Oleh: M. Noor Harisudin Musim haji telah tiba. Tidak lama lagi, saudara-saudara sesama muslim akan menjalankan rukun Islam yang keli...
Oleh: M. Noor Harisudin
Musim haji telah tiba. Tidak lama lagi, saudara-saudara sesama muslim
akan menjalankan rukun Islam yang kelima
tersebut. Berbagai persiapan baik mental maupun fisik pun dilakukan. Termasuk,
persiapan menyelenggarakan walimatus safar atau walimatul haji sebagai
bentuk tasyakuran haji yang dilakukan sebelum dan sesudah pemberangkatan haji. Juga
berbagai pernik konsumerisme haji yang lain seperti baner selamat datang,
oleh-oleh haji dan sebagainya. Nampaknya, demikian ini juga menjadi satu
kesatuan yang tidak bisa ditinggalkan dalam rangkaian ritual ibadah haji umat
Islam di Indonesia.
Hanya problemnya, di sebagian tempat, konsumerisme haji ini sangat berlebihan.
Yaitu ketika tasyakuran haji baik datang maupun pulangnya dilakukan, dengan menyelenggarakan
perayaan mewah yang disertai biaya yang sangat mahal. Kadangkala tasyakuran
yang berlebihan ini memakan biaya yang tidak sedikit, bahkan seringkali lebih
besar daripada biaya haji itu sendiri. Masalahnya ada pada “berlebih-lebihan” dalam
merayakan tasyakuran haji itu sendiri. Jika calon jama’ah haji hidup dalam
ekonomi yang pas-pasan, maka tasyakuran yang berlebih-lebihan ini tentu sangat
memberatkan bagi mereka.
Sekedar misal, dalam tasyakuran walimatul haji pada ghalibnya menggunakan banyak sound sistem yang mewah dan meriah laiknya pesta pernikahan besar-besaran. Belum lagi dengan balon-balon yang dilepas ke udara yang sesungguhnya tidak memiliki manfaat kecuali kesenangan sesaat. Pesta meriahpun seperti dilombakan dan nampak menjadi saingan dengan sesama calon jama’ah haji yang lain. Di sebagian tempat, secara berlebihan, baner selamat datang haji juga tidak hanya satu lembar. Baner haji dipasang di banyak titik laiknya pilihan Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Kepala Desa saja. Jangan heran, jika banyak sekali baner para jama’ah haji yang dipasang di desa-desa laiknya konstestan dalam pemilihan kepala desa.
Inilah yang saya sebut dengan konsumerisme haji. Sebagai gaya hidup yang boros, konsumerisme ini secara faktual ditopang oleh kehadiran materialisme dan hedonisme. Jika materialisme adalah aliran yang memuja benda dan berfokus pada benda, maka hedonisme adalah sebentuk gaya hidup yang menyandarkan kebahagiaan pada kenikmatan belaka. Dengan demikian, ibadah haji bukan sekedar ibadah mahdlah yang ditempatkan dala hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan sudah mengacu pada konsumerisme, materialisme dan hedonisme. Sehingga dimensi ilahiah ditiadakan, digantikan dimensi duniawiyah yang profan.
Lebih dari itu, ibadah haji menunjukkan status sosial baru. Kelas-kelas orang kaya dipertontonkan dalam gemerlap ibadah haji dengan sejumlah pernik konsumerisme tersebut. Sebagian orang ingin disebut sebagai orang kaya hanya dengan menunjukkan tasyakuran haji secara besar-besaran.
Sebagian lagi ingin disebut kaya-derwaman hanya dengan memberikan oleh-oleh haji yang mewah dan melimpah. Sebagian lagi juga ingin disebut orang kaya-ahli ibadah dengan melakukan haji dan umroh berulang kali, bahkan kalau bisa setiap tahun sekali. Orang ingin disebut kaya-raya hanya dengan banyaknya ziarah haji rombongan jama’ah yang berbondong-bondong ke rumahnya megah, supermewah dan besar sekali.
Inilah pergeseran orientasi jamaah haji yang nampak di masa sekarang. Pergeseran orientasi haji ini terjadi dari yang semula sangat ritualis ansich menjadi konsumeris. Dalam pandangan saya, demikian ini juga akibat gaya hidup materialisme, hedonisme dan konsumerisme yang sudah demikian mencengkeram dalam kehidupan kita. Lihatlah kesuksesan orang yang hanya diukur dengan seberapa banyak melakukan haji dan umroh. Ini dalam lingkup mikro. Dalam spektrum makro, lihatlah kesuksesan orang yang hanya diukur dengan mobil mewah, pangkat dan jabatan tinggi, harta melimpah dan kesuksesan yang berbasis materialisme yang lain.
Sehari-hari, kita melihat orang sukses yang seperti itu dipertontonkan dalam telivisi. Kita melihat mereka diberi ucapan selamat dan sukses di berbagai media cetak. Kita juga mendengar dengan seksama orang sukses bertaburan kemewahan itu dalam radio dan media elektronik yang lain. Juga, kita disuguhi hampir tiap hari di berita online, whats app dan twiter tentang pentingnya materialisme dalam meraih kesuksesan hidup. Buku yang diterbitkan juga secara massal mem-blow up para pengusaha kaya dengan gemerlap materi. Lengkap sudah kampanye materialisme dalam seluruh sendi kehidupan kita.
Lalu, bagaimana agama kita? Dalam konteks Islam, meminjam bahasa ushul fiqh, fenomena haji yang semestinya maslahat dlaruri ditarik menjadi maslahat tahsini. Dlaruri adalah maslahat dasar yang jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kematian atau hilangnya nyawa. Tahsini adalah maslahat tersier yang hanya akan mengurangi keindahan saja jika tidak dilakukan. Wahab Khalaf (1978) menyebut ada maslahat di antara dlaruri dan tahsini yang disebut maslahat haji, yaitu maslahat yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan adanaya kesulitan (masyaqqat). Tiga model maslahat inilah yang menjadi pilar dan menjadi pertimbangan dalam penggalian hukum Islam.
Haji adalah maslahat dlaruri dalam hal kewajiban agama yang harus ditunaikan, sementara tasyakuran adalah maslahat haji yang sekunder yang baik jika dilakukan. Sementara, pendukung acara tasyakuran itu namanya maslahat tahsini. Jika maslahat tahsini ini dilakukan dengan berlebih-lebihan dan malah nampak unsur berfoya-foya, maka yang demikian ini justru dilarang. Apa lalu ukuran berlebih-lebihan ? Itu dikembalikan pada kebiasaan setempat. Sebuah kaidah mengatakan (az-Zuhaili: 1986): “Kullu ma warada bihis syar’u mutlaqan wala dlabita lahu fihi wa la fil lughati yurjau fihi ilal ‘urf”. Setiap sesuatu yang datang dari syara’ secara mutlak dan tidak ada batasannya dalam syara’ dan juga bahasa, maka dikembalikan pada adat kebiasaan.
Adalah kebiasaan (‘urf atau adat istiadat) yang menjadi ukuran berlebihan tidaknya tasyakuran haji itu dilaksanakan. Karena syara’ dan bahasa tidak memberi batasan bagaimana berlebih-lebihan itu dilaksanakan sehingga, dikembalikan pada kebiasaan atau tradisi suatu tempat. Boleh jadi, apa yang dianggap berlebihan di suatu daerah tidak dianggap di daerah lain. Atau demikian sebaliknya: tidak dianggap berlebihan di suatu tempat namun dianggap berlebihan di tempat lain. Ukuran berlebihan menjadi relatif, namun prinsipnya sangat jelas dan gamblang: jangan berlebih-lebihan.
Walhasil, haji adalah ibadah mahdlah yang seharusnya dilakukan. Demikian juga, walimatul haji merupakan hal yang baik yang diajurkan karena Nabi SAW pun melakukan tasyakuran datang haji (HR. Bukhari). Hanya saja, jika dilakukan secara berlebihan, malah mengakibatkan ekses negatif pada masyarakat, maka malah dilarang. Haji yang dilakukan dengan tasyakuran apa adanya secara tidak berlebihan, itulah yang diajarkan agama kita. Karena Islam mengajarkan untuk hidup sederhana serta tidak menghamba pada konsumerisme, materialisme dan hedonisme.
Wallahu’alam.
M. Noor Harisudin adalah dosen
Pascasarjana IAIN Jember, Pengurus MUI Jember, Katib Syuriyah PCNU
Jember dan Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur.
COMMENTS