Miek memiliki kelebihan yang jarang
ditemui pada orang lain. “Diantaranya, masalah apapun jika berhadapan dengan
Gus Miek, seketika itu juga langsung ada solusinya, padahal belum disampaikan.
Gundah dan gelisah akan berangsur hilang ketika menatap wajah Gus Miek,"
katanya.
Sedangkan menurut Gus Dur: "Gus Miek tak kenal lelah memberikan harapan kepada
siapapun untuk menjadi lebih baik." Laku beliau mendatangi tempat
bromocorah, hanya untuk mengajak melakukan perbuatan baik, bermanfaat duniawi ukhrawi.
Beliau tidak membedakan antara artis maupun santri. Semuanya memiliki porsi
atau harapan untuk berbuat baik. Khariqul
‘adah (nyleneh) yang acapkali dialamatkan kepada Kyai Miek ini bukanlah
melulu sakti dan keramat. Dikatakan nyleneh, sebab Gus Miek memiliki
kebiasaan yang menembus batas kebiasaan manusia umum. Contoh, manusia pada
umumnya sehari istirahat tidur 5 hingga 7 jam. Gus Miek sanggup tidak istirahat
sama sekali. Kebiasaan ulama yang berdakwah, menunggu bola atau disowani. Tapi
kebiasaan Gus Miek berdakwah haruslah menjemput bola dalam artian mendatangi
umat. Hal-hal demikianlah menurut kacamata awam menjadi khusus atau istilahnya
ciri khas.
Kisah yang dialami santri cilik,
yang putus asa (harapan) tadi adalah refleksi sosok Gus Miek yang tetap
memberikan harapan kepada santri cilik meskipun lewat mimpi. Oleh karenanya Gus
Miek merupakan manifestasi wajah penuh harapan agar manusia selalu berbuat baik
dengan cara yang baik, meskipun sekelilingnya tidak baik atau banyak
kemungkaran. Gus Miek menyapa, hadir untuk mengarahkan dengan cara santun tanpa
mengorbankan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, dalam salah satu syiiran
beliau berbunyi: "Pengeran
Panjenengan, dandosi kulo niki. Lahir batin sarono manah sahe kang suci."
Syair dan doa-doa beliau tertulis di bagian akhir dzikrul ghofilin atau mengingatkan mereka yang lupa. (saiful)
Keterangan gambar: Gus Tajud dan Gus Miek (bersorban), dua sosok yang berpapasan santri cilik. (dok. istimewa)
COMMENTS