Oleh: Ahmad Karomi* Hari raya identik dengan acara halal bi halal dimana seluruh lapisan masyarakat, khususnya kaum muslimin gegap ge...
Oleh: Ahmad Karomi*
Hari raya identik dengan
acara halal bi halal dimana seluruh lapisan masyarakat, khususnya kaum muslimin
gegap gempita bersatu untuk membersihkan sisa-sisa kotoran hak adami. Saling
halal, ridha, kosong-kosong, atau kembali ke titik nol. Berbagai pertemuan
dengan memanfaatkan kekerabatan dan kefamilian dilangsungkan, baik di gedung
atau rumah salah seorang sesepuh dan sejenisnya.
Sejatinya halal bi halal adalah
gerakan untuk merajut tali silaturahmi. Dalam istilah masyarakat Jawa dikenal
dengan nyambung balung yang tercerai berai, atau dengan agak mendalam
menyebutnya dengan nguripi obor. Namun kenyataan yang ada tidak semua yang
menginginkan halal bi halal dengan makna mendalam dan sarat arti tersebut. Mengapa
demikian?
Karena dewasa ini banyak masyarakat
memanifestasikan halal bi halal untuk ajang pamer, kontes ke"aku"an yang
sengaja dipertontonkan. Hal tersebut dapat dilihat dengan kasat mata pada
kegiatan pertemuan keluarga. Mereka yang kaya unjuk gigi kepemilikan yang sudah
diraih. Demikian juga mereka yang memiliki prestasi moncer dengan unjuk bibir
akan kehebatan yang dipunyai.
Sedangkan bagi kalangan
biasa-biasa saja dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan, cukup mendengarkan
seraya ngemil kacang suguhan riyayan.
Ujung-ujungnya, tidak sedikit kalangan yang telah memperoleh kelebihan tersebut
menyudutkan mereka yang biasa-biasa serta
belum punya sesuatu yang dapat dibanggakan tersebut.
Hal ini berimbas kepada
keengganan kelompok “kelas biasa-biasa” untuk hadir dan mengikuti acara halal
bi halal yang diselenggarakan secara rutin usai lebaran. Mereka kapok untuk
ikut kegiatan yang berujung ajang pamer. Inilah halal bi(nisfi) halal. Halal
silaturahminya, namun belum seluruhnya bisa menerima dengan halal.
Halal bi halal semacam ini ternyata
memperdalam gap atau jurang pemisah antara mereka yang mampu dan kalangan papa.
Kalangan yang merasa telah sukses dengan mereka yang menganggap dirinya gagal
dalam hidup.
Padahal, alangkah
indahnya jika halal bi halal direalisasikan sebagai wadah saling mengisi serta
membantu mereka yang belum “mentas”. Pihak yang masih menganggur, yang tidak
bisa apa-apa. Bukan ajang unjuk ke"aku"an dan mengesampingkan
ke"bersama"an
Konon istilah halal bi halal ini
dicetuskan KH. Abdul Wahab Chasbullah.dengan analisa pertama (thalabu halâl bi
tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan
hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl
“yujza’u” bi halâl) yakni pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan
kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Walhasil, mari kita maknai halal
bi halal dengan sesuatu yang bermanfaat untuk semua, tanpa ada percik api
membara di dalamnya. Wallahu A'lam.
*Pengurus PW LTN NU
Jatim, kini tinggal di Blitar.
COMMENTS