Oleh: Rijal Mumazziq Zionis* Bandara Kemayoran, Jakarta, akhir 1950, pemuda itu bergegas mendatangi KH. Imam Zarkasyi, pengasuh Pon...
Oleh:
Rijal Mumazziq Zionis*
Bandara
Kemayoran, Jakarta, akhir 1950, pemuda itu bergegas mendatangi KH. Imam
Zarkasyi, pengasuh Ponpes Gontor, lalu mencium tangannya. Kemudian tangannya
bergeser menjabat telapak Saifuddin Zuhri, yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Kantor Kementerian Agama Jawa Tengah, sekaligus Ketua Lembaga Dakwah
PBNU.
“Kopor-kopornya
mana, kiai. Mari sini, saya bawakan ke pesawat?”
Pemuda ini
tampak enteng sekali membawa dua kopor besar miliki Kiai Zarkasyi dan Saifuddin
Zuhri, serta satu lagi milik KH A. Wahid Hasyim.
Hari masih
pagi saat itu. Belum tampak terang benderang. Namun pemuda berpakaian rapi ini
dengan cekatan membereskan koper-koper milik gurunya.
“Siapa dia,
kiai. Apakah dia juga ikut dalam rombongan kita?” tanya Saifuddin Zuhri.
“Saudara belum
tahu siapa dia? Dia Idham Chalid. Nanti akan saya kenalkan dengannya. Dia
memang ikut kita bersama-sama ke Kalimantan. Dia putra Kalimantan.” jawab Kiai
Wahid Hasyim.
“Benar, dulu
dia juga belajar di pesantren kami, Gontor. Dia terhitung pintar dan sopan.”
sahut Kiai Zarkasyi.
Di atas
pesawat terbang kelas Dakota itu, Kiai Wahid “menyandingkan” tempat duduk Saifuddin
Zuhri, 31 tahun, dengan Idham Chalid, 29 tahun, setelah sebelumnya berpesan:
“Dia pemuda
potensial. Ajak dia diskusi, ceritakan hal-hal yang berkaitan dengan NU
kepadanya. Aku ingin, kelak Idham menjadi kader terbaik NU….” Kiai Wahid Hasyim
berbisik di telinga Kiai Saifuddin Zuhri yang hanya bisa menganggukkan kepala.
Rupanya,
antara kedua kader potensial ini terjalin pembicaraan yang asyik, sehingga mereka
lekas akrab.
“Ketika di
latihan Hizbullah, sebenarnya kita sudah berkenalan,” kata Idham Chalid, ”cuma
ketika itu kita tidak punya banyak waktu karena kita sedang menghadapi Jepang
mendekati sekaratnya,”
“Ketika zaman
Jepang, saudara di mana?”
“Saya
ditugaskan Gus Wahid Hasyim menjadi juru bahasa (soomubucho), kalau
pembesar Jepang ini harus bicara di hadapan para ulama atau tokoh Islam
lainnya.” jawab Idham Chalid, pemuda berperawakan ceking itu.
Ingatan
Saifuddin Zuhri lalu melayang pada peristiwa beberapa tahun sebelumnya, saat
Jepang berkuasa di Indonesia. Dia ingat, beberapa kali melihat seorang pemuda
bercelana pendek dengan seragam Seinendan, yang dengan sangat
terampil menyalin pidato pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia,
sampai-sampai orang Jepang mengira pidatonya belum disalin sepenuhnya. Idham,
pemuda yang juga pernah nyantri di Gontor itu, bahkan bisa berbicara bahasa
Jepang dengan cepat disertai aksen khasnya, manakala dirinya harus berdialog
dengan para penjajah itu. Idham kemudian juga dikenal sebagai seorang polyglot
alias seorang yang memiliki kemampuan menguasai berbagai bahasa asing.
Terhitung, selain menguasai Bahasa Belanda, Idham juga menguasai Bahasa Arab,
Jepang, dan Inggris secara aktif, juga Prancis dan Jerman yang yang ia kuasai
secara pasif.
Dalam
pertemuan di udara itu, Idham juga bercerita apabila dia sebenarnya sudah
menjadi anggota Ansor, wadah kepemudaan NU di Amuntai, Kalimantan, tempat
kelahirannya. Dia juga menjadi guru madrasah hingga kemudian nama besar Gontor
menarik minatnya dan jadilah dia nyantri di pesantren tersebut hingga menjadi
pengajar di sana.
Di atas
pesawat terbang bikinan Amerika itu, rombongan Kementerian Agama yang dipimpin
oleh Kiai Wahid Hasyim bertolak dari Bandara Kemayoran Jakarta menuju
Kalimantan Selatan, untuk melakukan kunjungan dinas. Dengan jarak ribuan kaki
dari atas daratan itu, Idham Chalid untuk kesekian kali mendengar hal ihwal Nahdlatul
Ulama, sebab dia juga ikut dalam Partai Masyumi, di mana NU juga bergabung di
dalamnya. Namun kali ini, diskusinya terasa gayeng, karena ia reuni dengan
sahabatnya saat di Hizbullah dulu. Selain itu, gaya Saifuddin Zuhri yang
menarik tatkala “mempromosikan” ajaran NU selama perjalanan udara itu tampaknya
juga mulai menarik minat Idham Chalid masuk ke dalamnya.
Kisah di atas
saya rekonstruksi dari buku karya KH. Saifuddin Zuhri, “Guruku Orang-Orang Dari
Pesantren” (Yogyakarta: LKiS, 2001: 372). Yang menarik dari rangkaian kisah
rekrutmen kader NU yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim adalah, bahwa ayahanda
Gus Dur ini senantiasa memilih orang yang tepat, potensial, dan loyal terhadap
NU. Dia nyaris tak pernah meleset memilih orang. Bahkan, ketika menyusun jaringan
bawah tanah yang bergerak di zaman Jepang maupun pada saat revolusi fisik, Kiai
Wahid selalu berhasil memilih orang-orang yang tepat. Dalam buku karya ayah
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (hal. 272) ini pula terlihat kecermatan
Kiai Wahid dalam memilih jaringan bawah tanah: sopir truk, pegawai bengkel
mobil, kondektur kereta api, hingga para pedagang sebagai petugas penghubung
komunikasi rahasia pada zaman Jepang maupun era saat revolusi fisik (1945-1949).
Melihat
kemampuan merekrut orang secara tepat dan menempatkannya pada posisi yang
sesungguhnya, Kiai Saifuddin Zuhri (hlm. 205) menyebut apabila Kiai Wahid
Hasyim memiliki kemampuan “mens kennis” (istilah Belanda?), yaitu
kemampuan mengenali kepribadian manusia. Seseorang yang punya kemampuan ini
bisa melihat watak seseorang dari tanda tangan, cara berbicara, gestur saat
berkomunikasi, cara makan dan gaya merokok, sampai pada gaya tertawa seseorang.
Dari hal-hal seperti inilah Kiai Wahid bisa menerka watak seseorang berikut
posisi yang tepat bagi mereka.
*******
Jika Ali bin
Faradj Martak-- putra saudagar Arab Faradj bin Said Martak yang menghadiahkan
rumah proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta kepada Bung Karno--direkrut
menjadi kader NU oleh Kiai Wahid Hasyim melalui diskusi di atas kereta api,
maka Idham Chalid, pemuda berbakat yang kelak menjadi Ketua Umum PBNU selama hampir
30 tahun (1956-1984), direkrut oleh Kiai Wahid Hasyim di atas pesawat terbang
melalui indoktrinasi halus yang dilakukan Saifuddin Zuhri. Nama terakhir ini
adalah kader potensial yang direkrut ayahanda Gus Dur itu melalui surat.
Rekrutmen melalui korespondensi, mungkin ini istilah yang tepat untuk
menyebutnya. Lalu, bagaimana sebenarnya kedekatan hubungan antara Kiai Wahid
Hasyim ini dengan Djamaluddin Malik, salah satu bapak perfilman Indonesia, yang
juga ayahanda penyanyi Camelia Malik itu? Tunggu ulasan mendatang, “Kiai Wahid
Hasyim dan Rekrutmen Kader NU Melalui Surat” dan “Relasi Erat Kiai Wahid Hasyim
dan Bapak Perfilman Indonesia”.
Wallahu
A’lam Bisshawab
*Ketua Lembaga Ta’lif Wa-Nasyr PCNU Surabaya.
COMMENTS