Jombang -- Rektor Universitas Hasyim Asy'ari, KH Salahuddin Wahid mengungkapkan, pemikiran pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KHM Has...
Jombang -- Rektor Universitas Hasyim Asy'ari, KH Salahuddin Wahid mengungkapkan, pemikiran
pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KHM Hasyim Asy'ari selama ini masih multitafsir.
Karena itu, di kampus yang dipimpinnya akan segera mengembangkan kajian pemikiran
tokoh yang bergelar hadratus syaikh tersebut.
"Beberapa waktu lalu, Unhasy
menggelar seminar bekerjasama dengan Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta.
Pembicara dari pihak kedutaan menyatakan, pemikiran Mbah Hasyim sangat dekat
dengan ajaran Wahabi," tutur salah satu cucu Kiai Hasyim Asy'ari itu, Sabtu
(30/7/2016).
Oleh kelompok Islam puritan seperti
Wahabi, pemikiran Mbah Hasyim yang dikenal sebagai ahli hadits dianggap sangat
dekat dengan mereka. "Bahkan, mantan Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali
Mustafa Ya'qub yang juga alumni Pesantren Tebuireng pernah menulis beberapa
titik temu pemikiran Mbah Hasyim dengan Ibnu Taimiyah," ungkap adik
kandung Gus Dur ini.
Di sisi lain, pemikiran Mbah Hasyim yang lebih
kontekstual dan tetap relevan dengan tantangan zaman sebenarnya juga tercermin
dalam berbagai pemikiran dan langkah yang diambil oleh ayahnya (KHA Wahid
Hasyim, red) saat terlibat dalam tim yang merumuskan dasar negara Republik
Indonesia. "Tidak mungkin Kiai Wahid Hasyim berani mengambil keputusan
menyetujui penghapusan tujuh kata dalam rumusan Piagam Jakarta, jika tidak
direstui oleh Mbah Hasyim," tegas Gus Sholah, sapaan akrabnya.
Pemikiran Mbah Hasyim tentang
nasionalisme juga menjadi pilar penting kemerdekaan Indonesia. "Tanpa
restu dan arahan Mbah Hasyim, tidak mungkin ada Resolusi Jihad yang membakar
semangat Arek-arek Suroboyo yang dikobarkan melalui pekik takbir Bung Tomo
dalam pertempuran 10 November yang heroik," tutur Pengasuh Pesantren
Tebuireng ini.
Yang tidak kalah penting, proses
penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU pada Muktamar Situbondo
(1984) juga tidak bisa dilepaskan dari sentuhan Mbah Hasyim. Peran KH Achmad
Siddiq dalam merumuskan dokumen hubungan Pancasila dengan Islam yang menjadi
dasar keputusan Muktamar NU sangat besar. "Tentu bukan suatu kebetulan
bahwa Kiai Achmad Siddiq adalah santri Mbah Hasyim," ujarnya.
Pandangan ini disampaikan Gus Sholah
pada temu alumni dan seminar Kontekstualisasi Pemikiran KHM Hasyim Asy'ari dalam Fenomena
Global yang digelar kampus setempat.
Empat Warisan Besar
Sementara itu, Rektor Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi mencatat ada empat warisan besar Mbah
Hasyim yang perlu dikembangkan secara kontekstual dalam menjawab tantangan
globalisasi. Yaitu, kewirausahaan dan kemandirian ekonomi, semangat
nasionalisme, pendidikan berorientasi pada ilmu terapan dan tradisi penulisan
ilmiah.
Sejarah mencatat, di tengah kesibukan
Mbah Hasyim membimbing santri dan berdakwah, beliau tetap melakukan aktivitas
ekonomi. "Bahkan, salah satu pilar NU adalah terbentuknya Nahdlatut Tujjar
(kebangkitan kaum saudagar)," tegas alumni Pondok Pesantren Tremas Pacitan
ini.
"Soal pendidikan, kita bisa
lihat, misalnya, putra KHA Wahid Hasyim hanya Gus Dur yang sepertinya disiapkan
jadi kiai. Dua adik beliau mengambil studi ilmu terapan. Gus Sholah studi
arsitektur dan Gus Umar belajar kedokteran," ungkapnya.
Dua warisan Mbah Hasyim lainnya terkait
semangat nasionalisme dan budaya menulis juga sudah banyak dikaji dan diteliti.
"Karena itu, Unhasy harus mengembangkan program academic writing agar
dapat bersaing di kancah global," tutur pendiri Pesantren Nawesea
Yogyakarta ini di hadapan peserta seminar.
Pada kesempatan tersebut, Yudian
juga membantah tudingan bahwa tasawuf dan tarekat menjadi penyebab kemunduran
umat Islam. "Justru, karena pengaruh tasawuf dan tarekat, penduduk
nusantara yang semula mayoritas beragama Hindu berubah menjadi kawasan dengan
penduduk muslim terbesar di dunia," tandasnya.
Menurut peraih gelar dari beberapa
universitas ternama di Amerika Serikat ini, kemunduran umat Islam lebih
disebabkan konflik internal dan ketertinggalan mereka dalam ilmu terapan.
"Keruntuhan Khilafah Utsmaniyah di Turki itu lebih disebabkan teknologi
militer mereka sudah tertinggal jauh. Karena meninggalkan ilmu terapan, kita
juga sudah cukup lama tergilas revolusi industri," pungkasnya. (saiful)
COMMENTS