Oleh: Muhammad Imdad* Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu...
Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya
-sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang di tawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airlangga meminta pendapat kepada penasihatnya, Empu Baradha. Empu Baradha menyanggupi untuk menyelesaikan persoalan Prabu Airlangga. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ia membagi daerah kerajaan Kahuripan menjadi dua sama rata dengan membuat Sungai Brantas sebagai penandanya. Prabu Airlangga memberikan kerajaan Kahuripan timur sungai kepada Mapanji Garasakan dan diberi nama kerajaan Jenggala. Kerajaan Kahuripan barat sungai diserahkan kepada Sri Samarawijaya dan dinamai dengan kerajaan Panjalu atau Kadiri -sekarang menjadi kota Kediri.
Tepat di tepi Sungai Brantas bagian barat inilah, pada tahun 1925, seorang asli Kediri yang mewarisi sifat bijaksana leluhurnya, Kyai Djazuliy Ustman, mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Alfalah. Kyai Djazuliy mempunyai 6 orang putera. Lima diantaranya laki-laki. Satu yang sekaligus menjadi bungsu adalah perempuan.
Setelah Kyai Djazuliy wafat pada tahun 1976, pesantren yang terletak di desa Ploso kecamatan Mojo ini dilanjutkan oleh putra-putri beliau dengan KH Zainuddin Djazuliy yang notabene adalah putra tertua sebagai pimpinan utama.
KH Zainuddin Djazuliy atau yang lebih akrab disapa Yai Din atau Mbah Yai Din masih memimpin Pondok Ploso saat saya memutuskan untuk mengais ilmu dan barokah di sana pada pertengahan 2007. Waktu itu, beliau sudah berusia 80 tahun lebih.
Yai Din memiliki paras teduh menenangkan. Badannya tegap kekar, suaranya lantang menggelegar. Gurat tajam di wajahnya mendeskripsikan betapa kehidupan yang beliau lalui sangat keras dan penuh perjuangan.
Sebagai orang yang pernah hidup di era
pra-kemerdekaan, tentu kisah hidup beliau banyak diisi dengan keprihatinan.
Ayah beliau bukan orang kaya raya. Makan paling enak saja lauknya hanya rebusan
ontong atau jantung pisang.
Saat Jepang mengusai Indonesia, Ploso juga terkena imbasnya. Para santri ada yang pulang ke kampung halamannya masing-masing saat pertempuran pecah. Kyai Djazuliy dan keluarganya juga sempat diuji oleh kebiadapan para penjajah sebelum pada akhirnya Indonesia benar-benar merdeka.
Penderitaan tidak berhenti sampai disitu, pada tahun 1965, PKI dengan faham komunisnya mulai melancarkan teror. Di Kediri, peristiwa Kanigoro, Kras, adalah salah satu yang populer. Kras dan Ploso hanya di sekat oleh Sungai Brantas. Ekspansi PKI juga menyasar pesantren Alfalah. Bahkan PKI waktu itu sempat meminta untuk memotong daun telinga Yai Din. Namun salah seorang santri beliau, dengan dilandasi sifat heroik dan tawadlu', maju menggantikan beliau dan merelakan daun telinganya terputus.
Saat ini keadaan sudah kondusif. Para santri bisa melangsungkan kegiatan belajar-mengajar dengan tenang. Yai Din, seperti kebanyakan kyai lainnya, juga mengajar langsung para santrinya dengan pengajian kitab kuning. Sayang, selama saya di Ploso, beliau sudah tidak mengaji kitab secara langsung dengan para santri.
Menurunnya kemampuan pengelihatan, pendengaran dan kemampuan fisik tidak memungkinkan beliau lagi untuk kembali mengajar santri seperti dulu. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, beliau tetap berupaya sekuat tenaga untuk berinteraksi secara langsung dengan para santri, diantaranya dengan berjamaah. Kalau tidak ada halangan, sebisa mungkin beliau akan menghadiri sholat bersama santri dengan beliau sebagai imamnya.
Kekaguman saya kepada beliau tidak hanya sampai di situ. Dengan usia yang sudah 80 tahun lebih, beliau tidak sekedar mengimami sholat berjamaah, namun juga turun tangan langsung oprak-oprak para santri di kamar-kamar agar kami segera bergegas mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat berjamaah. Tidak jarang beliau saya lihat juga masuk ke kamar-kamar yang terletak di lantai tiga. Saya sering mengelus dada dan terharu dengan sikap beliau dalam mengayomi santri.
Sebelum masuk waktu shubuh, beliau sudah siap sedia, duduk bersandar di salah satu tiang aula. Selang beberapa saat, beliau akan mendatangi kamar para santri. Dengan membawa TOA merah, beliau berseru lantang, "Ayo gus, tangi. Ndang wudlu. Ndang dikebeki masjide, ayo tangi gus!", dengan sekejap saja, para santri langsung terbangun semburat. Bergegas wudlu dan memenuhi masjid.
Namanya juga santri, ada juga yang agak bebal. Sudah wudlu, bukannya merapat ke masjid, malah melanjutkan tidur sambil duduk di aula. Padahal di masjid masih banyak tempat yang belum terisi. Kalau sudah begitu, beliau akan menyeru dari dalam masjid, "Masjid e dikebeki. Ora ono panggonan seng paling apik nang dukur bumine Allah kejobo mesjid".
Beliau juga sering kali kedapatan mengajak serta putra bungsunya yang masih berusia 4 tahun untuk berjamaah bersama para santri. Sebelum mengajari santri, beliau terlebih dahulu memberi contoh kepada putranya sendiri. Bahkan sedari kecil pun sudah dididik untuk disiplin.
Yai Din mempunyai empat orang istri. Meski begitu, beliau tergolong sosok yang setia. Beliau tidak pernah mempoligami istrinya. Artinya, dari 4 istri beliau, tidak ada satupun yang di poligami. Kalau tidak karena istrinya meninggal dan berpisah, beliau tidak akan beristri lagi.
Saya sering merenungkan sikap Yai Din yang sangat menganjurkan para santri untuk berjamaah. Selain memang ada pahala 27 derajat, jamaah juga membentuk karakter rasa saling memiliki, gotong royong dan mempersolid persatuan diantara santri. Orang yang tidak pernah berjamaah, hubungan sosialnya tentu tidak akan sebaik mereka yang rajin sholat berjamaah.
Dua-tiga tahun yang lalu, Yai Din jatuh sakit. Penyakit jelasnya apa, saya tidak tahu pasti -yang jelas sejenis stroke. Saat ini beliau kalau ke mana-mana selalu dibopong kursi roda. Jika sowan-pun para santri akan menyalami tangan kiri beliau. Sebab tangan kanannya tidak bisa lagi digerakkan. Sejak itu hingga saat ini, beliau tidak lagi mengimami para santri.
"Saya sebenarnya kangen ingin berjamaah lagi dengan kalian, para santri. Tapi sakit saya membuat hal itu sulit terjadi. Saya sudah tua, sakit-sakitan. Doakan saya agar husnul khotimah", kalimat itu selalu diucapkan beliau saat berbicara di hadapan para santri.
Tanpa sadar, air mata saya dan para santri lainnya bercucuran. Seraya melangitkan doa-doa baik untuk beliau.
*Lahir 6 Juni 1992 di Banyuwangi. Santri di Pondok Pesantren
Alfalah Ploso Kediri. Bisa dihubungii di imdadood35@gmail.com atau Telp
081238719993.
Keterangan gambar: Yai Din memakai baju dan songkok putih bersama adiknya.
Keterangan gambar: Yai Din memakai baju dan songkok putih bersama adiknya.
COMMENTS