Nama Pondok Pesantren Al-Khoziny cukup dikenal warga Kota Delta, Sidoarjo. Pesantren tersebut berdiri sejak 1927. Saat ini ada ratusan sa...
Nama Pondok Pesantren Al-Khoziny cukup dikenal warga Kota
Delta, Sidoarjo. Pesantren tersebut berdiri sejak 1927. Saat ini ada ratusan
santri putra dan putri yang menimba ilmu di sana.
Puluhan santri putra
berkumpul di masjid. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Di luar dan di
dalam masjid. Meski begitu, semua punya satu kesamaan. Yakni, fokus pada kitab
berwarna kuning yang terpegang. Sesekali, mereka juga membubuhkan tulisan pada
kitab tersebut dengan menggunakan pensil.
Di
salah satu sudut masjid, seorang pria paro baya melantunkan ayat-ayat al-Quran.
Suaranya menyejukkan hati. Membuat tenteram lingkungan di sekitarnya. ”Santri-santri
itu sedang mengaji tafsir al-
Jalalain,” kata Ketua Umum Ponpes Al Khoziny Ustad Saiful Arifin.
Dia
menjelaskan, metode yang digunakan dalam proses mengaji itu disebut bandongan. Dalam
sistemnya, santri mendengarkan kiai yang sedang mengulas sebuah kitab. Sambil
mendengarkan ulasan yang diberikan, santri menuliskan makna atau terjemahan
ayat yang dibacakan. ”Metode itu merupakan salah satu ciri khas ponpes
tradisional,” ujarnya.
Saiful
menjelaskan, pesantren tersebut berdiri atas prakarsa KH Raden Khozin
Khoiruddin. Menurutnya, pada saat itu, kiai melihat masyarakat sangat
membutuhkan bimbingan dan pengarahan di bidang agama. ”Masyarakat sekitar pada
saat itu nyaris tidak tersentuh oleh ajaran-ajaran Islam,” terang pria 27 tahun
tersebut.
Awalnya,
ponpes itu akan diasuh Kiai Khozin. Namun, keluarganya yang tinggal di Desa
Siwalanpanji, Buduran, ternyata kurang merestui. ”Kiai Khozin kemudian
menyerahkan pengelolaan pondok kepada anaknya yang bernama KH Raden Moh.
Abbas,” ucapnya.
Di awal berdirinya, hanya ada beberapa santri yang menimba ilmu di sana.
Mayoritas adalah santri pindahan dari Ponpes al-Hamdaniyah di Desa
Siwalanpanji. ”Dua pondok ini sebenarnya masih memiliki ikatan. Sebelum
mendirikan Ponpes al-Khoziny, Kiai Khozin adalah pengasuh Ponpes al-Hamdaniyah,”
ungkapnya.
Menurut dia, santri ponpes pada tahun-tahun pertama hanya
mempelajari kitab kuning. Setelah cukup berkembang, berdirilah madrasah
tsanawiyah pada 1964. Lembaga pendidikan tersebut diprakarsai KH Raden Abdul
Mujib, putra Kiai Abbas. Setelah itu, berdiri Madrasah Aliyah pada 1970.
Disusul Madrasah Ibtidaiyah pada 1975.
Dalam
perjalanan waktu, Pesantren al-Khoziny semakin berkembang dengan baik. Banyak
orang yang berminat untuk memperdalam ilmu agama di sana. Bahkan, tidak sedikit
yang berasal dari luar pulau. Misalnya, Madura, Sumatera, dan Kalimantan.
Saiful mengungkapkan, saat ini ada 858 santri yang belajar di al-Khoziny. Mereka
mengikuti kegiatan rutin setiap hari. Mulai membaca al-Quran setelah Shalat Subuh,
duha, hingga sekolah.
Setelah
asar, santri diwajibkan untuk melakukan munadhoroh (musyawarah) bersama teman yang masih
satu jenjang pendidikan. ”Selasa dan Jumat pagi, ada kegiatan khusus bernama nadloman. Dalam
kegiatan tersebut, santri belajar berdakwah dengan nyanyian,” paparnya.
Dia menambahkan, ciri khas al- Khoziny adalah lima
tarekat yang ditanamkan kepada para santrinya. Yakni, belajar atau mengajar,
salat berjamaah, membaca al-Quran, salat witir, dan istiqamah. ”Sejak masuk
menjadi santri, semua diajari untuk mengamalkan lima tarekat itu,” katanya. Menurut
dia, tarekat mempunyai arti jalan. Jadi, lima hal yang diwajibkan bagi para
santri itu merupakan jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. ”Lima
tarekat itu tidak bisa dilepaskan dari pesantren ini,” pungkasnya. (JP/saiful)
COMMENTS