Oleh Ahmad Maruv Salim Mbah Manab adalah kiai sepuh yang sederhana, murah senyum dan sangat tawadlu’. Sebetulnya nama asli beliau ada...
Oleh Ahmad Maruv Salim
Mbah Manab adalah kiai sepuh yang sederhana, murah senyum
dan sangat tawadlu’. Sebetulnya nama asli beliau adalah Abdul Karim bin Fanani,
syibeh dengan pendiri Pondok Lirboyo sehingga beliau lebih dikenal dengan nama
Mbah Manab. Pesantrennya terletak di sebuah dusun bernama Petuk di Kabupaten
Kediri, namun jumlah kumpulan santrinya yang paling banyak adalah berasal dari
Sumenep.
Adalah Obet -sebut saja namanya begitu-, santri baru dari
Sumenep. Di awal-awal mondoknya, dia banyak mendengar cerita tentang kemuliaan
Mbah Manab dan beberapa keutamaannya. Rupanya santri ini kurang begitu percaya
terhadap cerita teman-temannya tersebut. Hingga pada suatu hari dia
merencanakan sesuatu.
Mungkin yang terbesit di benak Obet saat itu adalah sebuah
penggalan syair “Alaa laa tanaalul ‘ilma illa bi sittatin… –ilaa an qool- wa
irsyadi ustadzi .” (Ingatlah, kau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan
enam hal… -sampai pada- dan kecerdasan/kehebatan guru)
Dasar santri ini termasuk jajaran santri mbeling , dia
merencanakan sesuatu yang gila untuk menguji Kiai Manab. Seusai shalat jamaah
di masjid, dia naik ke atas atap beranda masjid yang kebetulan bangunannya
menempel dengan lantai dua gotha’an pondok.
Usai wiridan di masjid, Kiai Manab miyos (keluar) dari
masjid dan berjalan menuju ndalem. Jarak antara masjid dan ndalem beliau kurang
lebih 50 meter, cukup jauh untuk bisa mendengar suara kethiplak bakiak yang
selalu Mbah Manab pakai.
Di saat beliau hampir sampai di depan pintu ndalem, Obet
yang sudah stand by di atap masjid berdiri seraya mengacungkan jari telunjuknya
pada Mbah Manab. Dia berbisik lirih “Mun ajunan neka keaeh weli, atoleh ka
engkok!” (Kalau njenengan ini benar-benar kiai yang wali, menengoklah padaku!).
Sekejap itu juga Mbah Manab menoleh kepadanya. Tak ayal,
Obet pun lari tunggang langgang dari atap masjid ingin bersembunyi, untung saja
tak jatuh saking gugupnya dia oleh tengokan kiai. Semenjak itu, Obet tak berani
lagi aneh-aneh pada Kiai Manab. Saat menghadap pun, dia selalu menunduk tidak
berani mengangkat mukanya.
Mungkin, pada saat Mbah Manab menoleh kepada santri
mbelingnya ketika mendengar bisikannya dari jarak jauh itu, beliau berkata
dalam hati, “Sopo iki santri kurang ajar munggah mesjid barang.”
Dan malam ini, Kamis (18/8/2016) kita mendengar kabar bahwa beliau wafat.
Innalillahi wainna ilahi rajiun. Satu demi satu para “paku bumI” dipanggil ke
hadirat-Nya. Semoga masih disisakan kiai mukhlish, membimbing umat dengan
telaten, serta teguh dalam memegang prinsip.
Pernah dimuat di Terong Gosong, 2 April 2011 pukul 17:23
COMMENTS