header-wrapper { background:#ffffff URL(/images/banner.png); height:240px; width:600px; margin:0 auto 0px; border:0px solid $bordercolor; }

Menggugat Otoritas Kementerian Agama dalam Penentuan Ramadhan dan 1 Syawal

Oleh : Ifdlolul Maghfur, SEI, M.Ag [1] Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 183 تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ ...

Oleh : Ifdlolul Maghfur, SEI, M.Ag[1]

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 183

تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ مِنْ الَّذِينَ عَلَى كُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا ١٨٣
Artinya:
183.Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[2]

Pendahuluan
Otoritas agama terfragmentasi jika berada atau diklaim berada di tangan berbagai pihak. Perbedaan tajam dalam penafsiran suatu ajaran, klaim memiliki penafsiran yang paling benar. Perselisihan tak berujung dalam masalah-masalah agama yang walaupun tak pokok, tapi mendetail dan kebingungan umat dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut adalah gejala otoritas agama itu terfragmentasi. Salah satu contoh terkenal dari fragmentasi otoritas agama adalah penetapan awal Ramadhan dan awal hari raya Idul Fitri di negara kita Indonesia.
Idealnya, di suatu negara hanya ada satu otoritas dalam menetapkan hal tersebut. Namun, hal tersebut hanya terjadi apabila dalam negara itu satu aliran agama atau satu mazhab saja yang dominasinya mencolok seperti Saudi Arabia, atau aliran-aliran yang ada sama sependapat untuk menggunakan metode rukyat saja atau hisab saja. Di negara kita ada banyak versi Islam yang dalam banyak hal tidak sepakat dan pemerintah pun memperhitungkan hisab dan rukyat sekaligus.
Terjadinya perbedaan penentuan awal puasa dan hari raya menyebabkan keterpecahan dalam umat Islam Indonesia. Ini seakan menguatkan dugaan berbagai pihak bahwa umat Islam dari dulu memang berbakat untuk tidak bersatu, baik dalam agama maupun dalam bidang lain seperti politik, ekonomi dan pertahanan.
Keterpecahan umat Islam Indonesia memiliki sejarahnya sejak sebelum Perang Paderi dan kian dirasakan atau disadari sejak zaman transparansi informasi sekarang ini.
Sebenarnya, perbedaan pendapat dalam penentuan awal puasa dan hari raya adalah sangat wajar, begitu juga praktiknya di lapangan. Apalagi, negara kita bukan negara agama atau negara yang resmi bermazhab Syafi’i. Jika orang-orang Muhammadiyah yang berkeyakinan metode hisab sebagai satu-satunya metode yang valid mempraktikkan pendapat atau keputusan bersama mereka, dalam tubuh organisasi itu sendiri tidak terjadi fragmentasi otoritas. Begitu juga jika orang-orang NU dan Syattariyah yang hanya sepakat dengan metode rukyat mengikuti otoritas internal mereka sendiri, tidak terjadi fragmentasi otoritas.
Secara praktis, mereka yang bukan dari kalangan kelompok tersebut cenderung akan mengikuti pendapat mayoritas di lingkungannya atau keputusan resmi pemerintah.

A.    Dasar Hukum Ru’yatul Hilal
Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya.

a.      Dasar Puasa Ramadhan
Puasa ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu[3]
Rasulullah SAW bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan[4]
Berdasarkan ayat dan hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.

b.     Dasar Sebab Puasa
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari[5]
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah[6]
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari[7]
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari[8]
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari[9] Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.”[10]
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[11]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[12]
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[13] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa[14]
Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.”[15]



c.       Dasar Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.[16]
Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).[17]
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[18]
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[19]
Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat? Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[20]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” [21]
Juga hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [22] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.” Imam al-Syaukani menyimpulkan,Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[23] Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[24]
Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[25] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[26]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[27].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[28]
Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[29]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[30]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [31]
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilalApabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[32]
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa tergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria ijtimak qablal ghurub.[33] Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal (imkanur rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoritik yang tidak punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat,[34] walau pun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai bagian proses ijtihad penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idul Fitri 1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang diyakini benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah.[35]


B.     Definisi Otoritas Agama
Istilah otoritas berasal dari bahasa Inggris authority. Kata ini biasanya diartikan dengan the power to influence or to command thought, opinion or behavior atau power based on right : Power is possession of control, authority, or influence over others. Right is the power or privalege to which one justly entitled. Otoritas adalah kekuatan hukum yang sah untuk bertindak, memerintah dan menilai. Bisa jadi otoritas meliputi kekuatan baik untuk berupa perintah ataupun paksaan untuk taat dan juga sebuah peraturan yang harus diikuti oleh mereka yang berada di bawah otoritas tersebut.[36]
Apabila kata otoritas digandeng dengan kata agama, menjadi otoritas agama, maka yang terbayang dan terlintas dalam pikiran adalah pemegang otoritas agama, yakni pencipta agama, Tuhan. Sebab seringkali kata authority dihubungkan dengan author (pengarang) dan ‘pengarang’ agama adalah Tuhan. Jadi otoritas agama berarti otoritas Tuhan. Otoritas Tuhan yang berupa kehendak-kehendak-Nya dimanifestasikan di dalam wahyu-Nya yang diberikan kepada para Nabi untuk umat manusia, hingga akhirnya terkumpul dalam teks suci.[37]
Jadi, setiap tradisi agama mempunyai sumber-sumber otoritas masing-masing yang dirujuk untuk otentisitas tradisi dan jalan agama. Islam memiliki sumber otoritasnya sendiri baik lisan maupun tulisan. Satu-satunya sumber otoritas yang umum diterima adalah kitab suci al-Qur’an. Tidak satupun aliran Islam yang dapat mengabaikannya, apalagi menolaknya sebagai bukan sumber otoritas yang paling otentik.
Pada masa awal Islam pemegang otoritas agama adalah Nabi Muhammad saw. Karena beliaulah yang mendapatkan wahyu dan yang paling paham maksud atau kehendak Tuhan. Apabila ada persoalan terkait dengan agama, umat Islam pada saat itu langsung bertanya pada Rasul, Kondisi tersebut berbeda dengan setelah Nabi Muhammad wafat. Setelah beliau wafat, al-Qur’an dan catatan mengenai seluruh dimensi kehidupan Nabi menjadi rujukan para penganut agama Islam.
Kedua sumber ini sampai hari ini masih menjadi sumber otoritas utama dalam kehidupan umat Islam. Kedua sumber ini tidak bisa berbicara sendiri. Manusialah yang membuatnya bicara. Siapakah manusia-manusia setelah Rasul yang memiliki kewenangan untuk menjadikan kedua sumber otoritas tersebut berbicara? Yakni para sahabat. Sahabat-sahabat dengan integritas moral yang tinggi mendapatkan wewenang atau menjadi sumber rujukan dalam memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Wewenang atau otoritas sahabat-sahabat lebih dilihat integritas moral mereka, seperti ditunjukkan sahabat penerus Nabi (Khulafaur Rasyidin): Abu Bakar, Umar bin al-Khattab (w.23 H), Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H).[38]
Suhu politik pada masa tersebut semakin meningkat dan terjadi pergantian kepemimpinan yang meniscayakan pergantian pemegang otoritas yang begitu cepat pula. Hingga sampai pada abad ke-2 Hijriyah, muncullah ulama-ulama atau imam mujtahid yang memiliki otoritas agama dengan mazhab mereka masing-masing disinilah pancaran otoritas keagamaan benar-benar mulai
Pemencaran Otoritas Keagamaan, Pemencaran meminjam istilah Azyumardi Azra atau bertambahnya pemegang otoritas agama pada dasarnya dimulai setelah Nabi wafat, namun mulai benar-benar memiliki pengaruh yang signifikan adalah ketika bermunculan imam-imam mazhab. Pemencaran tersebut terus berlangsung hingga kini.
Pemencaran otoritas keagamaan dalam Islam mulai meningkat sejak akhir abad ke 19 era pencerahan atau rasionalisme ketika wacana baru muncul di kalangan Islam di Timur Tengah. Wacana tersebut misalnya mencakup gagasan-gagasan tentang pan-Islamisme vis-a-vis kolonialisme Eropa, kemudian reformisme dan modernisme Islam.
Sehingga abad ke-20 tidak diragukan lagi menampilkan perubahan-perubahan signifikan, berjangka panjang, dan berdampak luas terhadap kehidupan keagamaan Islam Indonesia. Salah satu perubahan besar itu terjadi dalam otoritas keagamaan. Perubahan-perubahan penting dan signifikan dalam bidang ini terus terjadi ketika abad ke-20 berlalu, dan abad ke-21 mulai menapaki sejarahnya. Nah, biasanya konsep otoritas keagamaan seringkali menimbulkan konflik, atau paling tidak keadaan-keadaan tegang, antara sejumlah doktrin agama dan penyelidikan filosofis. Hal ini sudah ada presedennya dalam sejarah Islam, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab fikih Hanbali) mengalami penyiksaan oleh khalifah Al-Ma’mun karena memiliki pandangan yang berbeda dengan teologi yang dianut negara saat itu.
Otoritas negara berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sementara Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Ibnu Rusyd (seorang tokoh filsafat Islam) diasingkan dan karya-karyanya dimusnahkan pada masa Khalifah Al-Manshur karena dianggap menyimpang dari syariat Islam dan lebih mengedepankan rasionalisme. Abu Manshur Al-Hallaj (seorang tokoh tasawuf falsafi) mendapatkan hukuman mati karena mengajarkan doktrin wadhatul wujud (pantheisme) yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kini pemencaran otoritas keagamaan juga terjadi di Indonesia. merebaknya otoritas keagamaan yang diwakili baik oleh individu (ulama, mufti), organisasi (misalnya, NU, Muhammadiyah, Forum Ulama Indonesia/FUI, Front Pembela Islam/FPI, HTI, MMI), institusi (misalnya: Pesantren, Perguruan Tinggi), pemerintah (Departemen Agama) dan lembaga (misalnya: Jaringan Islam Liberal) akan semakin mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial, budaya, politik dan agama baik di tingkat nasional maupun internasional berbarengan dengan perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi. [39]
Situasi ini sering mengakibatkan terjadinya anomali dalam otoritas keagamaan, sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif tertentu atas kehidupan keagamaan. Inilah yang perlu diantisipasi. Meskipun pada sisi lain, terjadi pembukaan pintu ijtihad secara besar-besaran.
Anomali dalam otoritas keagamaan. Otoritas Tuhan hanya bisa dijalankan melalui agen-agen manusia. Dengan kata lain manusialah yang menjadikan al-Qur’an dan hadis berbicara. Agen-agen inilah yang akan mengeluarkan instruksi-instruksi dari teks-teks keagamaan. Dari sini muncul pertanyaan lagi, sebagaimana diajukan oleh Khaled M. Abou El Fadl, apakah instruksi-instruksi itu memang berasal dari Tuhan? Ini persoalan kompetensi (otentisitas) dan apa yang dikatan oleh instruksi-instruksi itu? Ini adalah persoalan pemaknaan (interpretasi).[40]
Oleh sebab itu persoalan otoritas keagamaan muncul dari “siapa yang memiliki otoritas dalam menafsirkan kitab suci” dan “penafsiran mana yang menjadi otoritatif untuk masyarakat” Karena terkait dengan penafsiran, maka memperbincangkan otoritas agama berarti juga mengupas teori hermeneutis dalam membaca teks kitab suci.
Biasanya, pembacaan-pembacaan atas teks kitab suci tidak akan lepas dari politisasi penafsiran. Politisasi penafsiran inilah anomali yang biasanya melahirkan apa yang disebut otoritarianisme dan membikin suasana menjadi lebih tegang. Ketegangan terjadi antara antara otoritas agama yang acap kali diekspresikan melalui fatwa dan otoritas politik (negara) di sisi lain ataupun kelompok lain.
Pada dasarnya persoalan otoritas keagamaan yang membuka peluang politisasi pemaknaan dan melahirkan otoritarianisme dapat dianalisis dari sudut pandang rasional yang bersifat normatif. Dengan kata lain, otoritas Tuhan dan manusia dan keterkaitan keduanya dapat dilihat dari perspektif yang murni bersifat rasional dan filosofis. Premis-premis rasional dapat didefinisikan dan kemudian dilanjutkan pembahasan dengan menempatkan kesadaran rasional dalam terang premis tersebut.
Dari sudut normatif, kiranya dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai yang menjadi faktor penentu, seperti rasionalitas, keadilan, kesejahteraan dan nilai-nilai pokok lainnya merupakan standar otoritatif (maqasid as-Syari’ah) yang harus menjadi dasar untuk membangun gagasan tentang otoritas dalam Islam.
Atau alternatif lainnya adalah memilih pendekatan hermeneutik. Misalnya, dengan mengambil teks al-Qur’an, semata sebagai sebuah teks, menentukan apa yang dipandang sebagai penentu makna penulis, teks, pembaca atau ketiganya, atau tak satupun dari ketiganya dan terus mengembangkan sebuah teori tentang otoritas yang didasarkan pada pembacaan terhadap teks. [41]
Dengan melakukan pendekatan ini, argumentasi keterkaitan ketiga unsur itu dalam teks al-Qur’an bisa didasarkan dan menersukan pembacaan yang cermat terhadap teks untuk mencari sebuah konsep tentang otoritas.
Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam.
Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang.
Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya. Di sini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya telah menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas.
Tidak berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam. Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil (tentara) Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. [42]
Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.
Untuk menghindari siakap otoritarian dan despotisme, pemegang otoritas sebagai wakil Tuhan juga harus memiliki syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebagaimana diusulkan oleh Khaled Abou El Fadl:
1.      Kejujuran (honesty). Adalah sikap tidak berpura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang sejauhmana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.
2.      Kesungguhan (diligence). Adalah upaya yang keras dan hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus menghindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain karena semakin besar pelanggaran terhadap orang lain semakin besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
3.      Kemenyeluruhan (comprehensiveness). Adalah upaya untuk menyelidiki kehendak Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nash yang relevan.
4.      Rasionalitas (reasonableness). Adalah upaya penafsiran dan analisa terhadap nash secara rasional.
5.      Pengendalian diri (self-restraint). Adalah tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Harus dibangun atas dasar “Wa Allah a’lamu bi ash-shawab” (Dan Tuhan lebih tahu yang terbaik) Syarat-syarat yang diajukan Khaled bukan merupakan standar baku dan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil Tuhan. Namun setidaknya dapat dijadikan salah satu pendekatan dalam memahami sejauh mana otoritas Tuhan dapat diwakilkan kepada manusia atau lembaga.[43]
Namun kelima persyaratan yang ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih untuk konteks saat ini masih rentan untuk dilanggar bila tidak didukung oleh 6 situasi atau orientasi politik yang benar dari mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi agama dan politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi dan liberasi.
Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berpikir dipasung dan panggung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan dan pemikiran serta pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya untuk lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid pada kebenaran perlu ditambahkan satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid (pemegang otoritas keagamaan) harus berada di luar kepentingan politik praktis (independent).

C.    Kesimpulan
Beberapa hal yang patut diperhatikan sehubungan dengan fragmentasi otoritas agama yang dialami kalangan tersebut :
Pertama, otoritas agama yang kuat dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal bisa dirujuk dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menelusuri melalui buku-buku. Yang dirujuk tentu lebih kepada pemilihan metode.
Orang yang masih tak terikat kepada kelompok bisa menelusuri apakah metode hisab atau rukyat yang dalil-dalilnya lebih kuat dan mana di antara metode itu yang mayoritas diikuti umat muslim dunia serta paling stabil dalam seluruh situasi. Setelah yakin bahwa salah satunya lebih kuat, mereka dapat memilih tanggal pasti menurut metode pilihannya.
Kedua, secara praktis lebih aman untuk mengikuti keputusan resmi pemerintah walaupun berbeda dengan mayoritas lingkungan yang mengikuti keputusan lain. Pemerintah tentu memiliki beragam pertimbangan untuk memutuskan perkara tersebut dan biasanya juga mengikuti pandangan mayoritas organisasi Islam. Sebab, pemerintah akan memikul tanggung jawab besar dunia akhirat jika membuat sembarang keputusan. Apalagi, dengan mengikuti keputusan pemerintah ada sedikit kontribusi untuk menjaga persatuan umat Islam Indonesia.
Ketiga, penentuan awal Ramadhan dan Syawal terkadang taklah murni ikhtilaf agama. Hal semacam ini bisa disisipi dengan kepentingan politik dan semangat nasionalisme. Jadi, unsur subyektivitas pun bisa melekat dalam pendapat yang diklaim obyektif.
Institusi Kementrian Departemen Agama tentang Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan dan Syawal dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi). Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar. Keduanya merupakan dalil yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri.
Dasarnya mengacu pada perintah taat kepada pemimpin atau pemerintah (ulil amri) dalam QS 4:59, sesudah perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga hadits Nabi riwayat Bukhari yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Habsyi. Dan dalam fiqih juga dikenal kaidah bahwa keputusan hakim (pemerintah) bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
Memang tidak mudah mengubah paradigma yang telah melekat sekian lama di kalangan anggota masing-masing ormas. Ada kesan sikap resistensi pada sebagian anggota masing-masing ormas untuk mengkritisi kriteria yang selama ini dipegang oleh ormasnya. Sikap memandang pendapat ormasnya yang unggul dan merendahkan pendapat lainnya, ternyata masih dijumpai dalam diskusi-diskusi intern ormas Islam. Namun, banyak juga yang mulai membuka diri dalam upaya mencari titik temu kriteria yang berbeda-beda tersebut.
Dalam kaitan inilah institusi agama yaitu, Departemen Agama RI perlu mengupayakan Ittihad/Ijma’/Muktamar/Istbat bersama ormas Islam yang keputusannya mengikat semua pihak.















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Unmuh Press, 2005.
Ashgar Ali Engineer, Liberalisasi Teologi Islam, terj.Rizqon Khamami Yogyakarta: Alenia, 2004.
Asma Barlas, Text, Tradition, and Reason: Qur’anic Hermeneutics and Sexual Politics, (Makalah disampaikan di Cardozo Law School, Yeshiva University), 10-12 Oktober 2004
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004
H. Soelleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista, Surabaya: 2007
KH Muhyidin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003
Mohammed Arkoun, Islam: To Reform or to Subvert? London: Saqi Books, 2006
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama, Yogyakarta: Ircisod, 2003
Muhammed Arkoun, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil, Nahwa Tarikhin Akbar li al-Fikr al-Islami Tt: Dar al-Saqi, 1999
Nadirsyah Hosen, “Behind The Schenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, dalam Journal of Islamic Studies, 15:2, 2004.
Nasr Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics, Amsterdam: SWP Publisher, 2004.
PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya : 1977.
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.
Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectual and the Qur’an, Oxford: Oxford University Press, 2004




[1] Penulis buku: Spritualitas Barokah menyenergikan Iman, Islam dan Amal, Pengurus Lembaga Ta’lif Wa Nasr (LTN) PWNU Jawa Timur, Dosen Universitas Yudharta Pasuruan dan menjabat Bendahara Yayasan Perguruan Tinggi Merdeka Surabaya dan Unmer se-Jawa Timur.
[2] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta : Depag Press, 2000. Surat : Al-Baqarah, 183
[3] QS al-Baqarah [2]: 183-185.
[4] HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra.
[5] HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah.
[6] HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah
[7] HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.
[8] HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.
[9] HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425.
[10] HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar  ra.
[11] al-Nawawi, al-Majmû’Syarh al-Muhadzdzab,6/269
[12] Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[13] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shalâh, 28; Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[14] HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170.

[15] HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban.

[16] HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653.
[17] Ibid
[18] al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25
[19] Dalil syara yang mu’tabar adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas
[20] al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2/364.
[21] HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301
[22] al-Amidi, al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, 1/329
[23] Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fath al-Bârî; Bab Shiyâm
[24] Al-Shan’ani, Subul al-Salâm, jld. 2, hal. 310
[25] al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[26] Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, 1/368
[27] al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550
[28] al-Qurthuby, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/296
[29] al-Hashfaky, “al-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr”, 2/131-132
[30] Mughn al-Muhtâj, 2/223-224
[31] al-Syaukani, Nayl al- Authar, 2/ 218
[32] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 25/104-105.
[33] PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974. Bab Hisab

[34] KH Muhyidin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008 Bab Rukyatul Hilal

[35] H. Sulaiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista, Surabaya: 2007 Bab Amaliyah

[36] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004 hal. 108

[37] Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003. hal. 36

[38] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama, Yogyakarta: Ircisod, 2003. hal. 79

[39] Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Roykhan, Yogyakarta: 2005. hal. 96

[40] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004. hal 94

[41] Nasr Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics, Amsterdam: SWP Publisher, 2004. hal. 83

[42] Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003. hal. 99

[43] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004. hal. 71

COMMENTS

BLOGGER: 1
Loading...
Name

Arsip,24,artikel,200,Buku,5,Fiksi,4,kajian perempuan,4,kitab,16,lombakisah,14,manuskrip,12,peristiwa,129,prestasi,12,rehat,39,resensi,13,testimoni,47,tokoh,108,
ltr
item
Halaqoh: Menggugat Otoritas Kementerian Agama dalam Penentuan Ramadhan dan 1 Syawal
Menggugat Otoritas Kementerian Agama dalam Penentuan Ramadhan dan 1 Syawal
https://3.bp.blogspot.com/-hfMuzkWXRJw/V3r3w6RIfrI/AAAAAAAAOLY/Dy3nZF0BNh4GjbS9NLytnX-idmlH4W49ACLcB/s640/maghfur.jpg
https://3.bp.blogspot.com/-hfMuzkWXRJw/V3r3w6RIfrI/AAAAAAAAOLY/Dy3nZF0BNh4GjbS9NLytnX-idmlH4W49ACLcB/s72-c/maghfur.jpg
Halaqoh
https://www.halaqoh.net/2016/07/menggugat-otoritas-kementerian-agama.html
https://www.halaqoh.net/
https://www.halaqoh.net/
https://www.halaqoh.net/2016/07/menggugat-otoritas-kementerian-agama.html
true
2194765370271214888
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy