Surabaya — Buku karya H Choirul Anam selalu diminati pemerhati sejarah NU. Bahkan skripsinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku, dik...
Surabaya — Buku karya H Choirul Anam selalu diminati pemerhati sejarah NU. Bahkan skripsinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku, dikenal sebagai “buku babon NU” karena memiliki data yang sangat detil. Memang harus seperti itulah kalau ada yang berminat menulis kiai dan juga NU.
Pandangan ini disampaikan Cak Anam, sapaan akrabnya pada acara halal bihalal dan refleksi 1 abad Nahdlatul Wathan yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (PW LTN NU) Jawa Timur dan PC LTN NU Kota Surabaya, Sabtu (30/7/2016).
Mantan wartawan Tempo ini dikenal tidak sembarangan dalam mengambil kesimpulan terkait peristiwa yang ada hubungannya dengan kiai serta NU. “Untuk itu saya tidak segan-segan tak menyantumkan tanggal dan bulan kalau ternyata tidak ada fakta yang membenarkan,” kata Cak Anam di hadapan utusan PC LTN NU se-Jatim tersebut. Ia hadir didampingi KH Sholeh Hayat, penulis buku Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan.
Bapak yang hingga kini sebagai pegiat Harian Duta Masyarakat ini kemudian memberikan contoh terhadap keberadaan Nahdlatul Wathan (NW) yang hingga kini tidak disertakan tanggal dan bulan berdirinya. “Karena tidak ada yang bisa menunjukkan kapan tepatnya, baik tanggal serta bulan berdirinya Nahdlatul Wathan tersebut,” ungkapnya. Sedangkan kepastian tahun berdirinya NW diperoleh dari pengakuan sejumlah pelaku sejarah yang berhasil ditemui, lanjutnya.
Bagi Cak Anam, menggali peristiwa masa lalu dibutuhkan ketelitian. “Kalau tidak didukung fakta yang akurat, maka hal tersebut hanya dianggap dongeng,” katanya.
Dia kemudian menceritakan pengalamannya melakukan wawancara dengan pelaku sejarah NU di masa awal yakni KH As’ad Syamsul Arifin. Cerita soal dialog serta peristiwa Kiai As’ad yang mengantarkan tasbih dan tongkat kepada KH Hasyim Asy’ari diperolehnya secara langsung. “Saat itu saya datang ke Pesantren Sukorejo dan melakukan wawancara dengan Kiai As’ad, dan kemudian saya kirim ke harian Merdeka,” kenang Anam. Bahwa kemudian saat Muktamar ke-27 NU dilangsung di Pesantren Sukorejo, itu antara lain karena banyak kalangan yang kemudian membaca serta mendengar peristiwa tersebut, lanjutnya.
Tugas berat sekarang diemban para penulis muda NU. “Tidak mudah melakukan rekonstruksi sejarah, apalagi banyak tokoh yang telah meninggal,” katanya. Karenanya kehati-hatian harus menjadi kata kunci agar tidak tersebar kabar bohong yang justru merugikan kiai dan NU, pungkasnya. (saiful)
COMMENTS