Kediri -- Menyambut hari santri yang akan berlangsung 22 Oktober mendatang, sejumlah pesantren mengadakan kegiatan. Adalah Sekolah Tingg...
Kediri -- Menyambut hari santri yang akan
berlangsung 22 Oktober mendatang, sejumlah pesantren mengadakan kegiatan.
Adalah Sekolah Tinggi Ahama Islam Badrus Sholeh atau STAIBA Purwoasri Kediri mengadakan
bedah buku Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan karya H. Sholeh Hayat. Tema
yang diangkat adalah kiprah Kyai Badrus dalam perang kemerdekaan.
“Membicarakan keampuhan dan kedigdayaan seorang kyai di zaman kemerdekaan, takkan pernah ada habisnya,” kata H Sholeh Hayat, Sabtu (17/9/2016). Sebab di zaman itulah maunah, serta karomah yang dimiliki para auliya ditunjukkan Allah sebagai senjata melawan penjajah, lanjut penulis buku tersebut.
Di antara beberapa kyai yang dikenal sebagai pakar gemblengan adalah Kyai Badrus Sholeh Purwoasri. “Beliaulah kyai jadug yang diamanahi oleh KH M Hasyim Asyari untuk mengisi kekebalan dan membekali para pejuang dengan bersenjatakan bambu runcing, kerikil maupun rotan,” terang Wakil Ketua PWNU Jatim tersebut.
Di hadapan para pimpinan kampus STAIBA dan mahasiswa, serta tokoh setrempat, Pak Sholeh, sapaan akrabnya menjelaskan bagaimana kyai kala itu membekali para pejuang. “Dengan melantunkan dzikir ya jabbar ya qahhar, para pejuang yang terdiri dari sejumlah santri ini melawan penjajah tanpa rasa takut,” katanya. Amunisi berupa doa dari Mbah Kyai Badrus ini terbukti mampu menggelorakan jiwa para santri yang berjuang, lanjutnya.
Mbah Kyai Badrus selain dikenal sebagai sosok penggembleng pejuang kemerdekaan, juga sebagai kyai yang memiliki ketegasan serta dedikasi. “Tegas dalam bersikap artinya berprinsip qulil haqq walau kana murro yakni mengatakan yang benar meskipun dirasa pahit,” terang mantan anggota DPRD Jatim tersebut. Semisal menyikapi bahaya laten PKI. Kyai Badrus adalah satu-satunya tokoh kala itu yang bersikap tegas untuk memerangi pengikut partai komunis tersebut. Sebab baginya, PKI telah mengkhianati negeri ini dan keluar dari jalur kebenaran.
“Berdedikasi dalam artian Kyai Badrus sebagai santri Hadratussyekh Hasyim Asyari, telah mengerahkan tenaga dan pikiran untuk umat, khususnya Nahdlatul Ulama,” katanya. Pengabdian dan perjuangannya bersama para kyai dan santri takkan bisa dilupakan. Hal tersebut dibuktikan dengan berduyun-duyunnya para santri pejuang siang malam, namun tetap dilayani dengan dibekali doa, hizib serta bambu runcing.
Disamping dikenal pejuang, Kyai Badrus juga sebagai tokoh yang mengabdikan serta memperhatikan pentingnya madrasah. “Sehingga permasalahan apapun terkait madrasah beliau selesaikan saat itu juga,” kata mantan wartawan Majalah Aula tersebut.
Karakteristik Kyai Badrus menjadi prinsip hidup dalam menghadapi persoalan apapun. “Dalam menghadapi sejumlah problem, beliau selesaikan secepatnya tanpa perlu berlarut-larut,” kata Kyai Sholeh. Sosok Kyai Badrus melarang keras sesama santri saling menyakiti, bertikai, dendam, serta mengajak hidup rukun, juga saling menolong. “Bila ada konflik, harus berdamai dan saling memaafkan,” ungkapnya.
Dengan karakteristik seperti inilah, energinya bisa maksimal dicurahkan serta fokus untuk kemajuan pendidikan di Purwoasri. Karenanya, tidak mengherankan bila di pesantren ini pendidikan terlihat lebih maju hingga mampu mendirikan STAIBA.
Bedah buku Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan yang diterbitkan PWNU Lembaga Ta’lif wan Nasyr Jawa Timur tersebut dihadiri keluarga pesantren. Tampak di antaranya KH Zaimuddin Badrus, Nyai Hj. Noer Chalidah Badrus dan sejumlah alumni, santri dan mahasiswa serta mahasiswi kampus setempat. (Karomi/saiful)
“Membicarakan keampuhan dan kedigdayaan seorang kyai di zaman kemerdekaan, takkan pernah ada habisnya,” kata H Sholeh Hayat, Sabtu (17/9/2016). Sebab di zaman itulah maunah, serta karomah yang dimiliki para auliya ditunjukkan Allah sebagai senjata melawan penjajah, lanjut penulis buku tersebut.
Di antara beberapa kyai yang dikenal sebagai pakar gemblengan adalah Kyai Badrus Sholeh Purwoasri. “Beliaulah kyai jadug yang diamanahi oleh KH M Hasyim Asyari untuk mengisi kekebalan dan membekali para pejuang dengan bersenjatakan bambu runcing, kerikil maupun rotan,” terang Wakil Ketua PWNU Jatim tersebut.
Di hadapan para pimpinan kampus STAIBA dan mahasiswa, serta tokoh setrempat, Pak Sholeh, sapaan akrabnya menjelaskan bagaimana kyai kala itu membekali para pejuang. “Dengan melantunkan dzikir ya jabbar ya qahhar, para pejuang yang terdiri dari sejumlah santri ini melawan penjajah tanpa rasa takut,” katanya. Amunisi berupa doa dari Mbah Kyai Badrus ini terbukti mampu menggelorakan jiwa para santri yang berjuang, lanjutnya.
Mbah Kyai Badrus selain dikenal sebagai sosok penggembleng pejuang kemerdekaan, juga sebagai kyai yang memiliki ketegasan serta dedikasi. “Tegas dalam bersikap artinya berprinsip qulil haqq walau kana murro yakni mengatakan yang benar meskipun dirasa pahit,” terang mantan anggota DPRD Jatim tersebut. Semisal menyikapi bahaya laten PKI. Kyai Badrus adalah satu-satunya tokoh kala itu yang bersikap tegas untuk memerangi pengikut partai komunis tersebut. Sebab baginya, PKI telah mengkhianati negeri ini dan keluar dari jalur kebenaran.
“Berdedikasi dalam artian Kyai Badrus sebagai santri Hadratussyekh Hasyim Asyari, telah mengerahkan tenaga dan pikiran untuk umat, khususnya Nahdlatul Ulama,” katanya. Pengabdian dan perjuangannya bersama para kyai dan santri takkan bisa dilupakan. Hal tersebut dibuktikan dengan berduyun-duyunnya para santri pejuang siang malam, namun tetap dilayani dengan dibekali doa, hizib serta bambu runcing.
Disamping dikenal pejuang, Kyai Badrus juga sebagai tokoh yang mengabdikan serta memperhatikan pentingnya madrasah. “Sehingga permasalahan apapun terkait madrasah beliau selesaikan saat itu juga,” kata mantan wartawan Majalah Aula tersebut.
Karakteristik Kyai Badrus menjadi prinsip hidup dalam menghadapi persoalan apapun. “Dalam menghadapi sejumlah problem, beliau selesaikan secepatnya tanpa perlu berlarut-larut,” kata Kyai Sholeh. Sosok Kyai Badrus melarang keras sesama santri saling menyakiti, bertikai, dendam, serta mengajak hidup rukun, juga saling menolong. “Bila ada konflik, harus berdamai dan saling memaafkan,” ungkapnya.
Dengan karakteristik seperti inilah, energinya bisa maksimal dicurahkan serta fokus untuk kemajuan pendidikan di Purwoasri. Karenanya, tidak mengherankan bila di pesantren ini pendidikan terlihat lebih maju hingga mampu mendirikan STAIBA.
Bedah buku Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan yang diterbitkan PWNU Lembaga Ta’lif wan Nasyr Jawa Timur tersebut dihadiri keluarga pesantren. Tampak di antaranya KH Zaimuddin Badrus, Nyai Hj. Noer Chalidah Badrus dan sejumlah alumni, santri dan mahasiswa serta mahasiswi kampus setempat. (Karomi/saiful)
COMMENTS