Oleh: Muhammad Al-Fayyadl Beberapa menit keluar dari Jembatan Suramadu, di kanan-kiri kita menyaksikan tanah-tanah luas yang hijau ya...
Oleh:
Muhammad Al-Fayyadl
Beberapa menit keluar dari Jembatan Suramadu, di
kanan-kiri kita menyaksikan tanah-tanah luas yang hijau yang tak berpenghuni.
Bangunan cukup jarang, sebagian menjadi ladang pertanian dan semak-belukar.
Lima-sepuluh tahun ke depan, siapa yang tahu puluhan hektar lahan itu akan
menjadi apa? Tak banyak yang tahu, selain calon-calon pemilik tanah itu, yang
mungkin akan mengubah lahan-lahan itu menjadi bisnis perumahan (real-estate), area
komersiil, atau industri. Lima-sepuluh tahun ke depan, siapa yang menjamin
Madura tak berubah?
Madura sedang masuk pada fase baru yang dampaknya pelan
tapi pasti akan menyulap Madura tidak lagi seperti yang kita kenal: fase
neoliberalisasi. Fase ini dideklarasikan sejak Jembatan Suramadu dibuka dan
jalur-jalur perlintasan antar-pulau dipermudah. Madura bukan lagi pulau yang
terisolir. Pembukaan Suramadu adalah konsekuensi dari perkembangan kapitalisme
di Jawa Timur. Kita lihat Jawa Timur, di mana-mana sedang mengalami perubahan
luar biasa oleh arus investasi yang masuk. Jawa Timur seperti berlomba-lomba
menuju “kemajuan”; fasilitas-fasilitas tol meningkat drastis di jalur selatan
dan utara Jawa; infrastruktur-infrastruktur penghubung dibangun, dengan biaya
yang tinggi. Taraf ekonomi yang semakin kapitalistik di pulau Jawa mau tak mau
merembet ke Madura. Madura dipaksa untuk membuka pintu bagi investasi dari
luar. Madura menjadi incaran para pemodal. Pelosok-pelosok Madura telah
terpetakan dengan baik di peta GPS calon investor. Tak ada yang luput. Tinggal
menunggu waktu, “keperawanan” Pulau Garam akan menjadi mitos. Jembatan Suramadu
adalah urat nadi bagi seluruh proses itu. Kita jadi mengerti, foto senyum ramah
gubernur dan para bupati di gerbang Suramadu ditujukan untuk siapa, kalau bukan
untuk para calon investor. Welcome to the island!
Penanda
pertama bagi fase itu adalah privatisasi, pengalihfungsian sumber daya alam dan
sumber-sumber ekonomi negara di Madura ke tangan pribadi-pribadi. Kita tahu,
sejak era rezim Soeharto, Madura telah diniatkan menjadi pulau industri karena
kandungan sumber daya alamnya yang kaya. Meski di atas permukaan tampak
gersang, kandungan alam bawah tanah dan bawah laut Madura menyembunyikan
kekayaan alam luar biasa. Melalui BJ Habibie, pada 1994 rezim Soeharto
menggulirkan kebijakan industrialisasi, yang mendapat tentangan dari para ulama
dan tokoh Madura. Urung, proyek itu dialihkan ke Batam. Di Batam kroni Soeharto
dan Habibie, bersama-sama dengan konglomerat kelas atas dari keluarga Murdani,
membangun kerajaan bisnisnya (G.J. Aditjondro, "Korupsi
Kepresidenan", 2006: 308). Andai waktu itu Madura menjadi “Batam” pertama,
ceritanya akan berbeda. Namun, rezim Soeharto tak kehabisan akal. Meski urung
menancapkan kaki di Madura, para pemodal diberi konsesi mengelola
tambang-tambang minyak di lepas pantai Madura. Konsesi-konsesi itu dikapling
bagi perusahaan-perusahaan swasta maupun asing: grup Medco (milik Arifin
Panigoro), ConocoPhilips, Santos, dan lain-lain.
Rezim
berganti, seiring dengan terus berjalannya eksploitasi di lepas pantai yang
hasilnya tak benar-benar dinikmati oleh warga Madura, sumber daya alam di
daratan kini giliran masuk agenda privatisasi. Bentang alam di daratan Madura
mengandung daya tarik yang potensial bagi investasi. Selain garam dan pertanian
yang relatif mudah dikenali, pegunungan kapur di Madura menyimpan kekayaan
mineral yang menjadi arena tambang kecil-kecilan maupun sedang. Bukan tak
mungkin terdapat bahan baku semen (karst) di situ. Yang terang, beberapa
pebukitan telah dikeruk oleh usaha-usaha swasta, dengan atau tanpa izin. Yang
menimpa pegunungan Utara dan Selatan Jawa—paling fenomenal, kasus tambang semen
di Jawa Tengah—dapat menimpa Madura dalam waktu dekat.
Diresmikannya Suramadu menandai lonceng agenda
privatisasi itu dibunyikan. Di mana pun, sekali kapital telah diberi ruang
untuk masuk, para pemodal tidak akan menyia-nyiakannya. Yang menjadi pertanyaan
tinggal “kapan” dan “dari mana”. Proyek MP3EI yang dicanangkan pada rezim SBY
dan secara diam-diam terus dilanjutkan oleh rezim Jokowi-Kalla hari ini memberi
kita isyarat: privatisasi, beserta neoliberalisasi di baliknya, dijalankan
melalui bisnis infrastruktur. Terdapat delapan sektor utama bisnis
infrastruktur menurut skema MP3EI: sektor air minum, sektor transportasi,
sektor jalan raya, sektor kelistrikan, sektor minyak bumi dan gas (migas), sektor
pengelolaan limbah, sektor irigasi, dan sektor telekomunikasi ("Master
Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia", Sajogyo
Institute, 64). Kedelapan sektor itu secara serentak merupakan sektor-sektor di
mana privatisasi terjadi, sekaligus bidang-bidang yang memfasilitasi
pengkaplingan Madura ke depan semakin lebih mudah dilakukan.
Di
bidang komunikasi, contohnya, kita lihat bagaimana Madura nyaris “dikuasai”
sepenuhnya oleh PT XL Axiata (penyedia layanan telekomunikasi kartu XL) tanpa
“lawan sepadan”. Sektor transportasi juga menunggu untuk diperebutkan oleh
swasta. Seiring dibukanya akses ke daerah-daerah wisata di kepulauan Madura,
transportasi darat dan laut akan membuka kompetisi di antara pengusaha lokal
maupun luar untuk berebut menguasai, kalau perlu, memonopoli pasar.
Sektor-sektor lain secara bertahap juga—sebagian bahkan sudah lebih dulu,
seperti sektor migas—akan mengikuti logika privatisasi dan akumulasi keuntungan
ini, dengan warga Madura sebagai konsumen, penonton, atau korban terdampaknya
belaka.
Maka,
pertanyaan yang perlu dimunculkan: siapa yang akan “memiliki” Madura? Sentimen
budaya ke-Madura-an adalah bekal kita menjawab pertanyaan itu. Apakah warga
Madura, dengan ikatan ke-Madura-annya, merasa perlu untuk ikut “memiliki”
Madura, atau akan merelakan Madura “dimiliki” (tanah-airnya) oleh pihak lain?
Siapa yang akan memiliki dan menguasai sumber daya alam Madura?
Pertanyaan
itu belum terlambat untuk kita jawab. Madura bukan Papua, yang sebelum warganya
bersepakat untuk menjadi pengelola atas alamnya sendiri telah lebih dulu
dicaplok dan direbut oleh rezim militer Soeharto. Warga Madura masih memiliki
waktu untuk bersepakat atas hak mereka memiliki dan mengelola sumber daya
alamnya.
Di
sini menjadi penting berbicara tentang “kedaulatan sumber daya alam”. Warga
Madura dan pemerintah Madura perlu bersama-sama memikirkan pentingnya
kedaulatan atas sumber daya alam Madura. Bagaimana kedaulatan ini akan
dijalankan? Tiga hal menjadi prasyarat kedaulatan: daulat dalam tata-milik,
daulat dalam tata-kelola, daulat dalam tata-guna. Warga Madura perlu menuntut
porsi kepemilikan yang signifikan atas sumber daya alamnya. Pengelolaan sumber
daya alam itu juga mesti melibatkan seluas mungkin warga Madura tanpa kecuali,
dengan imbalan dan hasil produksi yang dapat dinikmati bersama. Demikian juga
pemanfaatannya.
Jika perlunya kedaulatan ini dapat mulai disadari
bersama, maka privatisasi Madura untuk kepentingan swasta akan terbendung, dan
rakyat Madura dapat menjadi pemilik sekaligus pemain aktif dalam penyejahteraan
Madura yang berkeadilan dan merata.
Artikel dimuat di Majalah LPM FAJAR, Insika Guluk-Guluk Sumenep, edisi
khusus Penjualan Lahan Besar-besaran di Sumenep.
COMMENTS