Oleh; Rijal Mummazziq Zionis* Stasiun Mojokerto, pertengahan 1943, KH Wahid Hasyim memasuki kereta api. Dia tepat waktu. Tak meles...
Oleh; Rijal Mummazziq Zionis*
Stasiun Mojokerto,
pertengahan 1943, KH Wahid Hasyim memasuki kereta api. Dia tepat waktu. Tak
meleset barang semenit-pun sesuai jadwal keberangkatan. Tapi kereta api yang
mau bertolak ke Surabaya itulah yang masih betah berada di jalurnya. Masinis
tampak ogah-ogahan. Jumlah penumpang yang terus berdesakan rupanya tak membuat
kereta api segera berangkat. Di zaman Jepang, di tengah keterbatasan alat
trasportasi, naik kereta api merupakan sesuatu yang mewah.
Di gerbong itu Kiai Wahid, sapaan akrabnya duduk bersama penumpang lain. Ayahanda Gus Dur ini tampak memikirkan sesuatu hingga seorang pemuda keturunan Arab menyapanya sekadar berbasa-basi. Ali bin Faradj Martak, nama pemuda itu, beberapa menit kemudian terlibat obrolan hangat dengan Kiai Wahid. Retorika, gerak tubuh, tatapan mata, disertai bahan obrolan yang berwarna-warni yang terus meluncur dari Kiai Wahid membuat pemuda asal Surabaya itu terpesona. Posisi duduk Ali yang berhadapan dengan Kiai Wahid membuatnya leluasa mendengarkan semburan informasi dan luberan ilmu dari kiai muda yang kerap bolak-balik Jombang-Surabaya tersebut.
Kereta api yang nyaris bobrok mulai berangkat. Diskusi dua pria itu semakin menarik. Para penumpang lain, yang sebelumnya terlibat obrolan pribadi, mulai terdiam. Mereka tampak memasang telinga mendengarkan obrolan dua orang terpelajar itu. Ada yang lesehan, ada yang berdiri, ada juga yang tetap duduk di kursinya.
Kiai Wahid dengan hati-hati menyampaikan keberatannya soal kewajiban Seikerei, yakni upacara menghadap matahari seperti orang rukuk, yang baginya mengganggu ketauhidan kaum muslimin. Kiai muda itu juga menguraikan dampak kerjapaksa Romusha terhadap rakyat Indonesia.
Di gerbong itu Kiai Wahid, sapaan akrabnya duduk bersama penumpang lain. Ayahanda Gus Dur ini tampak memikirkan sesuatu hingga seorang pemuda keturunan Arab menyapanya sekadar berbasa-basi. Ali bin Faradj Martak, nama pemuda itu, beberapa menit kemudian terlibat obrolan hangat dengan Kiai Wahid. Retorika, gerak tubuh, tatapan mata, disertai bahan obrolan yang berwarna-warni yang terus meluncur dari Kiai Wahid membuat pemuda asal Surabaya itu terpesona. Posisi duduk Ali yang berhadapan dengan Kiai Wahid membuatnya leluasa mendengarkan semburan informasi dan luberan ilmu dari kiai muda yang kerap bolak-balik Jombang-Surabaya tersebut.
Kereta api yang nyaris bobrok mulai berangkat. Diskusi dua pria itu semakin menarik. Para penumpang lain, yang sebelumnya terlibat obrolan pribadi, mulai terdiam. Mereka tampak memasang telinga mendengarkan obrolan dua orang terpelajar itu. Ada yang lesehan, ada yang berdiri, ada juga yang tetap duduk di kursinya.
Kiai Wahid dengan hati-hati menyampaikan keberatannya soal kewajiban Seikerei, yakni upacara menghadap matahari seperti orang rukuk, yang baginya mengganggu ketauhidan kaum muslimin. Kiai muda itu juga menguraikan dampak kerjapaksa Romusha terhadap rakyat Indonesia.
Namun, melihat minat beberapa
penumpang menyimak obrolannya, Kiai Wahid lekas mengalihkan tema pembicaraan.
Maklum, jika intel Jepang ikut menguping pembicaraan ini, bisa berbahaya bagi
dirinya dan lawan bicaranya.
"Nahdlatul Ulama, apa benar ini organisasi kaum tua?" Ali mulai penasaran saat Kiai Wahid menyebut kata En U.
"Tidak, saudaraku. Ini organisasi yang siapapun boleh masuk ke dalamnya. Kalau ini organisasi kaum tua yang kolot, tentu tidak akan mengangkat sosok Kiai Haji Mahfudz Siddiq sebagai Presiden Hoofdbestuurnya..."
"Nahdlatul Ulama, apa benar ini organisasi kaum tua?" Ali mulai penasaran saat Kiai Wahid menyebut kata En U.
"Tidak, saudaraku. Ini organisasi yang siapapun boleh masuk ke dalamnya. Kalau ini organisasi kaum tua yang kolot, tentu tidak akan mengangkat sosok Kiai Haji Mahfudz Siddiq sebagai Presiden Hoofdbestuurnya..."
"Hmmmmm. Tapi pengurusnya
kan didominasi kaum tua?"
"Benar, saudaraku, kaum tua di sini adalah para ulama yang membimbing kami. Menasihati kalau kami, yang muda-muda ini melenceng jalur. Tapi para muharrik (penggerak)-nya tetap kaum muda, termasuk saya ini, saudaraku."
"Bapak, eh, mas, sekarang berapa usianya?"
"Usia saya? Dua puluh sembilan tahun, sekali lagi dua puluh sembilan tahun. Tak berbeda dengan saudara Presiden Hoofdbestuur NU, Kiai Mahfudz Siddiq, yang berusia 37 tahun."
"Benar, saudaraku, kaum tua di sini adalah para ulama yang membimbing kami. Menasihati kalau kami, yang muda-muda ini melenceng jalur. Tapi para muharrik (penggerak)-nya tetap kaum muda, termasuk saya ini, saudaraku."
"Bapak, eh, mas, sekarang berapa usianya?"
"Usia saya? Dua puluh sembilan tahun, sekali lagi dua puluh sembilan tahun. Tak berbeda dengan saudara Presiden Hoofdbestuur NU, Kiai Mahfudz Siddiq, yang berusia 37 tahun."
Ali mulai menata posisi
duduknya.
"Ente tahu, Mas Ali, Kiai
Mahfudz terpilih menjadi presiden NU di saat berusia 31 tahun. Kalau ada
kesempatan, Mas Ali bisa mampir ke kantor kami di kawasan Bubutan."
Ali, wirausahawan muda itu
semakin dalam berdiskusi dengan lawan bicaranya. Kiai Wahid, putra
Hadratussyekh Hasyim Asy'ari itu, semakin memperluas cakupan diskusinya. Tapi,
kiai muda berwawasan luas tersebut lebih hati-hati menyinggung obrolan perihal
pemerintah pendudukan Jepang. Ia sadar, banyak teliksandi Kenpeitai yang
berkeliaran di kereta. Karena itu, ia lebih banyak memberi tahu seluk-beluk NU
dan organisasi pemudanya, Ansor.
Turun dari kereta, Kiai Wahid memeluk Ali, sembari mempersilakannya agar berkunjung ke kantor PBNU di Bubutan, Surabaya.
---
Selang beberapa hari kemudian, Ali mendatangi kantor PBNU. Kali ini dia menyampaikan keinginan untuk ikut berkhidmah di jam’yah ini. Dia diterima dengan tangan terbuka. Beberapa tahun kemudian, pemuda ini menjadi salah satu ketua seksi ekonomi PBNU, dan juga kepala divisi keuangan GP Ansor.
Turun dari kereta, Kiai Wahid memeluk Ali, sembari mempersilakannya agar berkunjung ke kantor PBNU di Bubutan, Surabaya.
---
Selang beberapa hari kemudian, Ali mendatangi kantor PBNU. Kali ini dia menyampaikan keinginan untuk ikut berkhidmah di jam’yah ini. Dia diterima dengan tangan terbuka. Beberapa tahun kemudian, pemuda ini menjadi salah satu ketua seksi ekonomi PBNU, dan juga kepala divisi keuangan GP Ansor.
Sebuah pembicaraan singkat, di
dalam gerbong penuh sesak rupanya telah membuat Ali terpesona dengan
kepribadian Kiai Wahid, dan oleh karena itu bersedia masuk menjadi anggota NU.
Sebuah kaderisasi singkat dan efektif dari seorang kiai muda. Cerita rekrutmen
kader NU di atas kereta api ini dikisahkan oleh H. Abubakar Atjeh dalam
"Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar", halaman
173, dengan dramatisasi yang saya olah sebagaimana dialog di atas.
Ketika menjabat sebagai Menteri
Agama, Kiai Wahid berkeinginan agar Depag memiliki mesin cetak berkapasitas
besar untuk mencetak mushaf al-Quran dan kitab-kitab ulama salaf. Untuk
kepentingan nasional ini, Kiai Wahid mengandalkan Ali bin Faradj Martak, pemuda
yang dia kader di atas kereta api, dan Abdul Hamid Ono, muslim Jepang yang
menjadi sahabat karibnya sejak sebelum pendudukan Jepang. Namun sayang,
cita-citanya agar Depag punya percetakan sendiri gagal. Penyebabnya karena izin
kerjasama Depag dengan N.V. Marba--perusahaan milik keluarga Ali-- terlalu
singkat dan Perang Korea sedang berkecamuk yang menyebabkan naiknya biaya
transportasi dan risiko perdagangan yang meningkat.
Salah satu fakta yang menarik di sini adalah ternyata Ali merupakan putra kandung Faradj bin Said Awad Martak, President Direktur N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Marba. Pengusaha Arab kelahiran Hadramaut inilah yang membeli sebuah rumah di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, yang diberikan kepada Bung Karno dan kemudian digunakan sebagai tempat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
* Peminat sejarah NU dan Ketua PC LTN NU Kota Surabaya.
COMMENTS