Khazanah Islam di Indonesia pasti tidak terlepas dari adanya kitab kuning atau kitab turats yang dikarang oleh ulama-ulama terdahulu. Di ...
Khazanah Islam di Indonesia pasti tidak terlepas dari adanya kitab
kuning atau kitab turats yang dikarang oleh ulama-ulama terdahulu. Di zaman
modern ini, tidak semua santri bisa memahami kitab berbahasa Arab tersebut
karena banyaknya buku-buku terjemahan yang kini beredar.
Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiyah Sukorejo Sitobondo, KH Afifuddin Muhajir, mengatakan, kitab-kitab tersebut harus dipertahankan. Di sisi lain, kitab-kitab terjemahan juga bisa digunakan untuk memahami kitab klasik yang kadang sangat sulit dipahami.
"Kitab kuning tetap harus dipertahankan. Kitab-kitab baru, termasuk kitab-kitab terjemahan bisa saja digunakan untuk membahas bidang, seperti ushul fikih dan sejenisnya, itu bisa membantu," kata Kiai Afif suatu ketika.
Menurut dia, banyak terjamahan kitab ushul fikih yang saat ini juga perlu dibaca. Lewat perpaduan tersebut, kadang-kadang santri bisa memahami kitab klasik yang selama ini tidak bisa dipahami. "Memang, kitab-kitab klasik sulit, tapi kitab klasik jangan ditinggalkan karena ada perbedaan tersendiri cara memperoleh suatu pemahaman terhadap suatu masalah," jelas mantan Katib PBNU tersebut.
Kiai Afif mengatakan, proses untuk memahami kitab klasik memang lebih susah dibandingkan dengan kitab modern. Ia menjelaskan, jika memahami sesuatu dengan cara bersusah payah pasti berbeda dengan cara yang mudah. "Bedanya, itu terletak pada kepuasan itu sendiri. Sama halnya dalam kehidupan bermasyarakat, jika mendapatkan sesuatu dengan bersusah payah itu nikmatnya luar biasa," kata dia.
Ia menjelaskan, istilah kitab klasik sangat relatif dalam pengertiannya karena ada kitab kuning yang sangat klasik dan ada yang agak klasik. Kitab yang sangat klasik, kata dia, yaitu seperti kitab yang dikarang oleh imam-imam mazhab, seperti Imam mazhab Syafi'i dan sebagainya.
Kitab-kitab kuning yang ditulis pada abad pertengahan Islam juga bisa disebut klasik. Salah satu contohnya, seperti kitab karangannya Imam Nawawi dan ulama-ulama lainnya, "Itu disebut klasik karena lebih dulu daripada karangannya orang-orang sekarang. Klasik atau tidaknya itu dilihat dari zamannya," ucap Kiai Afif.
Untuk tetap melesatarikan kajian-kajian tentang kitab kuning, menurut Kiai Afif, kuncinya harus selalu dibacakan, seperti halnya di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo. "Khazanah untuk mempertahankan kitab kuning ya terus digunakan seperti pondok ini. Kitab yang digunakan di sini adalah kitab yang digunakan 30 tahun yang lalu, jadi tetap terlestarikan," jelas dia.
Secara istilah, kitab kuning merupakan kitab rujukan yang berisi pelajaran agama yang diajarkan di setiap pondok pesantren, baik kitab tentang tauhid, akhlak, tasawuf, tata bahasa Arab, fikih, hadis, dan lain-lain. Di Indonesia, kitab kuning ini dikenal juga dengan kitab gundul karena memang tidak memiliki harakat. Untuk bisa membaca kitab kuning, para santri harus memahami arti kalimat per kalimat agar bisa memahami secara menyeluruh.
Pengurus Pondok Modern Darussalam Gontor KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi mengatakan, kitab kuning atau kitab turats merupakan kitab klasik yang dikarang sebagai rujukan, dasar, dan sebagai pembanding dengan ilmu-ilmu atau teori baru. "Kitab turats masih penting untuk dipelajari sebagai rujukan. Tapi, bertumpu kepada kitab klasik saja rasanya kurang afdhal," kata kiai yang pernah menjadi pengasuh di Pondok Putri Pesantren Modern di Gontor tersebut.
Dekan Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor tersebut mengatakan, banyak cara yang dapat digunakan untuk mempelajari ilmu agama dalam kitab turats tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan di Pesantren Gontor, kata dia, pesantren tidak lagi hanya membaca kitab, tapi juga memakai slide, sehingga para santri bisa melihat langsung materi yang diajarkan.
"Melalui slide tersebut, kiai bisa menerangkan dengan lebih praktis," kata dia.
Selain itu, isi materi dalam kitab kuning seyogianya juga bisa diterangkan untuk menjawab perkembangan zaman. Lewat kegiatan bahtsul masail yang notabene menggunakan kitab turats, para santri harus dibimbing juga oleh para kiai dengan kitab-kitab yang baru. "Dalam diskusi bahtsul masail, bukan bertumpu pada kitab turats itu saja. Tapi, bahtsul masail yang ini tentunya untuk tingkat atas yang diikuti kiai atau ustadz senior," jelas dia.
Menurut dia, kitab turats tidak hanya harus dipelajari oleh pesantren-pesantren salaf, tapi juga harus tetap diajarkan di pesantren-pesantren modern, meskipun dengan metode berbeda. "Di Gontor juga diajarkan. Tapi, kalau di pesantren-pesantren modern para santri diajarkan bahasa Arab dulu, kemudian baru diajarkan kitab-kitab tersebut dengan bimbingan kiai," kata dia.
Menurut dia, dalam mengajarkan kitab turats antara pesantren dulu dan sekarang berbeda. Jika dulu, pesantren langsung mengajarkan kaidah gramatikal kitab turats. Saat ini, kata dia, dilatih penguasaan bahasa Arab terlebih dahulu baru setelah itu santri diperkenankan untuk membaca kitab tersebut, tentunya dengan bimibingan seorang kiai.
Menurut dia, kitab-kitab digital atau pun kitab terjemahan yang muncul saat ini adalah bukan suatu ancaman bagi eksistensi kitab kuning. "Kitab digital atau terjemahan itu bisa melengkapi adanya kitab kuning," ucap dia.
Kendati demikian, kitab-kitab terjemahan perlu mendapat perhatian. Salah satunya, kitab terjemahan tersebut bisa mengurangi semangat belajar bahasa Arab. Apalagi, kata dia, terjemahan tersebut belum tentu mewakili selera, rasa, seni yang ada dalam kitab turats. "Terjemahan itu, bisa jadi belum mewakili selera rasa seni yang ada dalam bahasa Arab," ujar dia.
Menurut dia, kitab turats masih penting untuk digunakan oleh seorang peneliti, mahasiswa, dan sekolah Islam, sehingga mereka juga bisa menetahui cara berpikir orang-orang terdahulu melalui kitab tersebut. Apalagi, kitab turats saat ini tidak hanya dikaji oleh orang Muslim saja, tapi juga oleh orientalis.
"Intinya sekarang, bukan sekadar mempelajari atau membaca kitab turats, tapi yang penting adalah bagaimana agar mampu menjawab orientalis juga yang sengaja mengawurkan pemahaman umat Islam," jelas dia. (Hafidz Muftisany/Rep)
COMMENTS