Oleh: M. Abdil Bar* Dizaman modern ini, diperlukan kiai atau ulama yang bisa menjadi contoh baik bagi masyarakat di tengah-tengah banyak...
Oleh: M. Abdil Bar*
Dizaman modern ini, diperlukan kiai atau ulama yang bisa menjadi contoh baik bagi masyarakat di tengah-tengah banyaknya penceramah yang muncul lewat televisi. Para ustad yang muncul di televisi menampilkan berbagai macam metode dalam berdakwah agar dapat diterima oleh penonton, namun kenyataannya mereka tidak berhasil mendapatkan simpati masyarakat, yang ada masyarakat malah bosan melihat ceramah-ceramah tersebut.Ulama yang menjadi panutan masyarakat saat ini sangat jarang. Sangat berbeda zaman sekarang dengan zaman dahulu, dimana setiap daerah dahulu memiliki ulama yang dijadikan panutan oleh masyarakatya, sekarang mendapatkan ulama yang seperti itu sangat sulit ditemukan di setiap daerah. Mengapa itu terjadi? Karena sebagian ulama saat ini mejadikan dakwah sebagai bisnis, mencari materi, menentukan tarif ceramah, sehingga jauh dari sikap ikhlas dan lilllahitaala dalam berdakwah. Dari itu, mengulas sedikit tentang sikap hidup ulama-ulama terdahulu mengapa dakwahnya diterima oleh masyarakat adalah tujuan dari penulisan ini, di antara ulama-ulama, saya hadirkan sedikit cerita tentang dakwah KH. Mohammad Hasan Genggong, Probolinggo, mengapa masyarakat menerima dakwahnya bahkan mencintai beliau.
Tepat pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi saw. Tanggal 27 Rajab 1259 H/ 23 Agustus 1843 M. Di desa Sentong (4 km ke arah selatan Kraksaan) kabupaten Probolinggo, lahir bayi mungil laki-laki dari rahim seorang ibu yang bernama Khadijah dan bapak yang bernama Syamsuddin. Kemudian bayi tersebut diberi nama Ahsan bin Syamsuddin.
Dalam perjalanannya, Ahsan tumbuh dewasa sebagaimana anak-anak pada umumnya, namun Ahsan memiliki ke istimewaan sikap hidup yang tidak dimiliki oleh anak-anak pada zamannya. Ke istimewaan tersebut berupa ketawadduan, kezuhudan, cepat dalam memahami ilmu pelajaran. Seperti pengakuan KH. Rofi’i Sentong putra pamannya Syamsuddin sekaligus teman seperjuangannya mencari ilmu, sejak belajar kepada pamannya Syamsuddin ( ayah KH. Rofi’i Sentong), mondok di Pasuruan, nyantri ke Kiai Kholil Bangkalan, sampai sama-sama belajar di Makkah, Ahsan selalu lebih cepat dalam memahami pelajaran dan hafalan.
Selama mencari ilmu, baik di Jawa maupun di Makkah Ahsan yang kemudian dikenal dengan KH. Mohammad Hasan Genggong berguru kepada ulama-ulama paham Ahlussunnah wal- jammaah, diantaranya: KH. Kholil Bangkalan, KH. Mohammad Nawawi bin Umar al-Bantani, KH. Marzuki Mataram, Habib Ali bin Ali al-Habsy, Syekh Sa’id al-Yamani, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohamad Syatho al-Misri. Selepas selesai masa studinya di Makkah, KH. Mohammad Hasan kembali ke tanah Jawa, mengabdikan ilmunya untuk kemajuan umat dan bangsa di pesantren Zainul Hasan Genggong.
Lambat laun, KH. Mohammad Hasan menyebarkan ilmunya kepada masyarakat dengan berdakwah, menghadiri undagan, pernikahan, pengajian dengan cara yang santun, bertutur kata sopan, tidak mengkafirkan atau membid’ahkan orang lain, tawaddu’, menerima perbedaan masyarakat. Dengan metode seperti itu, dakwah KH. Mohammad Hasan diterima dengan baik oleh masyarakat, disegani bahkan beliau bisa mengambil hati masyarakat.
Sikap tawaddu’, zuhud, santun dan sebagainya tidak langsung ada pada diri KH. Mohammad Hasan. Beliau telah berperilaku asketis tersebut sejak dari kecil, suka berpuasa, menolong orag tua, dan didikan dari guru-guru beliau yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai tasawwufdan akhlak, seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Nawawi bin Umar al-Bantani dan guru beliau lainnya. Sehingga ketika KH. Mohammad Hasan berdakwah, ucapan dan perilaku beliau diterima kemudian diamalkan oleh masyarakat banyak. Karena ucapan beliau dalam berdakwah dengan perilaku beliau sehari-hari sesuai dengan kenyataan.
Ajaran-ajaran beliau mengandung nilai-nilai kehidupan dalam bermasyarakat, mencerminkan Islam rahmatan lilalamn. Melihat kondisi-situasi masyarakat dalam berdakwah. Bukan mencaci, menentang apalagi memusuhi perilaku masyarakat primitif yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tapi memperbaikinya dengan metode lemah lembut. Sebagaimana diketahui, masyarakat zaman dahulu sangat kental dengan tradisi nenek moyang mereka, seperti sesajen, pesugihan, ramalan nasib dan lain sebagainya.
Di zaman modern ini, sosok ulama seperti KH. Mohammad Hasan tersebut jarang, bahkan sulit untuk di temukan keberadaannya. Sebaliknya, muncul ulama-ulama yang perlu dipertanyakan kreadibilitasnya sebagai ulama, di mana, ketika mereka memberikan khutbah-khutbah baik di masjid, musholla, majlis ta’lim, pengajian, kajian bahkan seperti di media televisi sekalipun tidak mendapatkan kepuasan mendengarkan ceramahnya. Ada ustad mencela muslim lain karena dianggap perilakunya sesat, bid’ah. Ada ustad lain menganggap dirinya paling benar, sesuia dengan al-Kitab dan as-Sunah. Ada ustad lain memberikan ceramah agama yang tidak memiliki kreadibilitas atau pengetahuan agama yang sempurna untuk menyampaikannya.
Itulah penampakan ulama, di samping masih ada ulama yang kreadibiltasnya tinggi dan pengetahuan keagamaannya luas saat ini. Apa yang membuat krisis kemunculan ulama saat ini, serta tidak mendapat simpati dari masyarakat?. Pertama adalah sikap hidup sebagian ulama saat ini yang menjadikan dakwah sebagai ladang penghasilan, sikap hidup yang materialis, tidak perhatian terhadap nasib umat dan bangsa, menuduh sesat,bid’ah, kafir muslim yang lain, keras dalam berdakwah dan cenderung mengangap dirinya paling benar yang lain keliru.
Maka, untuk melahirkan kembali ulama-ulama yang kreadibilitasnya tinggi serta mendapat simpati masyarakat, perlu untuk meneladani sikap hidup ulama-ulama terdahulu yang ahlussunnah, bermadzhab 4 imam besar dalam fiqh, mengikuti Imam al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang aqidah, mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-baghdadi dalam bidang tasawwuf, seperti ulama yang dikupas dalam tulisan ini, yakni KH. Mohammad Hasan bin Syamsuddin bin Qoiduddin. KH. Mohammad Hasan wafat di Genggong, 11 Syawal 1374 H/ 1 Juni 1995, Probolinggo Jawa Timur. Kini, Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong diasuh oleh cucu beliau, yakni KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah, sekaligus ketua PWNU wilayah Jawa Timur.
* Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
COMMENTS