Oleh: Ahmad Karomi* Alfiyah Ibnu Malik adalah kitab mandzumah atau kitab bait nadzam yang berjumlah seribu bait berirama bahar Roj...
Oleh: Ahmad Karomi*
Alfiyah Ibnu Malik adalah kitab mandzumah atau kitab bait nadzam
yang berjumlah seribu bait berirama bahar
Rojaz dan terkenal ampuh. Kitab alat ini mempunyai daya tarik yang sangat kuat
bagi para santri pesantren, bahkan menurut saya memiliki “faktor x”. Dulu ketika
saya masih di pesantren, ada ungkapan bahwa sing
apal Alfiyah isok sakti, isok ngawang, isok dadi wali, yakni para penghafal
akan sakti, mampu terbang dan menjadi wali, dan sugesti lainnya.
Benarkah demikian? Mari kita bersama menengok kisah kitab
tersebut. Kitab ini dikarang oleh Ibnu Malik. Adapun masuknya kitab ini di
indonesia tidak lepas dari sosok Mbah Kholil Bangkalan. Karena menurut sebagian hikayat, beliaulah pembawa
kitab Alfiyah dan diajarkan kepada para santri hebatnya. Dari merekalah sanad keilmuan
terjaga di jagat Nusantara ini. Banyaknya dari mereka tak lepas dari peran kitab
ini.
Ada pesan tersirat dalam bait Alfiyah yakni seorang Ibnu Malik yang merasa
karyanya unggul daripada IbnuMu'thi. Sehingga ketika Ibnu Malik menulis sampai
bait: faiqatan alfiyata Ibni mu'thi
tiba-tiba idenya macet tidak mampu melanjutkan karya.
Ketika Ibnu Malik tertidur, didatangi seseorang yang
tidak dikenal. Dalam mimpinya itu, orang tadi bertanya kepada Ibnu Malik: “Saya
mendengar kamu telah mengarang kitab Alfiyah yang menerangkan ilmu nahwu,
benarkah?” "Benar," jawabnya. “Sampai di manakah kamu mengarang kitab
tersebut?”
Ibnu Malik kemudian menjawab sampai batas karangannya
(faiqatan alfiyata ibni mu'thi).” “Mengapa
kamu tidak melanjutkannya,?” tanya sosok tersebut. Ibnu Malik menjawab; "Semenjak
hari itu, saya tidak mampu melanjutkan.”
“Apakah kamu ingin melanjutkannya?” Tanya sosok itu.
Ibnu Malik berkata: "Sudah pasti saya ingin melanjutkan karangan tersebut,”
jawabnya.
Sosok dalam mimpi itu pun berkata: "Kalau kamu bersungguh
ingin melanjutkannya, ketahuilah wahai Ibnu Malik bahwasannya seorang yang
masih hidup terkadang mampu untuk mengalahkan seribu orang mati.”
Mendengar jawaban tersebut ini bnu Malik merasa kaget.
Dan saat itulah ia tersadar dari apa yang diucapkan dalam salah satu bait yang
dikarangnya.
Dalam bait tersebut jelas sekali lebih mengunggulkan
kitab Alfiyah hasil karyanya ketimbang kitab Alfiyah hasil karya Ibnu Mukti.
Secara spontan ia bertanya: “Apakah kamu yang bernama IbnuMukti?”\Oorang dalam mimpi
tersebut menganggukkan kepala. Seketika itu juga Ibnu Malik merasa malu kepada Ibnu
Mukti.
Keesokan harinya ia kemudian meralat lafadz yang
telah dikiaskan oleh Ibnu Mukti dangan bait yang lain, yaitu wahua bisabqin haizun tafdila (Ibnu Mu'thi
yang terdahulu lebih unggul serta terpuji).
Poin yabg bisa diambil dalam kisah di atas adalah
bahwa takabbur, ujub, rumongso atau merasa hebat dari yang lain (meskipun yang
bersangkutan wafat) menjadi penghalang seseorang untuk terbuka (futuh) mata batin. Penekanan kisah Ibnu Malik
di sini jangan pernah sombong, karena kesombongan bisa menenggelamkan.
Dari kisah ini pula, saya memiliki pendapat, bahwa Mbah
Kholil Bangkalan mengajarkan Alfiyyah Ibn Malik kepada santri-santrinya untuk mengedepankan
kebersihan hati atau resik ati
sehingga bisa futuh dan memancarkan cahaya
indah yang menerangi lintas generasi. Terbukti para aulia seperti KH Hasyim
Asyari, KH Wahab Chasbullah, maupun KH Bisri Syansuri melahirkan santri unggul
pula.
Walhasil, Alfiyyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab gramatika
yang sarat akan nilai tasawuf dan mengajarkan akan pentingnya tawadlu', berartinya
akhlaqul karimah kepada para pendahulu. Oleh karena itu, sangat tepat meneladani,
menghormati dan mendoakan para pendahulu (assabiqun atau assalafassalih) dengan
menempatkan mereka sebagai sumber inspirasi, bukan sebagai pesaing apalagi hendakn
mengalahkan. Bukankah tanpa kiprah mereka, kita takkan pernah ada?
*Alumni Pesantren al-Falah Ploso, Kediri, dan
Pengurus PW LTN NU Jatim
COMMENTS