Malang - - Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi terhadap Undang-undang terorisme. Sejumlah pasal harus diubah lantaran banya...
Malang -- Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi terhadap Undang-undang terorisme. Sejumlah pasal harus diubah lantaran banyaknya ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.
Pandangan ini disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PW LTN NU Jatim), Ahmad Najib AR usai silaturahim dengan sejumlah Ketua PC LTN NU se-Jatim di Malang.
"Dalam pandangan kami, ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI sangat jelas di depan mata," katanya, Ahad (27/3). Masuk dan berkembangnya ideologi di luar Pancasila yang nyata-nyata melawan NKRI hingga kini demikian tumbuh subur dan tidak dianggap sebagai ancaman berarti oleh negara, lanjutnya.
Padahal perubahan ideologi yang masuk ke negeri ini demikian cepat. "Nah, demikian cepatnya ideologi tersebut juga harus diimbangi dengan sikap tegas dan cepatnya aturan yang ada," terang Gus Najib, sapaan akrabnya.
Pada kegiatan yang berlangsung di Kantor PC NU Kota Malang tersebut, Gus Najib kemudian mengemukakan bahwa UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan UU Nomor 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan terorisme sudaj kalah gesit dengan perkembangan terorisme itu sendiri.
Sekedar memberikan contoh, serangan teroris yang pernah terjadi di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, awal tahun lalu sebagai bukti akan kelemahan dari aturan yang menyangkut terorisme. "Hanya karena tidak ada payung hukum, maka beberapa orang yang nyata-nyata memiliki bukti kuat akan melakukan tindakan teror, akhirnya tidak dapat ditindak," kata alumnus pasca sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya ini. Dan penangkapan terhadap sejumlah orang terkait aksi teror di Jalan MH Thamrin tersebut baru dilakukan setelah teror terjadi, lanjutnya.
Kendati demikian, Gus Najib yang diamini utusan dari sejumlah kota dan kabupaten di Jatim ini mengingatkan bahwa tindakan preventif dan deradikalisasi memang mutlak dilakukan. "Namun negara harus melakukan kajian mendalam terkait penindakan, sehingga tanpa harus melanggar Hak Asasi Manusia," terangnya.
Karena sangat mendesaknya kondisi ini, maka Gus Najib berharap semua komponen yakni DPR dan pemerintah untuk dapat duduk bersama dalam membincang persoalan krusian ini. "Jangan sampai kita terlambat, dan baru menyadari potensi radikalime telah tumbuh subur di sejumlah daerah sehingga dapat menyulitkan," pesannya.
Salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren Baytul Hikmah Pasuruan tersebut kemudian membandingkan dengan Malaysia dan Singapura. "Dua negara ini langsung dapat mendeteksi orang yang baru pulang dari Suriah karena terlibat ISIS," ungkapnya. Sedangkan untuk di Indonesia, sudah ada 100 lebih orang yang kembali dari Suriah, namun tidak ada penanganan yang intensif, lanjutnya.
Berdasarkan catatan kepolisian pada November 2015 lalu, terdapat 384 warga negara Indonesia yang sudah terkonfirmasi bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Sebanyak 46 di antara mereka sudah kembali ke Indonesia. "Angka ini tentu saja terus bertambah dan akan menjadi ancaman yang sangat berat bagi NKRI di masa mendatang," katanya.
Gus Najib juga sangat menyayangkan lahirnya organisasi yang nyata-nyata tidak mengakui ideologi Pancasila, namun bebas beraktifitas. "Mereka melakukan rekrutmen anggota, mengadakan tablig akbar dan sejenisnya padahal tidak mengakui NKRI dan Pancasila," sergahnya.
Karena itu sudah sangat mendesak untuk dilakukan revisi terkait aturan yang menyangkut terorisme. "Bila tidak, negeri ini akan menjadi luluh lantah karena kemunculan gerakan sempalan yang tidak mampu dibendung negara," pungkasnya. (NU0/saiful)
COMMENTS