Habib Syekh sudah kundur, orang-orang sudah bubar, kumpulan teman-teman lama lantas bercanda-ria di rumah Gus Fuad, menantu Kiai Attabi...
Habib Syekh sudah kundur, orang-orang sudah bubar,
kumpulan teman-teman lama lantas bercanda-ria di rumah Gus Fuad, menantu Kiai
Attabik Ali. Gus Kelik duduk di luar rumah, tepat di depan pintu. Aku mencoba
mengajak masuk, tapi dia menolak. Hanya memandangi kami yang tertawa-tawa
riuh-rendah dengan nikmatnya.
Setelah puas, aku pamitan. Kucari-cari Gus Kelik, sudah
tidak ada.
"Tadi
nunggu njenengan, tapi kecapekan terus istirahat," kata seorang santri.
"Lho?
Jadi Gus Kelik duduk di sini tadi nunggu aku? Ada apa? Kok nggak langsung
ndhawuhi saja tadi?"
Tak
ada yang menjawab. Tak mungkin juga aku minta orang membangunkan kalau dia
sudah istirahat. Maka aku terus pulang.
Baru
saja keluar dari batas Yogya, hapeku bunyi. Gus Kelik.
"Nggih,
Guuus! Ada dhawuh apa? Ngapunten tadi saya nggak tahu kalau njenengan
tunggu..."
Tertengar
suara tawanya yang mustahil disamai siapa pun di seluruh dunia fana.
"Aku
belum ngamplopi kamu!"
Aku
ikut terkekeh,
"Sudah
dikasih sama Hilmy, Guuss."
Gus
Kelik sudah tahu hakikatnya, tapi tetap memastikan status syari'atnya.
Oleh: Yahya Cholil Staquf
COMMENTS