Oleh: Sururi Arumbani* Setiap lembaga pendidikan memiliki apa yang disebut kalender pendidikan. Melaluinya, semua program kegiatan pe...
Oleh: Sururi Arumbani*
Setiap lembaga pendidikan memiliki apa yang disebut
kalender pendidikan. Melaluinya, semua program kegiatan pendidikan di lembaga
tersebut terencana dengan baik melalui pengaturan waktu pelaksanaan
kegiatan/program. Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk
kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup
permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif
dan hari libur. Di Indonesia paling tidak ada dua model kalender pendidikan,
yakni kalender berbasis tahun hijriyah dan masehi. Kalender pendidikan hijriyah
biasanya diterapkan lembaga pendidikan pondok pesantren, sedangkan kalender
pendidikan masehi diterapkan oleh lembaga pendidikan umum.
Meski sama-sama mengatur apa yang
seharusnya ada dalam kalender pendidikan seperti masa libur, hari efektif,
permulaan tahun dan akhir tahun pelajaran, namun memiliki perbedaan pada awal
dan akhirnya. Untuk lembaga pendidikan umum memulai tahun baru ajarannya adalah
pada bulan Juli, berakhir bulan Juni tahun berikutnya. Sementara untuk pondok
pesantren, terlebih pesantren salafiyah awal tahun pelajaran dimulai pada bulan
Syawal dan berakhir pada bulan Rajab tahun berikutnya.
Perbedaan ini meski kelihatan tidak prinsip, dan bisa
dianggap wajar, tetapi menyimpan nilai yang substantif. Kalender pendidikan
tidak sekedar waktu yang dibagi-dibagi ke dalam bulan, minggu dan hari.
Kalender pendidikan pesantren yang dimulai pada bulan Syawal, berakhir Rajab
dan pada bulan Ramadhan libur penuh memiliki nilai plus jika dibandingkan
kalender pendidikan pada umumnya. Tentu ini dipahami bahwa perbedaan ini
didasari adanya perbedaan spirit dan visi dari pendidikan pesantren dan umum.
Menempatkan bulan Ramadhan
sebagai masa libur bagi santri sebenarnya mempunyai hikmah, antara lain: Pertama, para santri di bulan Ramadhan, yang pulang
ke rumah masing-masing dituntut mampu mempraktekkan ilmu keagamaan yang
diperoleh di pesantren, dan bulan puasa adalah bulan efektif untuk
mempraktekkan itu semua. Di sisi lain, para orang tua akan bisa melihat secara
nyata dampak atau perubahan apa yang terjadi selama setahun anaknya mesantren. Orang
tua dengan demikian menjadi pihak yang turut serta melihat hasil, evaluator
dari proses pendidikan di pesantren.
Kedua, aspek kebiasaan. Mondok di pesantren itu tidak hanya
berurusan dengan mengejar ilmu agama semata, tetapi adalah melatih perilaku,
kebiasaan dan akhlak yang mentradisi di pesantren. Jika anak sebelum mesantren terbiasa makan diladeni, pada masa
libur di rumah ada perubahan kemandirian atau sebaliknya. Kebiasaan shalat
malam, bangun pagi di pesantren apakah kemudian bertahan di rumah saat libur
sekolah.
Ketiga, bahwa libur di bulan Ramadhan pada hakikatnya bukan
liburan bagi para santri. Jika liburan dimaknai hari bersantai, beristirahat
dan terbebas dari beban pelajaran di pesantren, maka melalui libur di bulan
Ramadhan benar-benar menjadikan libur sebagai masa evaluasi, pembuktian dan
pengamalan apa yang sudah diperoleh di pesantren. Libur akhirnya tidak menjadi
masa bersenang-senang, tetapi tetap menempuh pelajaran, yakni praktek.
Paling tidak itulah
menurut saya, nilai plus dari kalender pendidikan pesantren yang menempatkan
bulan Ramadhan sebagai masa libur bersama. Pendidikan pesantren yang menekankan
pada tafaqquh
fid din, benar-benar diwujudkan dalam pengaturan waktunya
(kalendernya). Mencari ilmu tidak ada kata berhenti. Setelah mendapatkan banyak
materi pelajaran, yang paling penting berikutnya adalah praktek dalam kehidupan
sehari-hari.
Kalender pendidikan umum
yang dimulai Juli dan berakhir Juni setiap tahunnya belum ada momen apa yang
bisa jadikan nilai hikmah dari masa libur. Hanya menegaskan bahwa masa libur
adalah masa istirahat dari aktivitas belajar. Bisa apa saja yang dilakukan,
tanpa ada semacam paksaan momen spesial yang bisa dijadikan keberlanjutan
proses pendidikan. Dengan kata lain, libur ya boleh berhenti belajar. Celakanya
para siswa kemudian terjebak dengan bermain, berlibur dan berleha-leha.
Nilai plus ini juga akan ditemukan pada masa libur
semester (tengah tahun) kalender pesantren yang ditempatkan pada bulan Maulid.
Kebiasaan masyarakat mengadakan kegiatan memperingati Maulid akan menjadi
wahana pembuktian dan pengujian dari pada yang sudah diperoleh di pesantren.
Lebih dari itu, libur Maulid berarti memompa kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW
bagi para santri dan itu bisa dilakukan bersama keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Wallahu ‘alamu bisshawab
*) Sururi Arumbani, Pemimpin Redaksi TV9
COMMENTS