Oleh: Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I ( Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember dan Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur) Se...
Oleh: Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I (Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember dan Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur)
Setiap kali memasuki sepuluh hari kedua puasa, kita
dipertontonkan dengan ironi pesta-pora puasa. Puasa yang semestinya untuk
mengendalikan, justru malah meningkatkan libido nafsu konsumerisme. Lihatlah
dengan seksama, pesta pora yang mewujud dalam jubel ramainya orang melakukan buka
bersama di rumah makan dan restoran. Mall dan pusat perbelanjaan yang menjadi
jujugan banyak umat Islam dalam menghabiskan milyaran bahkan triliunan rupiah.
Antrian panjang berbagai makanan menjelang buka puasa menjadi pemandangan yang
tidak luput dari pengamatan keseharian kita.
Puasa yang sejatinya menjadi media untuk mengendalikan
nafsu, tiba-tiba menjadi pembiakan nafsu sehingga alih-alih terkendali, justru
nafsu malah menjadi liar tak terkendali. Puasa yang semestinya berjalan dalam
suasana hening menjadi hiruk pikuk konsumerisme manusia. Ritus konsumerisme ini
seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari puasa. Ada tontonan kemewahan,
kesenangan, kepuasan diri, gengsi dan citra diri dalam ritus konsumerisme.
Apalagi, demikian ini juga terkait dengan kesuksesan manusia mencapai “pangkat,
jabatan dan kedudukan terhormat”, ketika pulang kampung dengan membawa
oleh-oleh hasil olah konsumerisme yang sangat melimpah-ruah tersebut.
Konsumerisme sebagai gaya hidup yang boros ini secara faktual
ditopang oleh kehadiran materialisme dan hedonisme. Jika materialisme
adalah aliran yang memuja benda dan berfokus pada benda, maka hedonisme adalah
sebentuk gaya hidup yang menyandarkan kebahagiaan pada kenikmatan belaka.
Lihatlah, takaran makan orang yang tiba-tiba dua kali lipat atau bisa jadi
lebih daripada hari biasa di malam hari Ramadlan. Pada ghalibnya, sikap
ini merupakan aksi “balas dendam” terhadap penderitaan puasa di siang hari
dengan keadaan berlapar-lapar yang sangat.
Mengabaikan Subtansi Puasa
Banyak sekali orang yang berpuasa, ia tidak
mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Demikian bunyi hadits Nabi Saw.
yang sering diceramahkan para kiai, ustdaz, dan ustadzah di bulan Ramadlan.
Namun sayangnya, hadits ini malah dipakai sebagai justifikasi bahwa realitas
masyarakat yang berpuasa dengan gaya hidup konsumerisme ini sebagai sunnatullah
yang wajar-wajar saja. Artinya, perilaku ini dianggap bukan suatu masalah yang
serius untuk dicarikan solusinya. Padahal, hadits ini sesungguhnya berbicara tentang
banyak orang berpuasa, namun sesungguhnya ia meninggalkan subtansi puasa.
Subtansi puasa, adalah pengendalian diri. Me-refer
pada Yusuf Qardlawi (1991 M), subtansi puasa adalah penghancuran nafsu syahwat
manusia (kasru syahawt an-nas). Yusuf Qardlawi juga menyebut subtansi
puasa yang lain, yaitu mengubah “nafsu
amarah” menjadi “nafsu mutmainnah”. Ulama salaf menyebut subtansi puasa sebagai
pensucian terhadap jiwa dan anggota tubuh manusia dari melakukan berbagai kemaksiatan
serta dosa.
Ulama salaf lebih memilih berkonsentrasi pada subtansi
puasa. Mereka berlomba untuk melakukan puasa yang tidak hanya sekedar tidak
makan, minum dan bersenggama. Mereka melakukan ritual “puasa tarekat” dengan
meninggalkan berbagai kesenangan duniawi. Orang-orang saleh ini melakukan puasa
tarekat dengan menutup anggota tubuh dari berbuat dosa. Mulut, telinga, hidung,
pikiran, hati dan semua anggota tubuhnya disucikan dari melakukan berbuat
maksiat pada Allah Swt. Sebaliknya, semua anggota tubuhnya didedikasikan pada
Allah Swt. sehingga tidak cukup waktu untuk memikirkan konsumerisme.
Kritik Imam Ghazali (t.t) dalam kitab Bidayah
untuk tidak memperbanyak konsumsi makan di malam hari harus dilihat sebagai
upaya untuk konsentrasi pada subtansi dalam puasa. Bagaimana mungkin, kita
makan malam hari puasa dengan takaran yang sama dengan hari tidak puasa atau
bahkan bisa lebih. Demikian al-Ghazali mengkritik jamaknya umat Islam yang
berpuasa hanya sekedar balas dendam atas siang hari puasa. Jika kritik Ghazali
ditarik pada spektrum yang lebih luas, maka muncul gugatan: bagaimana mungkin
konsumerisme bisa sangat berlipat-lipat justru di bulan puasa yang mestinya
gaya hidup konsumerisme dilipat di sudut
pojok kehidupan? Tapi, mengapa justru konsumerisme menguat dan subtansi puasa
hilang dalam peredaran kehidupan umat.
Menuju Nilai Kesederhanaan
Nabi Saw. sendiri mencontohkan dengan sempurna kesederhanaan,
baik di bulan puasa ataupun luar bulan puasa. Lihatlah kehidupan Rasulullah
Saw. ketika berbuka puasa hanya dengan seteguk air putih dan beberapa buah
kurma. Dalam beberapa riwayat, juga diceritakan seringkali Nabi Saw. berbuka
puasa dengan tidak ada makanan yang cukup. Nabi Saw. juga acapkali puasa sunah
ketika Aisyah mengatakan bahwa tidak ada persediaan makanan pada hari itu. Ini
semua menunjukkan betapa sederhananya cara Nabi Saw. berpuasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Saw. juga sangat
sederhana. Beliau berpakaian sangat sederhana. Tidak ada kemewahan fashion
ala Rasulullah Saw. Demikian juga dengan rumah Nabi Saw. Apalagi, tempat tidur
beliau yang sangat jauh dari kemewahan alias sangat sederhana. Ketika seorang
perempuan Anshor masuk ke kamar Nabi Saw. bersama Siti Aisyah, betapa kagetnya
tempat tidur seorang pemimpin agung Islam tersebut. Air matanya bercucuran
melihat tempat tidur Nabi Saw. seraya meminta ijin pada Aisyah untuk mengambil
selimutnya yang baru dan mewah untuk diberikan pada baginda Rasul. Namun, anehnya
baginda Rasulullah memilih menolak pemberian wanita Ansor ini karena beliau memang
ingin hidup sederhana.
Sebagai seorang
pemimpin, Nabi Saw. ingin mempertontonkan kesederhanaan dalam segala aspek
kehidupan. Kesederhanaan yang bahkan beliau sebut sama dengan kemiskinan. Nabi
Saw. seringkali berdoa lirih untuk selamanya menjadi orang miskin. ” Allahuma
ahyina miskinan. Wa amitna miskinan. Wahsyurna fi zumratil masakin. Ya
Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Matikan aku dalam keadaan miskian.
Dan kumpulkan kami bersama orang-orang miskin”. Betapa sangat sederhana atau
miskinnya beliau, sang pemimpin agung kita. Adakah pemimpin-pemimpin kita yang
berani berdoa demikian ?
Inilah yang semestinya kita tuju sebagai umat Muhammad
dalam berpuasa. Yaitu dengan menerapkan nilai-nilai kesederhanaan yang kini
nyaris hilang dalam gemerlap kemewahan hotel berbintang, mobil mewah, dan hiruk
pikuk kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan kita dengan Tuhan. Wallahu’alam. **
COMMENTS