Oleh: Ahmad Karomi* Fenomena Pokemon (pocket monsters) yang akhir-akhir ini ramai dperbincangkan tak bisa dinilai satu sisi negatif se...
Oleh: Ahmad Karomi*
Fenomena
Pokemon (pocket monsters) yang akhir-akhir ini ramai dperbincangkan tak bisa
dinilai satu sisi negatif semata. Sebab Pokemon
hadir dari sebuah proses panjang yakni tahun 95-an, dan masuk di Indonesia sekitar
2001 lalu. Tingginya peminat game juga tak terlepas dari yang namanya sumpek
dan stressnya kehidupan. Game pokemon menawarkan sebuah solusi untuk
meminimalisir tekanan-tekanan tersebut. Namun yang namanya game atau permainan
bisa bersifat serius, iseng tanpa ada kesan apa-apa.
Saya
pernah melalui masa kecil dengan ditemani game watch atau bahasa doeloe disebut
gembot dengan aturan waktu. Sepersekian menit langsung habis dan "nyewa'
lagi. Ketika itu game favorit adalah Koboi yang bernuansa western adu tembak dalam
bar. Jika koboinya tertembak langsung keluar suara "tlujet tlujet" sambil
keluar air mata, menangis.
Selanjutnya,
era game mario bros yang lebih dikenal dengan nintendo mario. Game ini bergenre
adventure (petualangan) yang sarat akan melompat, melempar, menginjak.
Finishingnya melompat tinggi hingga di pucuk bendera. Game ini saya khatamkan dengan
baik.
Mario
bros atau mario and brothers yg bernama Luigi saling bahu membahu memperbaiki
serta membersihkan ledeng dari anasir/musuh jahat. Akan tetapi game ini hanya
mampu bertahan sampai era PS (play station) yang lebih variatif isi gamenya. Ada
Winning Eleven, Pro Evolution Soccer, Tekken, dan lain-lain.
Selanjutnya,
era smartphone muncul sebagai perusak kemapanan PS. Hanya cukup klik dalam play
store bisa mendapatkan Angry Bird milik Rovio, Plants vs Zombie milik EA, Candy
Crush, COC, dan sebagainya. Bahkan yang terbooming saat ini ya Pokemon Go,
dimana pemain game ini kudu mengaktifkan google earth, gps yang pastinya nyedot
paket data.
Sebenarnya
yang ditawarkan oleh produsen game adalah membius pemain untuk selalu update, tersambung
dengan internet, sehingga ada semacam simbiosis mutualisme, saling
menguntungkan tanpa membuntungkn. Produsen dapat meraup laba, pada saat yang
sama pengunduh dapat hiburan. Semakin besar paket data, semakin smooth pula
nge-gamenya.
Adakah
nilai positif dalam game? Bagi saya, Ada. Sebab game dibuat utk menghibur,
melepas penat, menemani kala senggang. Dan perlu dicatat bahwa game memiliki
target pemain yang berbeda; ada yang diperuntukkan balita, anak-anak, dewasa, hingga
semua usia. Bahkan mengedukasi dan menuntun alam bawah sadar untuk melakukan
hal-hal seperti di dalam game.
Pernah
saya menjumpai teman yang tergila-gila main Tekken (game fighting) ternyata
dampaknya dia suka emosi serta tak sabaran dalam keseharian, terkesan ingin mengajak
fight atau bertarung. Namun ada pula teman yang unik, penggemar game Winning Eleven
(sepakbola) setiap kali ngegolkan berteriak Allahu akbar dan alhamdulillah. Ketika
dijegal berucap masya Allah.
Dengan
demikian game ternyata bisa mengantarkan seseorang untuk melontarkan kata-kata
dzikir meskipun tanpa memegang tasbih stigi.
Sisi
negatifnya, lupa waktu dan menguras keuangan. Sehingga waktu untuk belajar,
bersosialisasi, berkumpul keluarga, berbincang "tersedot" oleh game yang
mencuci otak.
Alangkah
tepatnya jika game yang disuguhkan dalam smartphone sangat mendidik dan memberikan
"keilmuan" baru semisal game memasak, game strategi, game bertahan
hidup. Bukan game tentang cara konyol untuk mati atau dumb ways to die yang pengunduhnya
mencapai 50 million. Game ini mengajak pemain untuk memilih mati dengan konyol.
Silahkan
bermain, ngegame dengan memilih dan memilah mana yang terbaik serta memberikan
manfaat bagi kita dan keluarga.
*Pegiat game, kini tinggal di Blitar Jawa Timur.
COMMENTS