Jombang -- Siapa sangka, siswa yang awalnya tidak mengenal pelajaran agama akhirnya mampu menjadi juara pertama saat wisuda. Lewat usah...
Jombang -- Siapa sangka, siswa yang awalnya tidak mengenal
pelajaran agama akhirnya mampu menjadi juara pertama saat wisuda. Lewat usaha
tak kenal lelah, ketertinggalan tersebut mampu dikejar sehingga menjadi cerita
indah.
Setidaknya itulah yang bisa dipetik dari perjalanan
Hijrian Angga Prihantoro. Ya, Angga, sapaan akrabnya pertama kali menginjakkan
kaki di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur tidak
memiliki bekal pengetahuan agama yang cukup. “Saya seolah tersesat,” candanya saat
memberi motivasi kepada para siswa dan siswi Madrasah Aliyah Unggulan Wahab Hasbulloh
(MAU WH) di aula madrasah setempat,
Selasa (6/9/2016) siang.
Betapa tidak? Lajang kelahiran 29 Juni 1990 ini
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres, kemudian SMP 5 yang keduanya di
Manokwari, Papua Barat. “Saya hanya menerima materi pelajaran agama Islam dua
jam dalam seminggu,” akunya.
Baru kemudian Angga mendapatkan dorongan serta
tawaran untuk melanjutkan studi menengah atas di MAU WH. “Kala itu namanya
masih MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan, red),” kenangnya. Karena itu sangat
beralasan kalau Angga menyatakan bahwa untuk urusan pelajaran agama, dirinya
berangkat dari nol.
Sehingga “masalah” harus dihadapinya saat awal masuk
madrasah ini. Betapa tidak, ia termasuk siswa yang paling tertinggal, dari
sekian temannya. “Kejutan” pertama yang harus dihadapi adalah saat dikenalkan
dengan kata ganti dalam tata bahasa Arab.
“Biasanya penulisan Arab kan dari kanan ke kiri,”
katanya di hadapan para guru dan ratusan siswa dan siswi yang memadati aula.
Nah, ketika sampai kepada “huwa huma hum, hiya huma hunna” dan seterusnya,
dirinya merasa heran dengan pola penulisan kalimat tersebut. “Bagaimana mungkin
penulisan Arab dan cara membacanya kok dari atas ke bawah,” katanya disambut
tawa hadirin.
Kejutan-kejutan berikutnya terlampau banyak, dan membuat dirinya
semakin menyadari kalau sebagai “makhluk asing” di madrasah.
Mengejar
Ketinggalan
Namun tekad membahagiakan orang tua yang akhirnya
melecut semangat Angga kala itu. Sadar dengan ketinggalan yang dimiliki,
akhirnya ia bertekad untuk bisa mengejar dan mampu sejajar dengan siswa
sebayanya. Karena itu berbagai cara ekstra dilakukan.
Sasaran pertama adalah para guru atau ustadz. “Saat
hendak pulang sekolah, bahkan ketika guru sudah di atas motor, saya sempatkan
untuk menanyakan pelajaran,” akunya. Kala itu Angga tidak terlalu memikirkan
bagaimana perasaan para ustadz yang dicegat untuk kembali ke kelas demi
menerangkan pelajaran yang tidak dikuasainya. “Saya sadar bahwa kala itu
dikatakan su’ul adzab lantaran mencegah
kepulangan para ustadz,” kenangnya.
Demikian pula Angga tak akan pernah sungkan mengetok
kediaman salah seorang guru ketika menemukan kesulitan dalam memahami
pelajaran. “Bahkan walau saat itu tengah malam,” kisahnya. Baginya, cara
seperti itulah yang harus dilakukan agar bisa mengejar penguasaan materi
keagamaan yang dirasanya jauh tertinggal.
Usaha lebih keras juga dilakukan dalam penguasaan
kosa kata Arab. “Kalau saat itu kawan-kawan sebaya setoran mufradat setiap hari hanya lima, saya paksa sampai lima belas,”
terangnya. Untuk menunjang penguasaan tersebut, Angga senantiasa mencatat kosa
kata baru yang tidak dikenal sebelumnya. “Ketika membaca kitab, saya tidak akan
pindah halaman kalau belum membuasai seluruh kosa kata yang ada,” sergahnya.
Man
jadda wajada. Kalimat ini rasanya sangat pantas
disematkan kepada kegigihan Angga. Setelah melakukan proses adaptasi sekaligus
mengejar kekurangan yang dimiliki, hasilnya pun mulai dirasakan. “Ketika akhir kelas
satu, saya sudah mampu menjadi juara ketiga,” katanya disambut tepuk tangan
hadirin. Demikian pula saat kelas dua, mampu menjadi terbaik kedua, lajutnya.
Puncaknya adalah saat wisuda purna siswa yang
diselenggarakan di salah satu hotel di Jombang. Kala itu kedua orang tuanya
dari Papua Barat hadir untuk menyaksikan kelulusan sang buah hati. “Mereka
beberapa hari menempuh perjalanan ke Jombang dengan naik kapal laut,”
ungkapnya. Dan ketika mengikuti prosesi wisuda tidak ada dalam pikirannya bisa
berprestasi. Lulus saja sudah mending, begitu selorohnya kala itu.
Dan satu demi satu, nama peraih siswa terbaik
diumumkan. Dimulai dari juara ketiga yang kemudian dilanjutkan juara kedua. “Ketika
disebutkan siapa juara pertama, saya sedang berbincang dengan kawan sebelah,”
katanya. Dengan demikian, saat banyak mata tertuju kepadanya, Angga sedikit
terkejut. Dan beberapa kawan akhirnya juga meyakinkan bahwa peraih juara
pertama adalah dirinya. Subhanallah.
Merantau
ke Mesir
Usai menamatkan studi di MAU WH, pilihan selanjutnya
adalah Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Kepergian ke kampus tertua sejagat
tersebut juga dengan sejumlah pertimbangan. “Karena kala itu sudah ada alumnus
MAU WH yang kuliah di sana,” katanya.
Setelah dinyatakan lulus seleksi, Angga berangkat ke
Mesir dengan biaya sendiri. “Karena kalau lewat jalur beasiswa, seleksinya
lumayan ketat dan baru dapat mengikuti kuliah pada tahun berikutnya,”
ungkapnya. Toh ternyata kesempatan
memperoleh beasiswa justru lebih mudah ketika sudah menjadi mahasiswa,
lanjutnya.
Suasana keilmuan dan tradisi belajar di Mesir sangat
disukai Angga. “Di sana kita disarankan membaca buku atau literatur apa saja,”
terangnya. Para dosen atau syaikh Al-Azhar mempersilakan mahasiswa membaca buku
karangan para pembenci Islam dari Barat atau orientalis. “Bahkan buku karangan
mereka yang tidak beragama sekalipun, dipersilakan untuk dibaca,” tegasnya.
Dalam pandangan sejumlah dosen di sana, kalau ada
yang salah dari pemikiran dan pemahaman keagamaan akibat membaca buku, maka
suatu saat akan ada yang mengingatkan. “Bisa dari buku, atau juga teman maupun
dosen,” terangnya. Karena itu, buku adalah jaminan bagi setiap mahasiswa di
Al-Azhar untuk mendapatkan pencerahan.
Peran para senior juga sangat membantu bagi siapa
saja yang tengah menempuh studi di Al-Azhar, termasuk dirinya. “Merekalah yang
selalu mengingatkan untuk semangat dalam belajar,” kenangnya. Demikian pula
para kakak yang memberikan sejumlah cara bagaimana bisa sukses di kampus
tersebut, termasuk dengan memperoleh beasiswa.
Diakui Angga, kesempatan memperoleh pembiayaan
gratis selama kuliah sangatlah terbuka lebar. “Pesaing kita hanya sesama teman
dari Indonesia dan Afrika,” akunya. Sedangkan mahasiswa dari negara lain
seperti Malaysia tidak tertarik mendapatkan beasiswa lantaran telah ditanggung
oleh negara setempat.
Sejak semester kedua, dia telah menerima beasiswa
dari kampus tersebut. “Dengan beasiswa itu pula saya bisa makan dan tinggal di
asrama secara gratis,” katanya. Demikian pula ada sejumlah uang yang
diterimanya secara rutin. Bahkan setiap tahun ada jatah tiket pulang kampung.
Bagaimana bisa terus mendapatkan kemudahan tersebut?
“Prestasi akademiknya harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan,” sarannya.
Karena dengan demikian, bantuan pendidikan dan berbagai kemudahan saat berada
di Al-Azhar akan diterima secara rutin.
Dan akhirnya Angga mampu merampungkan studi strata
satu di Fakultas Hukum Islam sesuai jadwal. “Meskipun tidak menjadi salah
seorang sarjana terbaik, namun saya masih punya kebanggaan,” akunya. Apa itu?
Ya karena saat itu Angga adalah sarjana termuda dari yang diwisuda. “Harusnya
disediakan pula penghargaan untuk wisudawan termuda,” candanya.
Dan berikutnya, ia mencoba keberuntungan dengan
melanjutkan program magister di kampus yang sama. Akan tetapi ada aturan yang
berbeda bagi para mahasiswa strata dua di Al-Azhar. “Yang boleh lanjut ke
perkuliahan berikutnya hanya mahasiswa yang berhasil lulus di seluruh mata
kuliah,” katanya. Kalau ada satu saja yang gagal, maka yang bersangkutan harus
mengulangi seluruh mata kuliah pada tahun berikutnya.
Hal tersebut diperparah dengan kondisi Mesir yang
kala itu tengah bergolak. “Saat saya menempuh program strata dua, di Mesir sedang
terjadi revolusi Iran,” terangnya. Sehingga jadwal kuliah dan ujian juga
mengalami perubahan seiring kondisi politik yang tengah kacau.
Merasa suasana kian tidak menentu, akhirnya ia
memutuskan untuk tidak merampungkan studi program magister di kampus legendaris
tersebut. “Pilihan saya adalah ke Yordania,” katanya. Namun Angga menyempatkan
untuk pamit secara baik kepada sejumlah dosen dan pimpinan kampus. “Disampaikanlah
sejumlah alasan yang akhirnya membuat saya harus mengambil keputusan untuk
keluar dari Universitas Al-Azhar,” terangnya.
Dengan semangat studi yang terus berkobar, Angga
mampu menyelesaikan magister perbandingan hukum di The World Islamic Sciences
and Education University (WISE) Amman Yordania sesuai jadwal. “Seluruh biaya
kuliah dan hidup di Yordania saya dapatkan dari beasiswa,” bangganya.
Di usianya sekarang, semangat belajarnya tidak
pernah surut. Pengalaman saat di MAU WH menginspirasinya untuk menuntaskan
kuliah hingga program doktor. Pilihannya adalah di kampus putih Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta.
Di penghujung cerita, Angga terus memberikan
semangat kepada para siswa dan siswi untuk menjadikan masa belajar saat secara
baik. Memang harus diakui, saat usia menginjak remaja akan menemukan sejumlah
problematika hidup. Kesulitan biaya, terbatasnya perhatian orang tua, masalah
dari teman sejawat, problem di sekolah dan pesantren dan sejenisnya. Itu pula
yang kadang membuat malas belajar. “Boleh malas belajar, tapi ada waktunya,”
katanya.
Seorang Angga yang “muallaf” dalam pengetahuan agama
saja mampu membuktikan dengan kemampuan bersaing dan mengungguli teman sejawat.
Hal tersebut tentu menjadi pengingat bagi mereka yang mengaku minim dalam
penguasaan pelajaran. Senyampang ada kemauan, maka pada saat itu pula akan
terbuka jalan.
Bukankah para muallif di sejumlah kitab kuning telah
mengingatkan: “Barangsiapa yang dikehendaki baik, maka Allah akan memberikan
kemudahan dalam memahami agama.” Saatnya belajar kepada Angga, untuk menjadi
kebanggaan diri, bagi keluarga dan madrasah dengan menebarkan manfaat kepada
agama, nusa dan bangsa. (saiful)
COMMENTS