Oleh : Ifdlolul Maghfur, SEI, M.Ag [1] Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 183 تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ ...
Oleh : Ifdlolul Maghfur, SEI, M.Ag[1]
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 183
تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ مِنْ الَّذِينَ عَلَى كُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا ١٨٣
Artinya:
183.Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[2]
183.Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[2]
Pendahuluan
Otoritas agama terfragmentasi jika
berada atau diklaim berada di tangan berbagai pihak. Perbedaan tajam dalam
penafsiran suatu ajaran, klaim memiliki penafsiran yang paling benar.
Perselisihan tak berujung dalam masalah-masalah agama yang walaupun tak pokok,
tapi mendetail dan kebingungan umat dalam menyikapi perbedaan-perbedaan
tersebut adalah gejala otoritas agama itu terfragmentasi. Salah satu contoh
terkenal dari fragmentasi otoritas agama adalah penetapan awal Ramadhan dan awal
hari raya Idul Fitri di negara kita Indonesia.
Idealnya, di suatu negara hanya ada
satu otoritas dalam menetapkan hal tersebut. Namun, hal tersebut hanya terjadi
apabila dalam negara itu satu aliran agama atau satu mazhab saja yang
dominasinya mencolok seperti Saudi Arabia, atau aliran-aliran yang ada sama
sependapat untuk menggunakan metode rukyat saja atau hisab saja. Di negara kita
ada banyak versi Islam yang dalam banyak hal tidak sepakat dan pemerintah pun
memperhitungkan hisab dan rukyat sekaligus.
Terjadinya perbedaan penentuan awal
puasa dan hari raya menyebabkan keterpecahan dalam umat Islam Indonesia . Ini
seakan menguatkan dugaan berbagai pihak bahwa umat Islam dari dulu memang
berbakat untuk tidak bersatu, baik dalam agama maupun dalam bidang lain seperti
politik, ekonomi dan pertahanan.
Keterpecahan umat Islam Indonesia memiliki sejarahnya sejak sebelum Perang Paderi dan kian dirasakan atau disadari sejak zaman transparansi informasi sekarang ini.
Keterpecahan umat Islam Indonesia memiliki sejarahnya sejak sebelum Perang Paderi dan kian dirasakan atau disadari sejak zaman transparansi informasi sekarang ini.
Sebenarnya,
perbedaan pendapat dalam penentuan awal puasa dan hari raya adalah sangat
wajar, begitu juga praktiknya di lapangan. Apalagi, negara kita bukan negara
agama atau negara yang resmi bermazhab Syafi’i. Jika orang-orang Muhammadiyah
yang berkeyakinan metode hisab sebagai satu-satunya metode yang valid
mempraktikkan pendapat atau keputusan bersama mereka, dalam tubuh organisasi
itu sendiri tidak terjadi fragmentasi otoritas. Begitu juga jika orang-orang NU
dan Syattariyah yang hanya sepakat dengan metode rukyat mengikuti otoritas
internal mereka sendiri, tidak terjadi fragmentasi otoritas.
Secara praktis,
mereka yang bukan dari kalangan kelompok tersebut cenderung akan mengikuti
pendapat mayoritas di lingkungannya atau keputusan resmi pemerintah.
A.
Dasar
Hukum Ru’yatul Hilal
Sebagai bulan
yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan
kehadirannya oleh umat Islam. Namun
sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat
Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu
tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya.
a.
Dasar Puasa Ramadhan
Puasa ramadhan merupakan ibadah yang
wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu[3]
Rasulullah
SAW bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى
خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ
رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan[4]
Berdasarkan ayat dan hadits ini,
serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib
ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status
hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang
dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan
al-‘azhîmah wa
al-rukhshah-nya.
b.
Dasar Sebab Puasa
Berkenaan dengan sabab (sebab
dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl
merupakan sabab
dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka
puasa dilakukan setelah istikmâl
bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di
antaranya adalah Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan
berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar
(terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari[5]
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan
apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian,
maka hitunglah[6]
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا
ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan
berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang
mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari[7]
لاَ
تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah
kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga
melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya
menjadi tiga puluh hari[8]
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ
بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ
أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ
حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا
وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah
kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali
seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian
berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka
sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan
satu bulan itu 29 hari[9] Ibnu Abbas dan di shahih
kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ
وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya
bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung
menutupi kalian, maka perkirakanlah.”[10]
Berdasarkan
hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan
akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah
al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat
hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan
Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[11]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan
ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan
menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap
dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li
ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[12]
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian
ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[13]
Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar
ra:
تَرَاءَى النَّاسُ
الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan
Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa
dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa[14]
Dalam
Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa
berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam
ru’yah hilah dapat diterima.
Dari Ibnu
Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ
قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ
يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad
saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya,
“Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar
mereka berpuasa besok.”[15]
c.
Dasar Mathla’
Persoalan
berikutnya adalah mathla’ (tempat
lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan
melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa
mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan
daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus
mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat
tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ
بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ
حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ
الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ
فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ :
مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ،
فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا
وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا
نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا
تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui
Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan
Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam.
Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada
akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan
hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami
melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri
melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka
berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah)
melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami
menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu
bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia
menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada
kami’.[16]
Jika dicermati,
perkataan “Lâ, hakadzâ
amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas
pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau.
Yakni terjadinya
perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa.
Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah
melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas,
mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian
keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ
خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah
saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya
orang-orang untuk shalat (HR
Abu Dawud).[17]
Hadits ini
tidak diragukan sebagai Hadits marfû’.
Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan.
Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau
mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu
Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi
pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama,
seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[18]
Sebagai sebuah
ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas.
Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali
hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang
yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[19]
Hadits ini kaum
Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan
yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu
daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak
antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda
mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan
jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun
berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang
menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan
dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah
dan Syarh
al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar
shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi
dalam Syarh
al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan
sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan
pada nash yang sharih.
Bertolak dari
dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi
absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan
mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan
dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan,
“Hadits yang telah disepakati
ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan
ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz
asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil
makna.”[20]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu
Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak
diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا
ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari
Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian
berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena
melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga
puluh hari.” [21]
Juga hadits-hadits
lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk
berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits
tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang
menggunakan kata shûmû dan
afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak
yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk
umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada
perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan
orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena
melihatnya). Kata ru’yah adalah
ism al-jins.
Ketika ism al-jins
itu di-mudhaf-kan, termasuk
kepada dhamîr (kata
ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah
umum, [22]
yang memberikan makna ru’yah
siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia
asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk
berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang
Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum
Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia
tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya
ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah
dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang
lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada
siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya.
‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh
kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum
Muslim lainnya’.” Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan
pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit
(ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang
lain.”[23] Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati
di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah
ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[24]
Pemahaman tersebut juga dikuatkan
oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’.
Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ
شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا
الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ
الْغَدِ
Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami
sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari
datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian
di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka
Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan
melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu
Mundir dan Ibnu Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah
mendengar informasi ru’yah
hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah
al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar
Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu
tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah.
Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ
قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang seorang Badui ke Rasulullah
SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits
menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan).
Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”
Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah
kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.”
Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk
berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW
tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang
sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan
kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah
seorang Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi
tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya
perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari
kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya
perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[25]
Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan
ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid
Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap
adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka
wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah
kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini
bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang
melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka
semuanya.”[26]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah
terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib
berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang
dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai
kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak
diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak.
Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka
mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas
dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib
berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan
mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah
yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat
perbedaan mathla’.”[27].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik
rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk
kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah,
Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah
tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[28]
Tentang pendapat madzhab Hanafi,
Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu
juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur.
Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia )
harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika
ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[29]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab
Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat,
maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[30]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki,
seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh
seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain,
kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah).
Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri
bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [31]
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa
berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah
tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan
pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi
dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti
Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah
(dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan
pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia
wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang
menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama
saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[32]
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih
dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat
bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada
di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari
kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah
tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang
muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di
negeri yang lain.
Muhammadiyah telah berijtihad
mengambil hisab secara mandiri tanpa tergantung rukyat secara fisik (bil fi'li)
karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal.
Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria
ijtimak qablal ghurub.[33] Kini Muhammadiyah perlu juga
terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi
atmosfer dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang
visibilitas hilal (imkanur rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal
teoritik yang tidak punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan
astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
NU telah berijtihad menerima batasan
imkanur rukyat 2 derajat,[34]
walau pun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai
bagian proses ijtihad penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini
lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idul Fitri 1413/1993 yang
menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah ufuk menurut
hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung ilmu pengetahuan atau
hisab yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria imkanur
rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU
juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu
pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga
definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang diyakini
benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat
dibuktikan secara ilmiah.[35]
B.
Definisi Otoritas Agama
Istilah
otoritas berasal dari bahasa Inggris authority. Kata ini biasanya diartikan dengan the power to
influence or to command thought, opinion or behavior atau power based on right
: Power is possession of control, authority, or influence over others. Right is
the power or privalege to which one justly entitled. Otoritas adalah kekuatan
hukum yang sah untuk bertindak, memerintah dan menilai. Bisa jadi otoritas
meliputi kekuatan baik untuk berupa perintah ataupun paksaan untuk taat dan
juga sebuah peraturan yang harus diikuti oleh mereka yang berada di bawah
otoritas tersebut.[36]
Apabila kata otoritas digandeng
dengan kata agama, menjadi otoritas agama, maka yang terbayang dan terlintas
dalam pikiran adalah pemegang otoritas agama, yakni pencipta agama, Tuhan.
Sebab seringkali kata authority dihubungkan dengan author (pengarang) dan
‘pengarang’ agama adalah Tuhan. Jadi otoritas agama berarti otoritas Tuhan.
Otoritas Tuhan yang berupa kehendak-kehendak-Nya dimanifestasikan di dalam
wahyu-Nya yang diberikan kepada para Nabi untuk umat manusia, hingga akhirnya
terkumpul dalam teks suci.[37]
Jadi, setiap tradisi agama mempunyai
sumber-sumber otoritas masing-masing yang dirujuk untuk otentisitas tradisi dan
jalan agama. Islam memiliki sumber otoritasnya sendiri baik lisan maupun
tulisan. Satu-satunya sumber otoritas yang umum diterima adalah kitab suci
al-Qur’an. Tidak satupun aliran Islam yang dapat mengabaikannya, apalagi
menolaknya sebagai bukan sumber otoritas yang paling otentik.
Pada masa awal Islam pemegang
otoritas agama adalah Nabi Muhammad saw. Karena beliaulah yang mendapatkan wahyu
dan yang paling paham maksud atau kehendak Tuhan. Apabila ada persoalan terkait
dengan agama, umat Islam pada saat itu langsung bertanya pada Rasul, Kondisi
tersebut berbeda dengan setelah Nabi Muhammad wafat. Setelah beliau wafat,
al-Qur’an dan catatan mengenai seluruh dimensi kehidupan Nabi menjadi rujukan
para penganut agama Islam.
Kedua sumber ini sampai hari ini
masih menjadi sumber otoritas utama dalam kehidupan umat Islam. Kedua sumber
ini tidak bisa berbicara sendiri. Manusialah yang membuatnya bicara. Siapakah
manusia-manusia setelah Rasul yang memiliki kewenangan untuk menjadikan kedua
sumber otoritas tersebut berbicara? Yakni para sahabat. Sahabat-sahabat dengan
integritas moral yang tinggi mendapatkan wewenang atau menjadi sumber rujukan
dalam memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Wewenang atau otoritas
sahabat-sahabat lebih dilihat integritas moral mereka, seperti ditunjukkan
sahabat penerus Nabi (Khulafaur Rasyidin): Abu Bakar, Umar bin al-Khattab (w.23
H), Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H).[38]
Suhu politik pada masa tersebut
semakin meningkat dan terjadi pergantian kepemimpinan yang meniscayakan
pergantian pemegang otoritas yang begitu cepat pula. Hingga sampai pada abad
ke-2 Hijriyah, muncullah ulama-ulama atau imam mujtahid yang memiliki otoritas
agama dengan mazhab mereka masing-masing disinilah pancaran otoritas keagamaan
benar-benar mulai
Pemencaran Otoritas Keagamaan,
Pemencaran meminjam istilah Azyumardi Azra atau bertambahnya pemegang otoritas
agama pada dasarnya dimulai setelah Nabi wafat, namun mulai benar-benar
memiliki pengaruh yang signifikan adalah ketika bermunculan imam-imam mazhab.
Pemencaran tersebut terus berlangsung hingga kini.
Pemencaran otoritas keagamaan dalam
Islam mulai meningkat sejak akhir abad ke 19 era pencerahan atau rasionalisme
ketika wacana baru muncul di kalangan Islam di Timur Tengah. Wacana tersebut
misalnya mencakup gagasan-gagasan tentang pan-Islamisme vis-a-vis kolonialisme
Eropa, kemudian reformisme dan modernisme Islam.
Sehingga abad ke-20 tidak diragukan
lagi menampilkan perubahan-perubahan signifikan, berjangka panjang, dan
berdampak luas terhadap kehidupan keagamaan Islam Indonesia . Salah satu perubahan
besar itu terjadi dalam otoritas keagamaan. Perubahan-perubahan penting dan
signifikan dalam bidang ini terus terjadi ketika abad ke-20 berlalu, dan abad
ke-21 mulai menapaki sejarahnya. Nah, biasanya konsep otoritas keagamaan
seringkali menimbulkan konflik, atau paling tidak keadaan-keadaan tegang,
antara sejumlah doktrin agama dan penyelidikan filosofis. Hal ini sudah ada
presedennya dalam sejarah Islam, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab
fikih Hanbali) mengalami penyiksaan oleh khalifah Al-Ma’mun karena memiliki
pandangan yang berbeda dengan teologi yang dianut negara saat itu.
Otoritas negara berpandangan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk sementara Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa
Al-Qur’an bukan makhluk. Ibnu Rusyd (seorang tokoh filsafat Islam) diasingkan
dan karya-karyanya dimusnahkan pada masa Khalifah Al-Manshur karena dianggap
menyimpang dari syariat Islam dan lebih mengedepankan rasionalisme. Abu Manshur
Al-Hallaj (seorang tokoh tasawuf falsafi) mendapatkan hukuman mati karena
mengajarkan doktrin wadhatul wujud (pantheisme) yang dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam.
Kini pemencaran otoritas keagamaan
juga terjadi di Indonesia .
merebaknya otoritas keagamaan yang diwakili baik oleh individu (ulama, mufti),
organisasi (misalnya, NU, Muhammadiyah, Forum Ulama Indonesia/FUI, Front
Pembela Islam/FPI, HTI, MMI), institusi (misalnya: Pesantren, Perguruan
Tinggi), pemerintah (Departemen Agama) dan lembaga (misalnya: Jaringan Islam
Liberal) akan semakin mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial, budaya,
politik dan agama baik di tingkat nasional maupun internasional berbarengan
dengan perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi.
[39]
Situasi ini sering mengakibatkan
terjadinya anomali dalam otoritas keagamaan, sehingga dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif tertentu atas kehidupan keagamaan. Inilah yang perlu
diantisipasi. Meskipun pada sisi lain, terjadi pembukaan pintu ijtihad
secara besar-besaran.
Anomali dalam
otoritas keagamaan. Otoritas Tuhan hanya bisa dijalankan melalui agen-agen
manusia. Dengan kata lain manusialah yang menjadikan al-Qur’an dan hadis
berbicara. Agen-agen inilah yang akan mengeluarkan instruksi-instruksi
dari teks-teks keagamaan. Dari sini muncul pertanyaan lagi, sebagaimana
diajukan oleh Khaled M. Abou El Fadl, apakah instruksi-instruksi itu memang
berasal dari Tuhan? Ini persoalan kompetensi (otentisitas) dan apa yang dikatan
oleh instruksi-instruksi itu? Ini adalah persoalan pemaknaan (interpretasi).[40]
Oleh sebab itu
persoalan otoritas keagamaan muncul dari “siapa yang memiliki otoritas dalam
menafsirkan kitab suci” dan “penafsiran mana yang menjadi otoritatif untuk
masyarakat” Karena terkait dengan penafsiran, maka memperbincangkan otoritas
agama berarti juga mengupas teori hermeneutis dalam membaca teks kitab suci.
Biasanya,
pembacaan-pembacaan atas teks kitab suci tidak akan lepas dari politisasi
penafsiran. Politisasi penafsiran inilah anomali yang biasanya melahirkan apa
yang disebut otoritarianisme dan membikin suasana menjadi lebih tegang.
Ketegangan terjadi antara antara otoritas agama yang acap kali diekspresikan
melalui fatwa dan otoritas politik (negara) di sisi lain ataupun kelompok lain.
Pada dasarnya
persoalan otoritas keagamaan yang membuka peluang politisasi pemaknaan dan
melahirkan otoritarianisme dapat dianalisis dari sudut pandang rasional yang bersifat
normatif. Dengan kata lain, otoritas Tuhan dan manusia dan keterkaitan keduanya
dapat dilihat dari perspektif yang murni bersifat rasional dan filosofis.
Premis-premis rasional dapat didefinisikan dan kemudian dilanjutkan pembahasan
dengan menempatkan kesadaran rasional dalam terang premis tersebut.
Dari sudut
normatif, kiranya dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai yang menjadi faktor
penentu, seperti rasionalitas, keadilan, kesejahteraan dan nilai-nilai pokok
lainnya merupakan standar otoritatif (maqasid as-Syari’ah) yang harus menjadi
dasar untuk membangun gagasan tentang otoritas dalam Islam.
Atau alternatif lainnya adalah memilih pendekatan hermeneutik. Misalnya, dengan mengambil teks al-Qur’an, semata sebagai sebuah teks, menentukan apa yang dipandang sebagai penentu makna penulis, teks, pembaca atau ketiganya, atau tak satupun dari ketiganya dan terus mengembangkan sebuah teori tentang otoritas yang didasarkan pada pembacaan terhadap teks. [41]
Atau alternatif lainnya adalah memilih pendekatan hermeneutik. Misalnya, dengan mengambil teks al-Qur’an, semata sebagai sebuah teks, menentukan apa yang dipandang sebagai penentu makna penulis, teks, pembaca atau ketiganya, atau tak satupun dari ketiganya dan terus mengembangkan sebuah teori tentang otoritas yang didasarkan pada pembacaan terhadap teks. [41]
Dengan
melakukan pendekatan ini, argumentasi keterkaitan ketiga unsur itu dalam teks
al-Qur’an bisa didasarkan dan menersukan pembacaan yang cermat terhadap teks
untuk mencari sebuah konsep tentang otoritas.
Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam.
Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam.
Seharusnya
kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah
(author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya
mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan
Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan
pengarang.
Namun pada
praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader)
mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau
lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan
menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya. Di sini terjadi
proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu
metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader tanpa
peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan
institusinya telah menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas.
Tidak
berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan
despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam. Walaupun
kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil
(tentara) Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash
sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. [42]
Hal ini sejalan
dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan
catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih
posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran
yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka
makna tanpa batas.
Untuk
menghindari siakap otoritarian dan despotisme, pemegang otoritas sebagai wakil
Tuhan juga harus memiliki syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi,
sebagaimana diusulkan oleh Khaled Abou El Fadl:
1.
Kejujuran (honesty). Adalah sikap tidak berpura-pura
memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang
sejauhmana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.
2.
Kesungguhan (diligence). Adalah upaya yang keras dan
hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus menghindari sikap
yang dapat merugikan hak orang lain karena semakin besar pelanggaran terhadap
orang lain semakin besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
3.
Kemenyeluruhan (comprehensiveness). Adalah upaya untuk
menyelidiki kehendak Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nash
yang relevan.
4.
Rasionalitas (reasonableness). Adalah upaya penafsiran
dan analisa terhadap nash secara rasional.
5.
Pengendalian diri (self-restraint). Adalah tingkat
kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak
Tuhan. Harus dibangun atas dasar “Wa Allah a’lamu bi ash-shawab” (Dan Tuhan
lebih tahu yang terbaik) Syarat-syarat yang diajukan Khaled bukan merupakan
standar baku dan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil Tuhan.
Namun setidaknya dapat dijadikan salah satu pendekatan dalam memahami sejauh
mana otoritas Tuhan dapat diwakilkan kepada manusia atau lembaga.[43]
Namun kelima
persyaratan yang ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih untuk konteks saat
ini masih rentan untuk dilanggar bila tidak didukung oleh 6 situasi atau
orientasi politik yang benar dari mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed
Arkoun bahwa adanya intervensi agama dan politik dalam domain budaya
menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi dan liberasi.
Pemikiran
menjadi monolitik, kebebasan berpikir dipasung dan panggung dialog terbatas.
Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan dan pemikiran serta pada
fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya untuk lebih
menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid pada kebenaran perlu ditambahkan satu
persyaratan lagi, yaitu mujtahid (pemegang otoritas keagamaan) harus berada di
luar kepentingan politik praktis (independent).
C.
Kesimpulan
Beberapa hal
yang patut diperhatikan sehubungan dengan fragmentasi otoritas agama yang
dialami kalangan tersebut :
Pertama, otoritas agama yang kuat dalam penetapan awal Ramadhan
dan Syawal bisa dirujuk dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menelusuri
melalui buku-buku. Yang dirujuk tentu lebih kepada pemilihan metode.
Orang yang masih tak terikat
kepada kelompok bisa menelusuri apakah metode hisab atau rukyat yang
dalil-dalilnya lebih kuat dan mana di antara metode itu yang mayoritas diikuti
umat muslim dunia serta paling stabil dalam seluruh situasi. Setelah yakin
bahwa salah satunya lebih kuat, mereka dapat memilih tanggal pasti menurut
metode pilihannya.
Kedua, secara praktis lebih aman untuk mengikuti keputusan
resmi pemerintah walaupun berbeda dengan mayoritas lingkungan yang mengikuti
keputusan lain. Pemerintah tentu memiliki beragam pertimbangan untuk memutuskan
perkara tersebut dan biasanya juga mengikuti pandangan mayoritas organisasi
Islam. Sebab, pemerintah akan memikul tanggung jawab besar dunia akhirat jika
membuat sembarang keputusan. Apalagi, dengan mengikuti keputusan pemerintah ada
sedikit kontribusi untuk menjaga persatuan umat Islam Indonesia.
Ketiga, penentuan awal Ramadhan dan Syawal terkadang taklah
murni ikhtilaf agama. Hal semacam ini bisa disisipi dengan kepentingan politik
dan semangat nasionalisme. Jadi, unsur subyektivitas pun bisa melekat dalam
pendapat yang diklaim obyektif.
Institusi Kementrian Departemen
Agama tentang Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal menyatakan bahwa penentuan
awal Ramadhan dan Syawal dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal,
bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi). Ini menegaskan bahwa
kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar.
Keduanya merupakan dalil yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya
keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri.
Dasarnya
mengacu pada perintah taat kepada pemimpin atau pemerintah (ulil amri)
dalam QS 4:59, sesudah perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga
hadits Nabi riwayat Bukhari yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin
walaupun ia seorang budak Habsyi. Dan dalam fiqih juga dikenal kaidah bahwa
keputusan hakim (pemerintah) bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan
pendapat.
Memang tidak
mudah mengubah paradigma yang telah melekat sekian lama di kalangan anggota
masing-masing ormas. Ada kesan sikap resistensi pada sebagian anggota
masing-masing ormas untuk mengkritisi kriteria yang selama ini dipegang oleh
ormasnya. Sikap memandang pendapat ormasnya yang unggul dan merendahkan
pendapat lainnya, ternyata masih dijumpai dalam diskusi-diskusi intern ormas
Islam. Namun, banyak juga yang mulai membuka diri dalam upaya mencari titik
temu kriteria yang berbeda-beda tersebut.
Dalam kaitan
inilah institusi agama yaitu, Departemen Agama RI perlu mengupayakan Ittihad/Ijma’/Muktamar/Istbat
bersama ormas Islam yang keputusannya mengikat semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir
Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam
Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Unmuh Press, 2005.
Ashgar Ali
Engineer, Liberalisasi Teologi Islam,
terj.Rizqon Khamami Yogyakarta: Alenia, 2004.
Asma Barlas, Text, Tradition, and Reason: Qur’anic Hermeneutics and Sexual Politics,
(Makalah disampaikan di Cardozo Law School , Yeshiva University ), 10-12 Oktober 2004
Khaled M. Abou
El Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep
Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004
H. Soelleiman
Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah,
Uswah, Khalista, Surabaya: 2007
KH Muhyidin
Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
Khaled M. Abou
El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, terj. Kurniawan
Abdullah, Jakarta :
Serambi, 2003
Mohammed Arkoun, Islam: To Reform or to Subvert? London : Saqi Books, 2006
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik
dan Agama, Yogyakarta : Ircisod, 2003
Muhammed Arkoun, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil,
Nahwa Tarikhin Akbar li al-Fikr al-Islami Tt: Dar al-Saqi, 1999
Nadirsyah Hosen, “Behind The Schenes: Fatwas of Majelis Ulama
Indonesia (1975-1998)”, dalam Journal of Islamic Studies, 15:2, 2004.
Nasr Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics, Amsterdam : SWP Publisher,
2004.
PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah
Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas
Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya : 1977.
PP. Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta ,
1974.
Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectual and the Qur’an,
Oxford : Oxford University
Press, 2004
[1] Penulis buku: Spritualitas Barokah menyenergikan
Iman, Islam dan Amal, Pengurus
Lembaga Ta’lif Wa Nasr (LTN) PWNU Jawa Timur, Dosen Universitas Yudharta
Pasuruan dan menjabat Bendahara Yayasan Perguruan Tinggi Merdeka Surabaya dan Unmer
se-Jawa Timur.
[2] Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahan, Jakarta : Depag Press, 2000. Surat : Al-Baqarah, 183
[3] QS al-Baqarah [2]: 183-185.
[4] HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no.
4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra.
[5] HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah.
[6] HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah
[7] HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.
[8] HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093;
dari Abdullah bin Umar ra.
[9] HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133,
al-Hakim 1/425.
[10] HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no.
1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra.
[13] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shalâh, 28; Ali
al-Shabuni, Rawâi’
al-Bayân, 1/210
[15] HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah &
Ibnu Hiban.
[16] HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi
629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653.
[17] Ibid
[20] al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm,
jld. 2/364.
[33] PP. Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta ,
1974. Bab Hisab
[34] KH Muhyidin
Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
Bab Rukyatul Hilal
[35] H. Sulaiman Fadeli
dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista,
Surabaya : 2007
Bab Amaliyah
[36] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama
Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004 hal. 108
[37] Khaled M. Abou El Fadl, Melawan
“Tentara Tuhan”, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003. hal. 36
[38] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Tragedi
Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama, Yogyakarta: Ircisod, 2003.
hal. 79
[39] Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Roykhan, Yogyakarta:
2005. hal. 96
[40] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama
Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004. hal 94
[41] Nasr Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic
Hermeneutics, Amsterdam :
SWP Publisher, 2004. hal. 83
[42] Khaled M. Abou El
Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003. hal. 99
[43] Khaled M. Abou El
Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004. hal. 71
COMMENTS