Pagi itu saya ngobrol santai dengan Mbah Ummi--panggilan akrab Mbah Nun, ibunda Kiai Ajib, Genuk--yang walaupun sudah sepuh, tapi masih s...
Pagi itu saya ngobrol
santai dengan Mbah Ummi--panggilan akrab Mbah Nun, ibunda Kiai Ajib, Genuk--yang
walaupun sudah sepuh, tapi masih sangat energik.
Beliau banyak bercerita tentang
ketauladanan para kiai Jawa nan bijak. Di antara yang beliau ceritakan adalah tentang
gurunya, Kiai Maemoen Zubair, Sarang.
Kiai Haris Shodaqoh--Mbah Ummi
mengawali berkisah-- bercerita kepadaku kalau dulu setiap akan menambah
bangunan baru untuk pondok, beliau selalu sowan ke Mbah Moen, Sarang, untuk
sekedar minta pangestu dan berkah doa. Namun setiap hendak pamit pulang dan
akan ngaturke bisyarah, ternyata Mbah Moen lebih dahulu memberikan sebuah
amplop tebal kepada Kiai Haris sambil berkata: "Yoh, tak dongakke. Iki
kanggo pondoke sampean."
Kejadian serupa ternyata tidak hanya sekali dua kali, bahkan berkali-kali. Dan
hampir setiap kali sowan ke Mbah Moen, Kiai Haris akan mendapat amplop dari
beliau. Saking seringnya, sampai Kiai Haris sendiri merasa tidak enak kalau
setiap sowan dan sekaligus diberi bisyarah oleh Mbah Moen. Mau sowan takut diberi
bisyaroh, tidak sowan pun tidak enak. Bingung deh.
Saya sendiri pun pernah sekali
melihat langsung bagaimana Mbah Moen mengembalikan amplop bisyarah kepada kiai madrasah
yang mengundang beliau ngisi pengajian. Mbah Moen dawuh: "Iki tak tompo,
tapi tak wehke pean maneh kanggo pembangunane madrasah iki yo."
Subhanallah. Semoga menjadi ‘ibrah bagi kita semua. (saiful)
COMMENTS