Sangat mudah menemui Pondok Pesantren Al-Hidayah. Jika sudah berada di Jalan Raya Tanggulangin, Sidoarjo Jawa Timur tinggal masuk saja ke...
Sangat mudah menemui Pondok Pesantren Al-Hidayah. Jika
sudah berada di Jalan Raya Tanggulangin, Sidoarjo Jawa Timur tinggal masuk saja
ke sentra perajin tas. Sekitar tiga kilometer ke barat, ada sebuah masjid besar
di kanan jalan. Sekilas, tidak akan disangka bahwa masjid dua lantai tersebut
merupakan tempat ibadah sekaligus tempat 900 santri menimba ilmu.
Memiliki gaya arsitektur khas Timur Tengah, suasana pondok
pesantren langsung terasa begitu melewati lorong sempit di timur masjid.
Beberapa santri tampak sibuk mengaji. Beberapa lainnya bermain-main. Banyak
juga yang tidur-tiduran di selasar masjid. Memang, selama Ramadan tidak banyak
siswa yang tinggal.
Sebab, santri diimbau mengikuti kegiatan kilatan guna
menambah wawasan. Dengan demikian, selama Ramadan santri di kelas XII harus mondok ke pondok lain. “Pesantren
salaf besar menjadi jujukan. Misalnya, Pondok Pesantren Ploso, Lirboyo,
Sidogiri, sampai Sarang,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah KH Syafi’
Misbah.
Di sana mereka akan belajar lebih banyak kepada kiai yang
lebih sepuh atau senior. Yang dipelajari pun bebas, bisa dari berbagai kitab.
Baik yang pernah atau yang tidak pernah dipelajari saat mondok. Tujuannya,
menambah wawasan para santri. Juga, mempertahankan tradisi yang mulai luntur.
Yaitu, kegiatan pertukaran santri dengan pondok pesantren lain.
“Kalau zaman dulu, saat momen Ramadhan, santri selalu nyebar ke mana-mana,” katanya. Hal
itu, menurut dia, mulai ditinggalkan. Setiap pondok pesantren terlalu sibuk
dengan kegiatan mereka sendiri. Pondok pesantren juga harus mengikuti jadwal sekolah.
Jadi, pertukaran antarsantri agak sulit dilakukan. Namun, hal sebaliknya
diterapkan di Ponpes Al Hidayah.
Setiap kegiatan berpusat di pondok pesantren. Sekolah
formal yang dimiliki seperti madrasah tsanawiyah (MTs), madrasah aliyah (MA),
dan SMK harus patuh. Dengan bertukar santri, manfaatnya besar. Salah satunya
semakin menguatkan jaringan antarsantri. “Kalau antarsantri sudah terbangun
jaringan yang kuat, posisi pesantren juga akan semakin kuat,” tuturnya. Setelah
itu, para santri harus bertanggung jawab saat kembali ke pondok.
Mereka harus mempresentasikan ke pengasuh dan menyebarkan
ilmunya kepada santri yang lain. Kegiatan itu disebut sorogan yang merujuk pada
kata slorogan atau tempat menyimpan barang. Nah,
dalam kegiatan tersebut, santri diminta mengeluarkan isi atau ilmu baru di
kepalanya. Kegiatan itu sekaligus mempertanggungjawabkan bacaan kitab. Santri
menerangkan isi kitab di depan pengasuh. Sebelumnya, santri harus membaca salah
satu kitab dan mencari penjelasan yang mendukung atau mengkritisi kitab-kitab
lain. Dengan demikian, ketika presentasi, santri tidak hanya terfokus pada
penjelasan di kitab yang dibaca.
Tidak tertutup kemungkinan akan ada tambahan dari kitab
lain yang bisa memperkaya wawasan santri. Santri otomatis lebih banyak diskusi
terkait ilmu-ilmu baru yang mereka dapatkan dari ponpes lain. Untuk diskusi,
ponpes yang berdiri sejak 1975 tersebut memiliki metode dan forum sendiri. Kegiatan
itu disebut bahtsul masail. Yakni,
forum diskusi keagamaan untuk merespons dan memberikan solusi terhadap
problematika aktual yang muncul dalam kehidupan.
Acara tersebut dilaksanakan tiga kali seminggu. Di forum
itu, santri diharuskan kritis. Mengkritisi segala bentuk permasalahan yang ada
serta mengkritisi pemikiran santri lain dengan dasar jelas.
Tekniknya, seorang santri akan membaca sebuah kitab.
Lalu, santri lain akan memberikan komentar berdasar kitab yang lain. Apakah
yang bersifat dukungan atau malah melawan argumen sebelumnya. ”Mirip sidang
majelis ulama yang biasanya menentukan halal dan haram atau hukum yang lain,”
paparnya. Untuk menambah jam terbang, setiap bulan ada santri yang dikirim
untuk mengikuti bahtsul
masail di tingkat
pengurus Nahdlatul Ulama. Jadi, santri mendapat transformasi ilmu dari para
senior. Hal itu membuat santri menjadi lebih berani berpendapat. Juga, punya
kewajiban untuk membaca kitab salaf sebanyak-banyaknya.
Metode tersebut dianggap efektif. Sebab, sebagai muslim,
diharuskan banyak belajar. “Sehingga mampu membawa kemajuan untuk umat Islam,”
ungkapnya. (JP/saiful)
COMMENTS