Dia adalah dosen pertama dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berhasil menembus Harvard Law School di Amerika Serikat...
Dia adalah dosen pertama dari
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berhasil menembus Harvard Law
School di Amerika Serikat. Hal itu diperolehnya setelah menyelesaikan
pendidikan doktor (PhD) di McGill University, Kanada. Ia juga berhasil menjadi profesor
dan tergabung dalam American Asosiation of University Professors serta
dipercaya mengajar di Tufts University, Amerika Serikat (AS).
Keberhasilannya menjadi guru besar dan mengajar di salah satu
universitas ternama di AS, telah mengukir sejarah baru dalam dunia pendidikan
Islam. Yudian adalah alumnus santri di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa
Timur.
Yudian menerbitkan perjalanan kisahnya dalam buku Jihad Ilmiah dan
mendirikan pesantren Nawesea, yaitu pesantren khusus bagi mahasiswa
pascasarjana. Ia mengharapkan buku dan pesantrennya menjadi jalan untuk menuju
kesuksesan di negeri Barat.
Kini Prof Drs KH. Yudian Wahyudi PhD ditetapkan dan
dilantik menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta masa bakti 2016-2020.
Berikut perjuangan, pengalaman, dan obsesi Yudian Wahyudi
dipaparkan kepada Heri Purwata, wartawan Republika di ruang kerjanya.
Apa yang perlu dipersiapkan seorang santri ketika sekolah ke
luar negeri, khususnya Barat?
Pertama adalah kemampuan berbahasa Arab. Karena bahasa Arab
merupakan bahasa yang sulit bagi orang Indonesia. Jadi, kalau orang Indonesia
sudah bisa bahasa Arab, hampir 100 persen akan bisa bahasa-bahasa lain, seperti
Inggris, Prancis, dan Jerman. Sebaliknya, kalau orang Indonesia tidak bisa berbahasa Arab,
hampir dipastikan tidak bisa menjadi ulama. Dalam arti, dia tidak bisa
menguasai bahasa Arab.
Apakah Anda memiliki kemampuan berbahasa Arab sebelum berangkat
ke luar negeri?
Saya mempunyai kemampuan berbahasa Arab dan itu telah memecahkan
masalah bahasa yang paling sulit. Oleh karena itu, bahasa Inggris, Prancis, dan
lain-lainnya menjadi mudah. Kemampuan berbahasa Arab ini saya dapatkan ketika
mondok di Pondok Pesantren Termas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur.
Jadi, dapat disimpulkan orang lulusan pondok pesantren yang bahasa
Arabnya bagus, itulah orang yang mempunyai kesempatan besar untuk menjadi
profesor Islamic Studies di Barat kalau kuliah MA dan doktor di sana.
Apa sebelum di Ponpes Termas sudah memiliki kemampuan untuk
berbahasa Arab?
Saya dikirim ke Ponpes Termas sejak usia 12 tahun dan saya
sepertinya anak yang ‘dibuang.’ Sebelumnya, saya belajar mengaji di Balikpapan,
Kalimantan Timur, tetapi belum bisa berbahasa Arab. Mulai bisa bahasa Arab, ya
sejak berada di Termas.
Bapak saya itu tentara zaman revolusi yang ditugaskan pemerintah
di Balikpapan, Kalimantan Timur, tahun 1948, dan saya lahir di sana. Tetapi,
karena saya ini nakal, suka tawuran, saya ‘dibuang’ ke pesantren. Mengapa
Termas? Jawabannya, sebetulnya bapak saya itu mau mondok ke Termas, tetapi
orang tuanya tidak mampu. Jadi, nggak jadi, akhirnya saya yang dimasukkan ke
sana.
Bagaimana pembelajaran bahasa Arab di Ponpes Termas?
Saya kira bagus karena belajarnya pagi, siang, sore, dan malam.
Mulai dari Subuh hingga pukul 23.00 WIB. Istirahatnya setelah Ashar hingga
Magrib. Saya di Termas mulai tahun 1972 hingga 1978.
Setelah selesai di Termas, saya melanjutkan pendidikan ke Pondok
Pesantren Al-Munawwir Krapyak selama satu tahun, antara 1978-1979. Dari
Krapyak, saya masuk Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (sekarang Universitas
Islam Negeri–Red), merangkap kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Selanjutnya, setelah
lulus, melanjutkan pendidikan MA dan doktor di McGill University lalu ke
Harvard Law School Amerika Serikat.
Karya apa saja yang telah dihasilkan dari penguasaan bahasa
Arab?
Karena saya aktif, saya telah menerjemahkan sekitar 40 buku bahasa
Arab, 13 bahasa Inggris, dan dua bahasa Prancis ke bahasa Indonesia. Sehingga,
bisa dilihat saya sangat mudah berubah dari bahasa Arab ke Inggris, Prancis,
dan bahasa lain. Dalam buku Jihad Ilmiah banyak tentang presentasi dalam bahasa
Inggris. Tetapi, saya selingi dengan publikasi saya di dunia internasional di
Oxford university press, Boston.
Ketika pertama kali datang di McGill University, Anda mendapat
nasihat dan didemo karena kemampuan bahasa Inggris Anda, dinilai tidak layak
untuk mendapatkan full scholarship?
Ya. Saya menerima nasihat dan protes itu. Nasihat datang dari
teman yang sudah dahulu berada di McGill. Salah satunya, Prof Thoha Hamim,
sekarang pembantu rektor I IAIN Sunan Ampel. Beliau menyampaikan bahwa hal itu
(kemampuan berbahasa Inggris–Red) sebuah fakta sehingga kita harus meningkatkan
prestasi.
Nasihat Pak Thoha saya terima sebagai cambuk untuk meraih prestasi
yang tidak hanya sekadar lulus. Nasihat ini membuat saya bisa presentasi,
mempublikasikan karya tulis dan menjadi dosen di Amerika.
Di satu sisi, saya tersinggung oleh orang-orang yang melakukan
demonstrasi. Maka, hal ini perlu saya jawab dengan menunjukkan prestasi. Jadi,
tidak harus marah kepada orang. Kita dikritik bahasa Inggris lemah.
Bagaimana untuk menepis ejekan tentang bahasa Inggris yang
lemah?
Untuk mengalahkan kemampuan berbahasa Inggris mereka, jelas tidak
mungkin. Karena bagi mereka, bahasa Inggris adalah bahasa ibu. Sehingga, kita
harus mencari jalan lain untuk mengalahkan dan menunjukkan prestasi kita.
Dengan publikasi karya, presentasi internasional, termasuk bisa
masuk Harvard Law School maka hal itu menjadi perhatian. Sebab, bagi orang
Amerika sendiri, masuk Harvard sangat sulit dan itu bergengsi.
Anda tidak hanya diejek mahasiswa ketika baru datang di McGill,
tapi juga dinilai tidak serius. Bahkan, seorang dosen di sana mengejek Anda,
khususnya, ketika mengutarakan niat akan masuk ke Harvard Law School?
Ya. Di kampus Sunan Kalijaga, sempat beredar saya akan di-DO dari
McGill. Saya dilaporkan selama di Kanada ‘tidak belajar, hanya main-main’.
Bahkan, beasiswa terancam dihentikan. Namun, akhirnya, saya bisa masuk Harvard
Law School dan anggapan mereka terhadap diri saya berubah.
Bagaimana upaya untuk memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris?
Nasib baik berpihak pada saya. Tahun 1988, Menteri Agama Munawir
Sajali membuat program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia. Orang yang
dipilih syaratnya, IP memenuhi syarat sebagai dosen, bisa bahasa Arab dan
Inggris. Saya tidak bisa bahasa Inggris waktu itu. Tetapi, saya mempunyai 10
terjemahan bahasa Arab ke Indonesia dan mempunyai ijazah BA dari Fakultas
Filsafat UGM. Saya lulus dan masuk 20 besar. Kemudian, mengikuti training
sembilan bulan dan enam bulan bahasa Inggris. Setelah mengikuti training baru
berangkat ke Kanada, 1991. Tahun 1993, saya menyelesaikan MA.
Selesai MA, saya kursus bahasa Inggris lagi untuk mempersiapkan
diri meraih gelar doktor. Sebab, untuk meraih beasiswa program doktor, sangat
berat. Selain bahasa Inggris, saya juga kursus bahasa Prancis. Perhitungan saya
benar. Tahun 1994, saya mengikuti tes dan berhasil memenangkan beasiswa untuk
doktor.
Kapan Anda menyelesaikan program doktor?
Tahun 1995, saya berangkat dan selesai tahun 2002. Kemudian, tahun
2002-2004, saya kuliah di Harvard Law School. Tahun 2004-2005, menjadi dosen
Islamic Studies di Compartive Department Tufts University, Massachussetts, USA.
Tahun 2005-2006 menjadi anggota American Association of University Professors.
Alhamdulillah, saya merupakan dosen Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) yang pertama menjadi anggota Persatuan Profesor Amerika itu.
Apa yang Anda maksud dengan jihad ilmiah?
Ada beberapa titik perhatian, yaitu sejarah, inti karya ilmiah dan
kesempatan. Sejarah dititikberatkan pada sejarah perkembangan otoritas
keislaman. Segmennya, dosen PTAIN yang kuliah di Barat dan mereka masih
menempuh pendidikan di sana. Di sini, saya menceritakan kalau dosen PTAIN
serius, mereka bisa menjadi pemimpin kelas dunia.
Buktinya, saya bisa masuk ke Harvard Law School, menjadi dosen di
Amerika, presentasi ke berbagai forum internasional, menerbitkan karya tulis di
kelas atas. Jadi, kalau hanya doktor, tidak cukup. Sehingga, zaman saya ini ada
pencapaian yang baru.
Dan, ketika berada di Barat, kita mempunyai peluang yang sangat
besar untuk tampil di forum internasional. Karena itu, sekarang saya menunggu
siapa pemecah rekor berikutnya?
Selain usaha, apa yang Anda lakukan?
Pertama niat, kemudian saya dukung dengan doa agar bisa sekolah
sampai Harvard. Awalnya, doa bisa menjadi penulis. Bahasa Jawanya, njaluk
(minta) ilmu, rezeki, bukti.
Enam bulan sebelum masuk Harvard Law School, saya berdoa khusus
kepada Allah. Saya berdoa agar diberi kesempatan masuk Harvard. Kalau nggak ada
doa, nggak mungkin ada orang Termas bisa masuk ke Harvard.
Apa materi yang Anda sampaikan dalam berbagai presentasi
internasional?
Materinya ada hukum Islam di Indonesia, kemukjizatan Alquran,
epistemologi, Alquran, dan sunah.
Apa yang ingin dituju dari penerbitan Jihad Ilmiah ini?
Saya mendambakan lahirnya generasi ‘orientalis plus’. Orientalis
itu kan orang Barat non-Muslim yang mempelajari Islam untuk mengalahkan Islam.
Pengertian itu kan negatif. Tetapi, ada sisi positifnya, yaitu orientalis itu
doktornya harus menguasai empat bahasa dan mempunyai tradisi menulis.
Yang saya maksud dengan ‘orientalis plus’ adalah ‘plus’ itu iman.
Saya muslim, tetapi saya mencapai standar minimal orientalis. Minimal menguasai
empat bahasa, menjadi dosen Islamic Studies. Jadi, ‘orientalis plus’ itu
sebetulnya santri menguasai doktor dari Barat, menguasai empat bahasa, dan
menjadi dosen atau profesor di Barat.
Bagaimana kiat bisa presentasi di forum internasional?
Untuk bisa presentasi, harus mengikuti seleksi. Ada sebuah panitia
yang menyelenggarakan annual conference setiap tahunnya. Pesertanya dibatasi,
calon peserta diminta mengirim abstraksi karyanya untuk diseleksi dan harus
menunggu dua tahun. Kalau diterima, baru bisa mengikuti presentasi. Jadi, harus
mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi peserta. Di
antaranya, tidak boleh lebih dari 400 kata, jelas metodenya, jelas sumbernya,
jelas kesimpulannya. Biasanya kita mencari judul yang menantang. Artinya, bisa
yang sedang ramai jadi pembicaraan banyak orang, bisa jadi judul lama, tetapi kesimpulannya
berbeda.
Kalau di Barat, makalah yang dipresentasikan terbit dalam jurnal.
Kalau mahasiswa, dapat dipastikan sebagai calon profesor.
Bagaimana pengaruh presentasi Anda terhadap orang lain?
Pengaruh itu biasanya dapat dilihat dari banyaknya tulisan dikutip
orang. Tetapi, yang ingin saya sampaikan dari presentasi adalah tahapan untuk
mencapai beasiswa lebih lanjut. Sehingga, tidak mungkin saya bisa pindah dari
McGill ke Harvard kalau tidak mempunyai rekor ini.
Jadi, menulis artikel untuk presentasi mempunyai tujuan ganda?
Ya. Menulis artikel jangan hanya mengejar nilai A. Tetapi, harus
mempunyai tujuan ganda sehingga bisa memberi motivasi bagi penulisnya. Saya
mematok bisa meraih nilai A atau setidaknya A minus.
Tetapi, dengan nilai A minus harus bisa menjadi tiga A. Apa itu?
Tulisan yang sudah diajukan untuk mendapat nilai, kemudian dipresentasikan,
publikasi dan mendapatkan beasiswa lebih lanjut.
Bagaimana Anda bisa menulis banyak artikel?
Kuncinya, ‘Tahajud Ilmiah’. Tahajud berasal dari kata jahada.
Ijtihad berasal dari kata jahada dan jihad juga berasal dari kata jahada (kerja
keras). Artinya, setelah shalat tahajud, tidak langsung tidur. Tetapi,
dilanjutkan dengan ijtihad atau kerja pikir, membaca buku 100-200 halaman.
Kemudian, hasil membaca dituangkan dalam satu hingga dua lembar tulisan. Itu
namanya jihad ilmiah.
Kalau itu dilakukan setiap hari, dalam satu tahun akan diperoleh
730 lembar artikel. Kalau ini dilakukan secara kontinyu, akan terjadi perubahan
sejarah.
Selama ini kelemahan umat Islam memahami tahajud hanya pada
shalat. Tidak dilanjutkan dengan ijtihad dan jihad. Jihad itu ada
bermacam-macam, ada jihad ekonomi, politik, lingkungan, dan lain-lain. Tetapi,
yang saya lakukan yang saya suka, yaitu jihad ilmiah.
Bagaimana pandangan Anda tentang agama?
Agama itu sebetulnya faktor pembebas. Tetapi, karena kita tidak
bisa menggunakan secara fungsional, agama sering dianggap sebagai faktor
penghalang. Ini yang disebut Karl Mark sebagai candu masyarakat. Tetapi, dengan
teori saya ini, agama tidak bisa dikatakan sebagai candu masyarakat. Karena,
agama tidak diputus dari kerja-kerja lain.
Islam itu sebetulnya agama pembebas. Tetapi, dalam sejarah karena
faktor A, B, C, Islam seolah-olah menjadi penghalang. Di Eropa, ada pengalaman
Yahudi, Kristen, Karl Mark berkesimpulan agama candu masyarakat.
Saya ingin membuktikan bahwa Islam bukan candu masyarakat. Tetapi,
harus ada cara untuk membacanya. Selama ini, tidak ada dosen PTAIN yang ketika
kuliah di Barat bisa memecahkan rekor saya. Pertama, terjemahan buku dari Arab
ke Indonesia. Jadi, saya kuliah sambil terjemahkan, sekarang sudah ada 53
terjemahan. Kedua, saya bisa berkampanye keliling dunia. Ketiga, saya bisa
menerbitkan buku di luar negeri. Disertasi saya membahas perbandingan Maroko, Mesir,
dan Indonesia.
Apa latar belakang mendirikan pesantren Nawesea?
Menjadi ‘orientalis plus’. Orientalis pada umumnya non-Muslim,
sedangkan kata ‘plus’ dalam ‘orientalis plus’ adalah iman. Jadi, ‘orientalis
plus’ adalah santri yang memenuhi semua persyaratan akademik orientalis, tetapi
berhasil menjadi dosen Islamic Studies di Barat.
Apa yang Anda harapkan dari para santri?
Salah satu cita-cita saya di pesantren Nawesea adalah saya minta
kepada Allah seorang santri yang bisa masuk Harvard sebelum saya mati. Dan,
seorang santri saya yang menjadi profesor di Amerika sebelum saya mati.
Saat ini, sudah ada dua santri Nawesea yang meraih gelar MA di
Leiden, Belanda. Padahal, Nawesea baru akan berulang tahun yang ketiga.
Sekarang, sudah ada seorang berada di Leiden dan tiga sedang mempersiapkan diri
untuk kuliah di sana. Sehingga, jumlahnya sudah ada enam orang yang kuliah di
Leiden. Sedangkan empat santri Nawesea lainnya, sedang menempuh pendidikan
program S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Di pesantren Nawesea, ada sembilan santri yang sudah menyelesaikan
pendidikan Lc (S1 dari Timur Tengah). Tujuh orang tamatan Al Azhar, satu orang
dari Yaman, dan seorang dari Syiria. Saat ini, Ponpes Nawesea terdapat 40
santri yang berpendidikan S2 dan tiga orang S1.
Artinya, Anda sudah membuka jalan dan diharapkan para santri bisa
mengikuti jejak Anda atau bahkan lebih tinggi?
Persis. Maka itu, santri-santri saya itu adalah calon pemecah
rekor berikutnya.
BIODATA:
Prof Dr K Yudian Wahyudi lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur,
tahun 1960. Belajar di pondok pesantren Tremas Pacitan (1972-1978) dan Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta (1978-1979). Meraih gelar Bachelor of Art (BA) dan
Doktoranus di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1982 dan 1987).
BA Fakultas Filsafat UGM (1986), KKN tahun 1988 (DO tidak diketahui
tahunnya). Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
(2016-2020)
Mengikuti Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia (Semarang,
1988-1989). Meraih gelar Master of Art (MA) dari Islamic Studies di McGill
University, Montreal, Kanada (1993), dan PhD tahun 2002.
Visiting Researcher/Scholar di Harvard Law School (2002-2004).
Dosen Islamic Studies di Comparative Department, Tufts University,
Massachussetts, USA (2004-2005). Anggota American Assosiation of University
Professors (2005-2006).
Sumber: fiqh menjawab/saiful
COMMENTS