Oleh Ahmad Karomi* Sumbangsih para kiai dan ulama dalam memerangi penjajah demikian nyata. Namun dengan sifat rendah hati yang dimili...
Oleh Ahmad Karomi*
Sumbangsih para kiai dan ulama dalam memerangi
penjajah demikian nyata. Namun dengan sifat rendah hati yang dimiliki, kiprah
tersebut sengaja disimpan, ditanam sangat dalam, sehingga tidak banyak yang
mengetahui. Tugas generasi muda saat ini adalah menguak peran mereka ke
permukaan.
Di antara tokoh yang sumbangsihnya tidak tercatat
dalam sejarah adalah KH Manshur. Beliau adalah Kiai Pucung bin Kiai Abu Manshur
(KiaiThoya) dan merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara. Terlahir kira-kira
tahun 1881, dan wafat 1964.
Dalam banyak keterangan, Kiai Manshur adalah teman
KH Bisri Syansuri (Denanyar) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas) ketika
nyantri ke mahaguru para kiai, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. Juga sebagai
sahabat dekat dari Mbah Fattah Mangunsari ketika nyantri di Mbah Zainudin Mojosari
Nganjuk. Beliau saudara ipar MbahAbd Karim, Mbah Ma'ruf Kedunglo dan Kiai Dahlan
Jampes yang sama-sama menjadi menantu Mbah Soleh Banjar Mlati.
Kiprah KH Manshur dalam perjuangan kemerdekaan cukup
memiliki peran penting, Bahkan yang bersangkutan diberi tugas khusus oleh KH M Hasyim
Asyari untuk menggembleng / sekaligus “mengisi” pejuang untuk zona Blitar dan sekitarnya. Di antara santri Kiai Manshur yang dikenal masyarakt
adalah Gus Maksum dan Kiai Idris Lirboyo yang masih terhitung cucu dari jalur istri.
Tak mengherankan jika ijazah Dalail Khairat keduanya memang diambil sanad pada
Kiai Manshur Kalipucung Blitar.
Salah satu kisah yang saya terima dari Kiai Hisyam Manshur
(putra bungsu) Kiai Zaenuri (santri yang masih hidup), Kiai Manshur menggembleng
kedigdayaan para pejuang bukan semata dari Blitar tapi berbagai penjuru daerah seperti
Kediri, Malang, Tulungagung, Trenggalek,
dan pejuang "kiriman" dari KH Zainul Arifin selaku komandan Hizbullah.
Tak ayal, setiap hari di depan kediamannya menjadi pondokan
atau basecamp para pejuang. Konon ratusan pejuang yang akan berlaga di medan perang
berjejer untuk berbaris dan disuwuk atau “diisi” oleh Kiai Manshur terlebih dahulu.
Demikian sentral peran dan tugas yang dimiliki kala
itu, tak ayal Kiai Manshur menjadi salah satu target utama yang diburu Belanda untuk
dilenyapkan. Sebab dirinya dituding sebagai tokoh utama "pengisi suwuk"
para pejuang. Bukan semata mengajari pasukan dengan sejumlah teknik perang,
juga keberanian serta semangat pantang menyerah para pejuang yang terlibat
pertempuran di sejumlah kawasan.
Suatu ketika, Kiai Manshur diburu Belanda hingga daerah
Tumpang Blitar, sehingga memaksanya menyamar menjadi pembuat jala ikan. Dan
benar, dalam sebuah peristiwa ternyata Belanda mendekati dan bertanya
keberadaannya: "Pak, kami mencari Kiai Manshur, di mana dia bersembunyi?".
Kok yang ditanya tentara tersebut adalah Kiai Manshur
sendiri. Karena kala itu sedang menyamar sebagai pembuat jala ikan, dengan
enteng dijawab lewat gelengan kepala sebagai pertanda tidak mengetahui yang bersangkutan.
Selanjutnya sang tentara penjajah ini pun berlalu tanpa menyadari bahwa yang
dicari sebenarnya ada di depan mata.
Ada sebuah peristiwa yang cukup masyhur di
masyarakat Blitar bahwa Kiai Manshur dikenal "numbali" tanah-tanah
angker di Blitar, termasuk tanah yang dilalui Belanda agar lemah tak berdaya.
Salah satu kisah yang beredar, Belanda malah terseok-seok kesulitan berjalan hingga
merangkak untuk masuk halaman rumah Kiai Manshur. Dalam cerita tersebut dikisahkan seakan-akan para pasukan penjajah
ini mengarungi lautan. Akhirnya Belanda hanya berhasil membakar kayu kering di belakang
rumah, padahal targetnya membumi-hanguskan ndalem dan pondok Kiai Manshur.
Perjuangan dan sumbangsih Kiai Manshur dalam menggelorakan
semangat para pejuang dengan perantara suwuk atau jalur “isi” ini memang tidak dicatat
dalam sejarah. Hal tersebut terjadi lantaran Kiai Manshur pernah berpesan kepada
MbahWahab, supaya tidak dicatat dan dimasukkan struktural NU, beliau siap membantu
NU dari luar saja.
Walhasil, hanya ulama struktural yang dicatat kiprah
dan sumbangsihnya dalam sejarah. Sedangkan
Kiai Manshur dengan kelebihan kiprah yang tidak kalah heroik dan menentukan tidak
tercantum.
Namun ada keterangan dari Kiai Hisyam bahwa Kiai Manshur
pernah diangkat sebagai Ketua PCNU Blitar. Dalam keterangan lain juga disebutkan
bahwa beliau pernah menjadi Ketua Masyumi Blitar.
Terlepas simpangsiur kabar beliau tercatat atau tidaknya
di dalam organisasi, yang pasti perannya dalam melawan penjajah tidak diragukan.
Beliau wafat kira-kira dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di desa Kalipucung Sanan
Kulon Blitar.Wallahua'lam. Lahulfatihah.
*Pegiat PW LTN NU Jatim dan penulis kisah para ulama
tempo dulu.
COMMENTS