Oleh: Ahmad Karomi* Kebanyakan, kalau tidak mengatakan seluruh jamaah haji ketika pulang ke tanah air, "mengkopyah putihkan"...
Oleh: Ahmad Karomi*
Kebanyakan, kalau tidak mengatakan seluruh jamaah haji ketika pulang ke tanah air, "mengkopyah putihkan" kepala yang sebelumnya "kopyah hitam" bahkan "gundulan".
Seperti yang tertulis dalam buku keajaiban haji kisah perjalanan Haji seorang Kiai D. Zawawi Imron bahwa suatu saat beliau berjalan di Masjidil Haram. Tiba-tiba disapa rombongan jamaah berkulit hitam. "Assalamualaikum Indonesia," Kiai Zawawi Imron pun menjawab "Waalaikum salam warahmatullah wabarokatuh."
Selanjutnya, Kiai Zawawi
ganti bertanya dari mana mereka berasal. Salah seorang yang mewakili menjawab: Nigeria.
Setelah dirasa cukup bertegur sapa, Zawawi berlalu sambil berpikir, mengapa bisa mereka mengetahui kalau dirinya
berasal dari Indonesia? Selidik punya selidik, ternyata dari kopyah hitam yang dikenakan.
Ya, kopyah hitam
menjadi ikon, identitas diri bahwa yang bersangkutan berasal dari Indonesia.
Tengoklah poster Bung Karno, Bung Hatta, KH. Agus Salim seakan enggan melepas kopyah
hitam dalam acara kenegaraan.
Namun, kisah ini bukanlah bermaksud melakukan generalisasi, bahwa tanpa kopyah hitam kita tak dikenal. Para ulama kita semisal KH M Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, juga KH Bisri Syansuri, hingga Kiai Ihsan Jampes, dikenal dunia bukan karena kopyah hitam yang dikenakan. Akan tetapi para tokoh tersebut lebih dipahami dari pemikiran dalam mewarnai jagat Nusantara, bahkan dunia.
Lain lagi peristiwa yang pernah saya alami ketika sowan kepada almaghfurlah Abah Thayib Krian. Beliau mengharuskan siapapun yang sudah haji menggunakan kopyah kaji atau kopyah putih. Mengapa yang bersangkutan memberikan “aturan” ini. Haji adalah ibadah lahir batin yang ditopang oleh persiapan matang jiwa raga. Sangat tidak etis jika seorang yang pernah haji tidak ngajeni kajine dewe (menghormati kehajiannya sendiri). Minimal dimulai dari membenahi kopyah menjadi putih.
Namun, kisah ini bukanlah bermaksud melakukan generalisasi, bahwa tanpa kopyah hitam kita tak dikenal. Para ulama kita semisal KH M Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, juga KH Bisri Syansuri, hingga Kiai Ihsan Jampes, dikenal dunia bukan karena kopyah hitam yang dikenakan. Akan tetapi para tokoh tersebut lebih dipahami dari pemikiran dalam mewarnai jagat Nusantara, bahkan dunia.
Lain lagi peristiwa yang pernah saya alami ketika sowan kepada almaghfurlah Abah Thayib Krian. Beliau mengharuskan siapapun yang sudah haji menggunakan kopyah kaji atau kopyah putih. Mengapa yang bersangkutan memberikan “aturan” ini. Haji adalah ibadah lahir batin yang ditopang oleh persiapan matang jiwa raga. Sangat tidak etis jika seorang yang pernah haji tidak ngajeni kajine dewe (menghormati kehajiannya sendiri). Minimal dimulai dari membenahi kopyah menjadi putih.
Filosofinya adalah menyucikan isi kepala dari kotoran sehingga
putih bersih serta sebagai pengingat bahwa haji adalah orang pilihan. Dikatakan
pilihan, sebab, banyak orang kaya raya yang kurang beruntung, tidak dipilih
Allah untuk melaksanakan haji. Bahkan konon biduanita kondang Ummi Kultsum saja
yang sangat mampu secara finansial serta jarak yang dekat (Mesir-Makkah) selama
hidupnya tidak dipilih Allah untuk berhaji.
Lantas mengapa kopyah putih menjadi semacam simbol "istimewa dan pilihan" bagi mereka yang telah melaksanakan haji? Sekedar menganalogkan saja, Ketika saya mondok di Ploso, kopyah putih hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah hafal bait Alfiyyah. Sebab menghafalkan seribu nadham tersebut ibarat naik haji yang identik berkorban jiwa raga, karunia, dan tentu saja santri pilihan. Menghafal Alfiyah pun begitu, hanya santri pilihan yang penuh pengorbanan dan komitmen takkan berpaling kepada lainnya. Seakan seluruh perhatian hanya untuk menghafal Alfiyah semata. Dan kelas ini pun hanya diisi orang istimewa dan pilihan.
Oleh karena itu, haji adalah sebuah karunia dan pilihan, sedangkan kopyah adalah simbol. Sehingga kopyah apapun yang dipakai seseorang yang pernah haji, bukanlah tolok ukur bersih dan sucinya pikiran. Akan tetapi sebagai pengingat dan sarana melakukan kontrol kepada para mereka yang bisa haji.
Lantas mengapa kopyah putih menjadi semacam simbol "istimewa dan pilihan" bagi mereka yang telah melaksanakan haji? Sekedar menganalogkan saja, Ketika saya mondok di Ploso, kopyah putih hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah hafal bait Alfiyyah. Sebab menghafalkan seribu nadham tersebut ibarat naik haji yang identik berkorban jiwa raga, karunia, dan tentu saja santri pilihan. Menghafal Alfiyah pun begitu, hanya santri pilihan yang penuh pengorbanan dan komitmen takkan berpaling kepada lainnya. Seakan seluruh perhatian hanya untuk menghafal Alfiyah semata. Dan kelas ini pun hanya diisi orang istimewa dan pilihan.
Oleh karena itu, haji adalah sebuah karunia dan pilihan, sedangkan kopyah adalah simbol. Sehingga kopyah apapun yang dipakai seseorang yang pernah haji, bukanlah tolok ukur bersih dan sucinya pikiran. Akan tetapi sebagai pengingat dan sarana melakukan kontrol kepada para mereka yang bisa haji.
Sehingga tidak heran
bilamana kopyah putih diartikan sebagai sikap berusaha menjaga kebersihan,
kesucian, dari kotoran yang hinggap dan mengganggu stabilitas ubudiyah. Semoga
yang menunaikan ibadah haji, menjadi insan mabrur. Wallahu a'lam.
*Alumni Pesantren Alfalah Ploso Kediri. Pengajar Staiba Purwoasri, serta anggota LTN PWNU Jatim.
*Alumni Pesantren Alfalah Ploso Kediri. Pengajar Staiba Purwoasri, serta anggota LTN PWNU Jatim.
COMMENTS