Surabaya -- Sejumlah organisasi dibentuk untuk menggalang rakyat melawan penjajah. Di antaranya Nahdlatul Wathan (NW). Dipelopori sejuml...
Surabaya -- Sejumlah
organisasi dibentuk untuk menggalang rakyat melawan penjajah. Di antaranya Nahdlatul
Wathan (NW). Dipelopori sejumlah ulama muda di Surabaya pada 1916, organisasi
itu jadi tonggak tumbuhnya nasionalisme di kalangan warga muslim.
NW
berdiri pada tahun 1916. Belum diketahui pasti tanggal dan bulan pastinya.
Namun, berdasarkan catatan penyerahan gedung wakaf dari beberapa saudagar
muslim untuk Madrasah Nahdlatul Wathan di Jalan Kawatan VI/22 Surabaya yang
VIVA.co.id peroleh saat ke sana pada Kamis, 28 Juli 2016, disebutkan bahwa NW
berdiri pada 10 November 1916.
Cerita
NW bermula ketika KH Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab) muda menikah dengan
putri Kiai Musa dari Kertopaten, Surabaya, bernama Maimunah sekitar tahun 1914.
Di Kota Surabaya, kiai muda asal Jombang itu bergelut di dunia pendidikan dan
kemasyarakatan.
Selama
di Surabaya, Mbah Wahab intensif berkomunikasi dengan tokoh pergerakan lain
masa itu, seperti HOS Tjokroaminoto, dr Soetomo, Kiai Ahmad Dahlan Kebondalem,
Kiai Ridwan Abdullah Bubutan, Raden Panji Soeroso, arsitek Soenjoto, KH Mas
Mansur, dan saudagar muslim terkenal kala itu, Haji Abdul Qahar.
Sejak
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1612, Surabaya menjadi kota pusat
perdagangan dunia. Kota itu pun menjadi daerah multietnis. Mereka kebanyakan
pedagang yang kemudian bermukim di Surabaya.
"Warga
keturunan Eropa, China, India, Melayu, sudah ada menghuni Surabaya," kata
Choirul Anam, penulis buku sejarah Nahdlatul Ulama (NU) dalam acara Satu Abad
Nahdlatul Wathan, di Gedung Museum NU di Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu, 30
Juli 2016.
Sekolah Kebangsaan
Hal
yang membuat prihatin Mbah Wahab dan kawan-kawan waktu itu, sementara warga
asing mendapatkan akses hidup terbuka, di sisi lain warga pribumi sangat
terbatas. Warga pribumi di Surabaya kala itu hanya jadi kuli. Begitu juga di
bidang pendidikan, akses untuk bersekolah hanya diperoleh anak-anak keturunan
Eropa dan lainnya.
Mbah
Wahab lantas mengajak kawan-kawan sepergerakannya itu untuk membuat sekolah
kebangsaan bernama Nahdlatul Wathan. Selain pengajaran agama, juga disisipkan
pengetahuan umum, juga kursus-kursus keguruan. "Sekolah Nahdlatul Wathan
mendapatkan badan hukum atau Rechtspersoon pada tahun 1916," kata Cak Anam,
sapaan akrabnya.
Di
madrasah itulah nasionalisme ditanamkan kepada murid oleh Kiai Wahab dan
kawan-kawan, dengan spirit keagamaan. Hal yang menarik, untuk menghunjamkan
semangat kebangsaan pada jiwa murid, sebuah lagu berbahasa Arab dan
terjemahannya dibikin oleh Mbah Wahab.
Lagu
itu selalu dinyanyikan ketika kegiatan belajar-mengajar di sekolah Nahdlatul
Wathan akan dimulai. Lagu itu berjudul Hubbul Wathan atau Cinta Tanah Air. Belakangan, lagu itu populer di
kalangan kaum santri dan dinyanyikan beberapa penggal bait berikut
terjemahannya.
Syair Lagu Hubbul Wathan
Yaa ahlal wathon yaa ahlal wathon Yaa ahlal wathon
Hubbul wathon minal iman
Walaa takun minal hirmaan
Inhadluu Ahlal Wathon (dua kali)
Induunisiyyaa Biilaadii
Anta 'Unwaanul Fakhomaa
Kullu Man Ya'tiika Yaumaa
Toomihan Yalqi Himaamaa
Pusaka
hati wahai Tanah Airku
Cintamu
dalam imanku
Jangan
halangkan nasibmu
Bangkitlah,
hai, Bangsaku
Indonesia
negeriku
Engkau
panji martabatku
Siapa
datang mengancammu
'Kan
binasa di bawah dulimu
Gedung Saksi sejarah
Sebagai
kota berjuluk Kota Pahlawan, Surabaya memiliki banyak gedung bersejarah. Salah
satunya ialah gedung Nahdlatul Wathon di Jalan Kawatan VI Nomor 22 itu. Gedung
itu jadi saksi sejarah bangkitnya gerakan nasionalisme di kalangan muslim
Indonesia jelang kemerdekaan.
Gedung
bertingkat dua itu berdiri di tengah perkampungan padat. Di pintu depan,
menempel papan nama kayu bertulisan Gedung Waqfiyah Nahdlatul Wathon. Tujuh
ruangan besar ada di gedung berasitektur Eropa kuna itu. Tiga ruangan di lantai
dasar dan empat ruangan di lantai dua. Masing-masing ruangan memiliki pintu
besar-besar berbahan kayu.
Bentuk
asli bangunan dibiarkan seperti saat awal berdiri seabad silam. Hanya warna
catnya yang diubah. Jendelanya dicat hijau. Sementara dinding bangunan dipoles
dua warna, bagian atas kuning pucat dan hijau di bagian bawah.
"Bentuknya
tidak boleh diubah sama Pemkot, karena gedung ini masuk cagar budaya,"
kata Muhammad Akib, Kepala SMP Wachid Hasyim 4, sekolah yang kini menempati
gedung itu, ditemui VIVA.co.id di
Gedung Nahdlatul Wathon, Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis, 28 Juli 2016.
Dia
lantas mengeluarkan secarik kertas yang menandai sejarah berdirinya gedung itu.
Akib menceritakan, gedung itu buah dari rembuk-rembuk empat saudagar muslim
yang bermukim di Surabaya pada tahun 1914. "Dalam surat ini mereka
berempat disebut orang kaya di Surabaya," ujarnya.
Mereka
ialah Haji Abdul Kahar dari Pasar Besar, Haji Dahlan dari Ketapang, Haji Abdul
Manan dari Bubutan, dan Haji Ibrahim (tidak disebutkan asal kecamatannya di
Surabaya). "Empat orang ini sepakat bangun gedung untuk madrasah Nahdlatul
Wathon dan tidak boleh disewakan," kata Akib.
Kini,
gedung itu dipakai dua yayasan, yakni Yayasan Halimah yang menaungi Taman
Kanak-kanak (TK) dan SD, serta Yayasan Wachid Hasyim yang menaungi SMP Wachid
Hasyim 4 Surabaya. Dua yayasan itu di bawah koordinasi Lembaga Pendidikan
Maarif NU Surabaya.
Dalam
berbagai literatur sejarah, gedung itu merupakan penanda bangkitnya gerakan
cinta Tanah Air atau Nahdlatul Wathon, organisasi sosial yang berkonsentrasi di
bidang pendidikan yang didirikan ulama muda Surabaya kala itu. Nahdlatul Wathon
didirikan untuk menggelorakan nasionalisme di lajur pendidikan. (Viva/saiful)
COMMENTS