Oleh: Mukhammad Kaiyis* Tidak biasanya, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berjalan menuju masjid dengan langkah lunglai. Saat itu, Umar bin Kh...
Oleh: Mukhammad Kaiyis*
Tidak biasanya, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berjalan menuju masjid dengan langkah lunglai. Saat itu, Umar bin Khatthab memergokinya di tengah jalan, dan bertanya:
“Wahai Abu Bakar, mengapa engkau keluar rumah pada saat seperti ini? Ini tidak biasanya,” sapa Umar bin Khatthab.
“Ya! Saya ke luar rumah karena perutku sangat lapar,” jawab Abu Bakar blak-blakan.
Mendengar jawaban ini, Umar r.a pun terkaget-kaget. Mengapa? Karena, sama, dirinya ke luar rumah juga lantaran lapar.
“Demi Allah SWT. saya juga demikian. Saya ke luar rumah juga karena lapar,” jelasnya.
Masih di tengah jalan itu, tiba-tiba Baginda Rasulullah SAW datang, dan menghampirinya. Nabi pun bertanya:
“Apa yang membuat kalian berdua ke luar rumah pada saat seperti ini?” demikian Rasulullah SAW.
“Demi Allah SWT. ya Rasulullah! Kami berdua keluar rumah karena perut kami sangat lapar,” jawab Abu Bakar.
Mendengar jawaban ini, Nabi pun tersenyum. “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, aku pun sama seperti kalian. Aku ke luar rumah juga karena lapar,” jelas Nabi.
Lalu, Baginda Rasul mengajak keduanya menuju rumah Abu Ayyub Al-Anshari r.a. Para sahabat mafhum, bahwa, Abu Ayyub Al-Anshari r.a adalah lelaki yang sering mengirim makanan kepada Nabi SAW.Belum sempat mengucap salam, tiba-tiba Ummul Ayyub sudah menyapa.
“Marhaban ya Nabiyyalllah! Selamat datang Wahai Rasulullah beserta orang-orang yang menyertainya,” Ummul Ayyub mempersilakan masuk.
“Terima kasih! Mana Abu Ayyub,” tanya baginda Nabi.
Saat itu, Abu Ayyub tengah mengecek tanaman kurmanya, tak jauh dari rumah.Mendengar panggilan ada tamu Rasulullah, ia bergegas pulang dan menghampiri Baginda Nabi.
“Ya Rasul! Tidak biasanya engkau datang dalam waktu seperti ini. Ada apakah wahai utusan Allah?” tanya Abu Ayyub.
“Engkau benar,” jawab Nabi.
Dan... “Ya, saya paham. Engkau beserta Abu Bakar dan Umar kelihatan letih, haus dan lapar,” begitu Abu Ayyub dan langsung menuju kebun kurmanya.
Mendengar ini, Ummul Ayyub begitu terkagum. Orang-orang besar, pemimpin umat ini rela lapar, sementara mereka justru gundah ketika mendengar rakyatnya yang lapar. Mereka begitu perhatian terhadap nasib ummatnya, sampai-sampai lupa terhadap nasibnya sendiri. Dalam hal kenikmatan dunia, mereka selalu mendahulukan umatnya, tidak sibuk mendahulukan dirinya.
Saking tergesa-gesanya, Abu Ayyub memotong dahan kurma berikut buahnya. Melihat ini, Baginda Nabi mengingatkannya.
“Abu Ayyub! Saya tidak ingin engkau memotong dahan ini. Engkau cukup mengambil beberapa buah kurma yang sudah masak untuk kami bertiga,” jelas Nabi.
“Wahai Rasul SAW. saya sesungguhnya lebih suka engkau, sahabat Umar dan Abu Bakar bisa menikmati buah kurma sesuka hati, baik yang sudah matang atau yang masih agak muda (istilah jamuan sekarang, prasmanan),” kata Abu Ayyub sembari menyiapkan sembelihan kambing untuk tamu agungnya.
Lalu? Setelah semua masak, Baginda Nabi mengambil sepotong daging yang tersaji dan ditaruh di atas roti. Beliau bercerita, bahwa, Fatimah yang sedang di rumah juga dalam kondisi lapar, beberapa hari belum makan. Mendengar itu, Abu Ayyub langsung bergegas menuju kediaman Baginda Rasul. Inilah potret pemimpin yang tidak sibuk mengenyangkan dan menyenangkan diri sendiri. Subhanallah!
***
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang hanya memerintah selama 29 bulan dalam abad pertama tahun hijriah, ia berhasil menorehkan sejarah besar umat Islam. Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah adil, selalu mengutamakan rakyatnya terutama yang miskin, sampai-sampai petugas baitul mal kesulitan mendata warganya yang miskin.
Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz memasuki ruang kerjanya, dan hatinya tidak bisa tenang setelah melihat hamparan permadani mewah dan kain-kain penutup yang begitu mahal, sekedar untuk menghormati jalannya sang khalifah. Tradisi ini memang terus temurun, sekarang kita kenal dengan karpet merah, untuk menyambut pejabat besar. Bahkan, tidak sedikit dekorasi-dekorasi mahal yang dibentang dengan menghabiskan duit rakyat, hanya sekedar untuk menjamin rasa nyaman pejabat.
Umar bin Abdul Aziz, tidak mau itu.
“Gulung semua. Barang-barang ini dibeli dari uang rakyat. Lelang, dan kembalikan uangnya ke Baitul Mal,” begitu saran Umar bin Abdul Aziz kepada bawahannya. Baru setelah itu, ia nyaman bekerja.
Pernah! Ketika ia ingin beristirahat, karena semalam tidak sempat tidur, tiba-tiba putranya yang bernama Abdul Malik menghampirinya.
“Ya Amirul Mukminin, apa yang hendak engkau perbuat,” tanya Abdul Malik.
Karuan Umar bin Abdul Aziz kaget. Tidak biasanya putranya ini memanggilnya dengan panggilan ya amirul mukminin.
“Wahai putraku, aku ingin istirahat sejenak. Bukankah engkau tahu, bahwa, semalam aku tidak bisa tidur karena sibuk dengan urusan pamanmu, Sulaiman,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
“Istirahat! Lalu kapan mengembalikan amanat kepada pemiliknya, rakyat!” tanyanya.
“Ya! Nanti ba’da dzuhur aku akan kembalikan hak-hak rakyat,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
Abdul Malik menunjukkan muka kecut.
“Ya Amirul mukminin! Siapa yang menjamin engkau hidup sampai ba’da dzuhur?” tanyanya.
Mendengar ini khalifah Umar bin Abdul Aziz meneteskan air mata. Ia menghampiri putranya dan memeluk rapat.
“Subhanallah! Mendekatlah putraku, aku harus bersyukur karena Allah SWT telah mengeluarkan dari tulang punggungku seorang putra yang membantuku dalam urusan agama. Anda benar,” demikian Umar bin Abdul Aziz seraya bangkit keluar rumah dan menyampaikan kepada siapa saja (rakyatnya) yang merasa didholimi, hendaknya ia lapor.
Tidak lama, datanglah seorang berambut dan berjenggot putih dari kalangan ahli dhimah, dari kota Himsh. Dia mengadu soal tanahnya yang dicaplok Al-Abbas bin Al-Walid yang notabene pejabat pemerintah alias bawahannya sendiri.
Abbas pun dipanggil. “Benar Anda telah mencaplok tanah dia?” tanya sang khalifah.
Abbas pun gelagapan, dan bercerita apa adanya. “Tidak! Tapi ada yang menghadiahkan kepadaku dan mendaftarkan atas namaku,” jawabnya.
Spontan khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar tanah itu dikembalikan, karena pemilik aslinya adalah lelaki tua yang hidupnya pas-pasan. Sikap pemimpin seperti inilah yang layak dijadikan cermin para pejabat, jika mereka menginginkan kehidupan akhirat kelak bisa nyaman, karena Allah SWT. pasti meminta pertanggungjawaban. Bukankah begitu? Waallahu’alam bish-shawab. (*)
*Direktur Utama PT Duta Masyarakat Online
Tidak biasanya, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berjalan menuju masjid dengan langkah lunglai. Saat itu, Umar bin Khatthab memergokinya di tengah jalan, dan bertanya:
“Wahai Abu Bakar, mengapa engkau keluar rumah pada saat seperti ini? Ini tidak biasanya,” sapa Umar bin Khatthab.
“Ya! Saya ke luar rumah karena perutku sangat lapar,” jawab Abu Bakar blak-blakan.
Mendengar jawaban ini, Umar r.a pun terkaget-kaget. Mengapa? Karena, sama, dirinya ke luar rumah juga lantaran lapar.
“Demi Allah SWT. saya juga demikian. Saya ke luar rumah juga karena lapar,” jelasnya.
Masih di tengah jalan itu, tiba-tiba Baginda Rasulullah SAW datang, dan menghampirinya. Nabi pun bertanya:
“Apa yang membuat kalian berdua ke luar rumah pada saat seperti ini?” demikian Rasulullah SAW.
“Demi Allah SWT. ya Rasulullah! Kami berdua keluar rumah karena perut kami sangat lapar,” jawab Abu Bakar.
Mendengar jawaban ini, Nabi pun tersenyum. “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, aku pun sama seperti kalian. Aku ke luar rumah juga karena lapar,” jelas Nabi.
Lalu, Baginda Rasul mengajak keduanya menuju rumah Abu Ayyub Al-Anshari r.a. Para sahabat mafhum, bahwa, Abu Ayyub Al-Anshari r.a adalah lelaki yang sering mengirim makanan kepada Nabi SAW.Belum sempat mengucap salam, tiba-tiba Ummul Ayyub sudah menyapa.
“Marhaban ya Nabiyyalllah! Selamat datang Wahai Rasulullah beserta orang-orang yang menyertainya,” Ummul Ayyub mempersilakan masuk.
“Terima kasih! Mana Abu Ayyub,” tanya baginda Nabi.
Saat itu, Abu Ayyub tengah mengecek tanaman kurmanya, tak jauh dari rumah.Mendengar panggilan ada tamu Rasulullah, ia bergegas pulang dan menghampiri Baginda Nabi.
“Ya Rasul! Tidak biasanya engkau datang dalam waktu seperti ini. Ada apakah wahai utusan Allah?” tanya Abu Ayyub.
“Engkau benar,” jawab Nabi.
Dan... “Ya, saya paham. Engkau beserta Abu Bakar dan Umar kelihatan letih, haus dan lapar,” begitu Abu Ayyub dan langsung menuju kebun kurmanya.
Mendengar ini, Ummul Ayyub begitu terkagum. Orang-orang besar, pemimpin umat ini rela lapar, sementara mereka justru gundah ketika mendengar rakyatnya yang lapar. Mereka begitu perhatian terhadap nasib ummatnya, sampai-sampai lupa terhadap nasibnya sendiri. Dalam hal kenikmatan dunia, mereka selalu mendahulukan umatnya, tidak sibuk mendahulukan dirinya.
Saking tergesa-gesanya, Abu Ayyub memotong dahan kurma berikut buahnya. Melihat ini, Baginda Nabi mengingatkannya.
“Abu Ayyub! Saya tidak ingin engkau memotong dahan ini. Engkau cukup mengambil beberapa buah kurma yang sudah masak untuk kami bertiga,” jelas Nabi.
“Wahai Rasul SAW. saya sesungguhnya lebih suka engkau, sahabat Umar dan Abu Bakar bisa menikmati buah kurma sesuka hati, baik yang sudah matang atau yang masih agak muda (istilah jamuan sekarang, prasmanan),” kata Abu Ayyub sembari menyiapkan sembelihan kambing untuk tamu agungnya.
Lalu? Setelah semua masak, Baginda Nabi mengambil sepotong daging yang tersaji dan ditaruh di atas roti. Beliau bercerita, bahwa, Fatimah yang sedang di rumah juga dalam kondisi lapar, beberapa hari belum makan. Mendengar itu, Abu Ayyub langsung bergegas menuju kediaman Baginda Rasul. Inilah potret pemimpin yang tidak sibuk mengenyangkan dan menyenangkan diri sendiri. Subhanallah!
***
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang hanya memerintah selama 29 bulan dalam abad pertama tahun hijriah, ia berhasil menorehkan sejarah besar umat Islam. Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah adil, selalu mengutamakan rakyatnya terutama yang miskin, sampai-sampai petugas baitul mal kesulitan mendata warganya yang miskin.
Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz memasuki ruang kerjanya, dan hatinya tidak bisa tenang setelah melihat hamparan permadani mewah dan kain-kain penutup yang begitu mahal, sekedar untuk menghormati jalannya sang khalifah. Tradisi ini memang terus temurun, sekarang kita kenal dengan karpet merah, untuk menyambut pejabat besar. Bahkan, tidak sedikit dekorasi-dekorasi mahal yang dibentang dengan menghabiskan duit rakyat, hanya sekedar untuk menjamin rasa nyaman pejabat.
Umar bin Abdul Aziz, tidak mau itu.
“Gulung semua. Barang-barang ini dibeli dari uang rakyat. Lelang, dan kembalikan uangnya ke Baitul Mal,” begitu saran Umar bin Abdul Aziz kepada bawahannya. Baru setelah itu, ia nyaman bekerja.
Pernah! Ketika ia ingin beristirahat, karena semalam tidak sempat tidur, tiba-tiba putranya yang bernama Abdul Malik menghampirinya.
“Ya Amirul Mukminin, apa yang hendak engkau perbuat,” tanya Abdul Malik.
Karuan Umar bin Abdul Aziz kaget. Tidak biasanya putranya ini memanggilnya dengan panggilan ya amirul mukminin.
“Wahai putraku, aku ingin istirahat sejenak. Bukankah engkau tahu, bahwa, semalam aku tidak bisa tidur karena sibuk dengan urusan pamanmu, Sulaiman,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
“Istirahat! Lalu kapan mengembalikan amanat kepada pemiliknya, rakyat!” tanyanya.
“Ya! Nanti ba’da dzuhur aku akan kembalikan hak-hak rakyat,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
Abdul Malik menunjukkan muka kecut.
“Ya Amirul mukminin! Siapa yang menjamin engkau hidup sampai ba’da dzuhur?” tanyanya.
Mendengar ini khalifah Umar bin Abdul Aziz meneteskan air mata. Ia menghampiri putranya dan memeluk rapat.
“Subhanallah! Mendekatlah putraku, aku harus bersyukur karena Allah SWT telah mengeluarkan dari tulang punggungku seorang putra yang membantuku dalam urusan agama. Anda benar,” demikian Umar bin Abdul Aziz seraya bangkit keluar rumah dan menyampaikan kepada siapa saja (rakyatnya) yang merasa didholimi, hendaknya ia lapor.
Tidak lama, datanglah seorang berambut dan berjenggot putih dari kalangan ahli dhimah, dari kota Himsh. Dia mengadu soal tanahnya yang dicaplok Al-Abbas bin Al-Walid yang notabene pejabat pemerintah alias bawahannya sendiri.
Abbas pun dipanggil. “Benar Anda telah mencaplok tanah dia?” tanya sang khalifah.
Abbas pun gelagapan, dan bercerita apa adanya. “Tidak! Tapi ada yang menghadiahkan kepadaku dan mendaftarkan atas namaku,” jawabnya.
Spontan khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar tanah itu dikembalikan, karena pemilik aslinya adalah lelaki tua yang hidupnya pas-pasan. Sikap pemimpin seperti inilah yang layak dijadikan cermin para pejabat, jika mereka menginginkan kehidupan akhirat kelak bisa nyaman, karena Allah SWT. pasti meminta pertanggungjawaban. Bukankah begitu? Waallahu’alam bish-shawab. (*)
*Direktur Utama PT Duta Masyarakat Online
COMMENTS