Oleh: Sururi Arumbani* Nahdlatul Ulama (NU) didirikan tidak semata berurusan dengan problem politik dan keagamaan yang terjadi di ...
Oleh: Sururi Arumbani*
Nahdlatul Ulama (NU)
didirikan tidak semata berurusan dengan problem politik dan keagamaan yang
terjadi di Hijaz (semenanjung Arab). Ada alasan domestik yang
juga tidak kalah penting, bahkan sangat penting, yakni memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Sudah banyak tokoh nasional melakukan persiapan guna
perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk sebuah organisasi, baik
sosial dan keagamaan. Sepanjang yang saya fahami dari sejarah perkembangan
terbentuknya NU, terlihat jelas usaha keras para kiai dalam mempersiapkan
masyarakat Indonesia untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Melawan penjajahan tidak bisa hanya dilakukan oleh elit
atau dukungan sekelompok pasukan perang, tetapi harus melibatkan kekuatan
masyarakat secara keseluruhan. Disadari bahwa selama ratusan tahun bangsa
Indonesia hidup dalam cengkraman kolonialisme, karenanya tidak mudah mengajak
dan menggerakkan masyarakat. Di saat kesadaran para tokoh bangsa Indonesia saat
itu untuk bersatu melawan kolonialisme, maka para kiai menempuh upaya yang
sistematis dan fundamental. Mengapa saya sebut demikian, karena persiapan yang
dilakukan terlihat bertahap dan menyentuh kebutuhan mendasar dalam pergerakan
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dimulai pada tahun 1916, para kiai
yang dikoordinir oleh KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk lembaga pendidikan
dengan nama Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Nama, tidak
sekedar nama, tetapi pemilihan nama inilah yang penting. Sudah banyak sekolah
didirikan ketika itu, tetapi spirit mencintai tanah air ditekankan melalui
penamaan Nahdlatul Wathan. Sekolah bukan sekedar sekolah,
tetapi sekolah yang menanamkan kecintaan tanah air. Melalui ini, para kiai
hendak menata masyarakat dengan rasa cinta tanah air. Bagaimana mungkin
perjuangan melawan kolonialisme dan berharap merdeka, tanpa didasari kecintaan
pada tanah airnya? Tanah air yang dimaksud adalah Indonesia, bukan suku atau
kelompok. Mempersiapkan masyarakat yang mencintai tanah air, kelak akan menjadi
kekuatan yang dahsyat dalam pertempuran dan perjuangan kemerdekaan. Inilah yang
saya sebut pilar kemasyarakatan pertama.
Apakah rasa cinta saja cukup
untuk melakukan sebuah gerakan besar melawan kolonialsime dan memperjuangkan
kemerdekaan sebuah bangsa? Para kiai, memandang itu belum cukup. Rasa saja,
jika tidak diimbangi oleh pemikiran yang sehat dan cerdas hanya akan
menimbulkan fanatik buta dan mudah ditipu. Tahun 1918, para kiai kemudian
mendirikan Taswirul Afkar (pertukaran
pemikiran).
Lagi-lagi, soal penamaan. Bagi saya, pemberian nama memiliki makna
yang penting. Taswirul Afakar lebih
berbentuk perkumpulan yang mengurusi bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Ini
berarti lebih luas dibanding Nahdlatul Wathan sebelumnya,
yang fokus pada pendidikan. Kegiatan berdiskusi, berdebat dan mengkaji berbagai
pemikiran yang berkembang menjadi fondasi aktivitas Taswirul Afkar.
Dengan demikian, sebenarnya organisasi ini adalah kebangkitan pemikiran (nahdlatul fikr).
Melalui ini, masyarakat sedang
disiapkan dari sisi pemikiran, ide, konsep dan pencerahan kesadaran. Setelah
membangun rasa cinta tanah air, maka perlu didukung oleh masyarakat yang
tercerahkan pemikirannya, sehingga mampu melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki
strategi cerdas dan unggul dalam perjuangan kemerdekaan. Pilar kedua ini,
dengan kata lain adalah pilar kesadaran.
Dalam waktu yang bersamaan yakni 1918,
para kiai juga mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan
para saudagar). Alasan utama didirikannya organisasi ini adalah dalam rangka
membangun perekonomiat masyarakat yang saat itu benar-benar memprihatinkan.
Melaluinya diharapkan keterlibatan para saudara (orang kaya) dalam kegiatan
keagamaan dan sosial, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana masyarakat
bisa mengembangkan potensinya sehingga tidak bergantung pihak lain dan bisa
hidup mandiri secara ekonomi serta bermartabat. Ekonomi bisa disederhanakan
sebagai urusan perut. Bagaimana mungkin berjuang untuk merdeka, sementara perut
rakyat kosong?
Dengan kemandirian ekonomi yang dimiliki masyarakat, tentu
banyak hal bisa diperbuat, mereka bisa mendidik anak-anak dengan baik,
membangun hubungan sosial yang lebih adil dan ketentraman beribadah bisa
diraih. Pilar ketiga adalah urusan perut, urusan jasmani.
Masyarakat itu ibarat manusia, ia
akan bergerak lincah, aktif dan progresif, ketika ada kehendak yang kuat,
didukung oleh pemikiran cemerlang dan sehat secara fisik. Namun itu, belum
lengkap, karena manusia ada unsur ruhani (hati). Dalam konteks inilah,
berdirinya NU tahun 1926 bisa
dipahami sebagai bagian dari pilar kemasyarakatan yang dipersiapkan para kiai
untuk kemerdekaan Indonesia.
NU, yang berarti kebangkitan ulama, berarti
menempatkan ulama sebagai teladan, pemimbing ruhani, pengarah masyarakat dan
penjaga moral. Sebuah masyarakat harus ada keteladanannya. Ulama sebagai
pewaris nabi, menjadi teladan yang tepat bagi masyarakat dalam kehidupan di
dunia ini. Pilar keempat ini, yakni NU, menurut saya adalah ibarat hatinya,
inti dari pergerakan masyarakat yang hendak merdeka.
Lihatlah, bagaimana perang 10 November 1945 di Surabaya,
yang demikian dahsyat, keempat pilar ini begitu nyata mewujud. Masyarakat yang
berjuang sebagai tentara rakyat, atau pejuang hizbullah atau lainnya adalah
buah dari penanaman rasa cinta tanah air yang kuat. Strategi perang yang
dijalankan oleh para pejuang, ketika menghadapi kekuatan sekutu yang tidak
seimbang, bisa berhasil gemilang dan menundukkan kekuatan negara adi daya di
dunia saat itu. Kesadaran membangun kemandirian ekonomi, mampu membantu
masyarakat berani melempar jauh belenggu kolonialisme yang selama ini menjerat,
karena alasan-alasan ekonomi. Para kiai memiliki peran kunci, baik dalam
perjuangan bersenjata maupun berdiplomasi. Mereka memberi teladan kesabaran,
keteguhan hati, berani mati syahid demi negeri yang dicintai.
Jadi, pendirian Nahldatul Wathan, Taswirul
Afkar, Nahdlatu Tujjar dan Nahdlatul Ulama adalah satu kesatuan yang tidak
dipisahkan. Bahkan pola empat pilar ini akan tetap relevan sampai zaman yang
akan datang. Masyarakat Indonesia yang sudah memasuki usia 71 tahun, tetap
harus memperhatikan nasionalisme, pendidikan (pemikiran), perekonomian dan
keteladanan religius. Ketika abai terhadap salah satu pilar saja, maka
masyarakat akan menuju sebuah problem serius dan akan merusak bangunan
besarnya, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi, warga NU,
memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, berarti meneguhkan
kecintaannya kepada NU. Mencintai
NU, berarti mencintai Indonesia. Demikianlah, NU dan Indonesia tak dapat
dipisahkan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-71.
*Sururi Arumbani, Pemimpin Redaksi
TV9 dan Wakil Ketua PW Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU Jatim.
COMMENTS